Pada tahun 2013, saya pernah beberapa hari di Raja Ampat Papua Barat. Ada hal yang menarik di sana. Raja Ampat adalah kabupaten yang masih relatif baru waktu itu. Sebagai kabupaten baru, orang bisa melihat gebrakan pembangunan kota itu.Â
Uniknya, melalui pemerintah tentu, telah merancang sistem tata kota yang bagi saya mungkin menjadi model untuk dipertimbangkan pembangunan di tempat lain atau di kapupaten lain.Â
Masyarakat sepertinya tidak dibiarkan membangun rumah mereka sendiri, sesuka hati mereka, melainkan ada yang dinamakan perkampungan seratus, perkampungan dua ratus, perkampungan tiga ratus. Artinya, pemerintah merancang lokasi tempat untuk pemukiman masyarakat. Saya percaya, sistem seperti itu memudahkan pemerintah dalam penanganan bencana. Atau bahkan ada pertimbangan yang lebih penting terkait mengurangi dampak bencana.
Contoh ini, mungkin hanya salah satu cara untuk kedepannya supaya relokasi pemukiman masyarakat di daerah-daerah rawan bencana perlu menjadi perhatian pemerintah. Tanpa peduli pada tema relokasi pemukiman khususnya pemukiman di daerah-daerah yang rawan bencana, maka cerita bencana dan kematian itu sama seperti "lagu lama yang didengar setiap tahunnya."Â
Kenapa sih suka dengar lagu sedih? Ebiet G. Ade hanya menawarkan visi dan perspektif agar orang berpikir dan mengubah cara hidupnya, bukan supaya semakin suka mendengar lagunya, apalagi setiap tahun didengar lagi pada saat duka dan kematian yang berulang-ulang.
2. Bencana banjir, badai, gempa tsunami, dan lain sebagainya itu bukan baru pertama terjadi di Indonesia
Orang bisa mengatakan bahwa bencana serupa di NTT pada pekan suci kemarin itu sebenarnya sudah "lagu lama." Artinya, bencana serupa sudah sering terjadi dan berulang kali terjadi. Tentu tingkat ekstrimnya berbeda.Â
Saya masih ingat bencana banjir tahun 1988, hujan 3 hari tiga malam, lalu akibatnya banjir begitu dahsyat, hingga terjadi abrasi sungai dari yang lebarnya cuma 5 meter sebelumnya, berubah melebar hingga mencapai 20-30 meter.Â
Kenyataan menunjukkan bahwa masih cukup banyak perumahan penduduk itu dibangun di lereng gunung, atau pinggir tebing dan di pesisir pantai. Mungkin hal seperti itu perlu dipikirkan pemerintah supaya perlu juga ada regulasi terkait tempat-tempat untuk pembangunan rumah penduduk.Â
Saya pikir lebih baik kebebasan untuk membangun rumah pada tempat tertentu memang harus dibatasi, apalagi jelas-jelas berbahaya.Â
Ini cuma contoh, kalau orang pernah menelusuri perjalanan darat dari Maumere ke Ende, terasa bahwa sungguh mengerikan, ada berapa banyak rumah penduduk yang dibangun persis di pinggir jalan atau di pinggir tebing terjal. Atau suatu pemukiman di lereng gunung.Â