Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lagu Lama yang Selalu Didengar Ulang Saat Bencana

5 April 2021   19:27 Diperbarui: 6 April 2021   12:32 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syair lagu dari musisi legendaris Ebiet G. Ade yang paling menyentuh hati banyak orang tentunya syair lagu "Mari Kita Renungkan". Lagu dari musisi ternama itu selalu menjadi lagu hening di setiap cerita bencana di Tanah Air. Ebiet mungkin orang Indonesia pertama yang memiliki visi tentang hubungan antara manusia, alam, ulahnya dan penderitaan manusia.

Balada duka karena bencana alam di Indonesia seperti banjir bandang, angin puting beliung, gempa tsunami, tanah longsor, pesawat jatuh, kapal tenggelam hampir selalu menjadi topik berita media di Indonesia setiap tahunnya.

Lalu, pada hampir setiap topik itu, lagu Ebiet kembali diperdengarkan. Rasa haru, sedih, bergulir silih berganti antara seni, musik dan kesunyian karena duka dan kematian manusia.

Kalau merenungkan tentang bencana itu, terasa sekali bahwa negeri ini punya sejuta cerita duka. Beberapa kali dalam TV Jerman ditayangkan suasana banjir dan beberapa bencana lainnya di Indonesia, spontan teman-teman saya bertanya, kenapa begitu? 

Saya pernah menjawab seperti ini: Ya, di mana-mana ada bencana, cuma resiko kematian dan kerusakan selalu berbeda-beda. Mengapa? 

1. Apa jenis bencananya

Ada jenis bencana yang sudah bisa diantisipasi, misalnya sejak tsunami tahun 2000-an, di daerah-daerah rawan bencana sudah disiapkan alat khusus untuk beri alarm sebelum bencana tsunami terjadi. Melalui alarm seperti itu, umumnya resiko kecelakaan, maupun kematian sudah menurun, bahkan menjadi sangat kecil.

2. Di mana terjadi bencana

Seseorang perlu tahu dengan baik bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, bayangan bagaimana bisa ditangani dengan cepat, karena penduduk itu sendiri tersebar secara bebas di mana saja di antara 17.000 pulau. 

Perkampungan di NTT, umumnya adalah perkampungan tradisional yang tidak pernah dibangun dengan dasar pertimbangan daerah rawan bencana, sekurang-kurangnya sebelum kejadian 12 Desember 1992. Jangankan di NTT, di Jakarta saja, yang punya program penanganan banjir sempat menjadi visi misi calon Gubernur DKI saja, tetap saja sama hingga tahun ini.

Tentu tidak hanya di Indonesia, di India juga demikian, saya mendengar cerita dari teman-teman India bahwa rumah penduduk dibawa banjir, bahkan banjir bisa menenggelamkan rumah penduduk. 

Tak hanya itu, beberapa tahun lalu, di Jerman pun rumah penduduk rusak karena diterpa angin badai. Tanpa membela negeri Indonesia, saya melihat secara keseluruhan bahwa bencana serupa terjadi di mana-mana di seluruh dunia tentunya. 

Meskipun demikian, dalam ulasan ini saya lebih tertarik dengan kata-kata musisi Indonesia Ebiet G. Ade dalam satu baitnya. Cuplikan syair yang menyentuh hati saya: 

"Anak menjerit-njerit

Asap panas membakar

Lahar dan badai menyapu bersih

Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat

Bahwa kita mesti banyak berbenah."

Merenungkan syair lagu Ebiet itu dan melihat foto dan video yang beredar sejak kemarin, saya akhirnya bertanya:

Mengapa bencana itu selalu menakutkan dan langkah apa yang penting dipikirkan?

1. Momen terjadinya yang sama sekali tidak bisa dikendalikan oleh kemampuan manusia

Siapa sih yang bisa menahan hujan? Siapa yang bisa mengalihkan tiupan badai? Tentu tidak ada satupun yang bisa melakukan itu. Nah, jika demikian, apa yang penting agar orang bisa meminimalisir dampak dari bencana? Tentu setiap orang punya jawaban. Karena itu, saya coba menawarkan gagasan yang mungkin bisa menolong untuk hal itu.

Pada tahun 2013, saya pernah beberapa hari di Raja Ampat Papua Barat. Ada hal yang menarik di sana. Raja Ampat adalah kabupaten yang masih relatif baru waktu itu. Sebagai kabupaten baru, orang bisa melihat gebrakan pembangunan kota itu. 

Uniknya, melalui pemerintah tentu, telah merancang sistem tata kota yang bagi saya mungkin menjadi model untuk dipertimbangkan pembangunan di tempat lain atau di kapupaten lain. 

Masyarakat sepertinya tidak dibiarkan membangun rumah mereka sendiri, sesuka hati mereka, melainkan ada yang dinamakan perkampungan seratus, perkampungan dua ratus, perkampungan tiga ratus. Artinya, pemerintah merancang lokasi tempat untuk pemukiman masyarakat. Saya percaya, sistem seperti itu memudahkan pemerintah dalam penanganan bencana. Atau bahkan ada pertimbangan yang lebih penting terkait mengurangi dampak bencana.

Contoh ini, mungkin hanya salah satu cara untuk kedepannya supaya relokasi pemukiman masyarakat di daerah-daerah rawan bencana perlu menjadi perhatian pemerintah. Tanpa peduli pada tema relokasi pemukiman khususnya pemukiman di daerah-daerah yang rawan bencana, maka cerita bencana dan kematian itu sama seperti "lagu lama yang didengar setiap tahunnya." 

Kenapa sih suka dengar lagu sedih? Ebiet G. Ade hanya menawarkan visi dan perspektif agar orang berpikir dan mengubah cara hidupnya, bukan supaya semakin suka mendengar lagunya, apalagi setiap tahun didengar lagi pada saat duka dan kematian yang berulang-ulang.

2. Bencana banjir, badai, gempa tsunami, dan lain sebagainya itu bukan baru pertama terjadi di Indonesia

Orang bisa mengatakan bahwa bencana serupa di NTT pada pekan suci kemarin itu sebenarnya sudah "lagu lama." Artinya, bencana serupa sudah sering terjadi dan berulang kali terjadi. Tentu tingkat ekstrimnya berbeda. 

Saya masih ingat bencana banjir tahun 1988, hujan 3 hari tiga malam, lalu akibatnya banjir begitu dahsyat, hingga terjadi abrasi sungai dari yang lebarnya cuma 5 meter sebelumnya, berubah melebar hingga mencapai 20-30 meter. 

Kenyataan menunjukkan bahwa masih cukup banyak perumahan penduduk itu dibangun di lereng gunung, atau pinggir tebing dan di pesisir pantai. Mungkin hal seperti itu perlu dipikirkan pemerintah supaya perlu juga ada regulasi terkait tempat-tempat untuk pembangunan rumah penduduk. 

Saya pikir lebih baik kebebasan untuk membangun rumah pada tempat tertentu memang harus dibatasi, apalagi jelas-jelas berbahaya. 

Ini cuma contoh, kalau orang pernah menelusuri perjalanan darat dari Maumere ke Ende, terasa bahwa sungguh mengerikan, ada berapa banyak rumah penduduk yang dibangun persis di pinggir jalan atau di pinggir tebing terjal. Atau suatu pemukiman di lereng gunung. 

Sistem bangunan seperti apakah yang menjamin keamanan penduduk di daerah-daerah seperti itu? Kayanya tidak ada, warga masyarakat dibiarkan saja membangun rumah mereka sesuai pikiran dan kebiasaan konyolnya. 

Pelajaran berulang bencana di NTT, mestinya sudah bisa membuka mata untuk memikirkan hal yang lain, dengan maksud agar resiko kecelakaan, bahkan kematian itu harus dihindari. 

Nilai kehidupan jauh lebih penting dari pertimbangan rumah di pinggir jalan itu sebagai sumber rezeki. Kalau sudah tertimbun tanah, ya bagaimana bisa mengharapkan rezeki lagi?

Apa dilema masyarakat NTT terkait bencana banjir?

Saya yakin adalah tidak mudah jika pemerintah menawarkan gagasan-gagasan baru seperti relokasi pemukiman dan juga adanya regulasi untuk penataan pemukiman masyarakat, khususnya di NTT. Mengapa? Ada 2 hal yang bisa menjadi alasan bagi masyarakat untuk mempertimbangkan program relokasi tempat pemukiman:

1. Kampung Adat dan hubungan dengan roh leluhur

Gagasan kampung adat di wilayah NTT masih sangat kuat, tentu sama juga di beberapa provinsi lainnya. Meskipun demikian, saya kira tidak semua wilayah pemukiman masyarakat adalah daerah yang tergolong berbahaya. 

Seandainya ada, maka perlu dibangun suatu diskusi bersama dengan masyarakat agar perlu ada tindakan-tindakan antisipasi yang memperkecil resiko ketika ada bencana. 

Saya yakin ada juga konsep masyarakat tradisional yang tidak mau membangun rumah mereka jauh dari makam nenek moyang mereka. Nah, konsep dan gagasan seperti ini perlu didiskusikan dan diberi pencerahan bahwa nilai kehidupan adalah nilai terpenting, sedangkan nilai penghormatan pada leluhur itu tidak harus dengan tinggal bersama atau harus selalu berada dekat dengan pemakaman para leluhur. Makam para leluhur bisa diperbaiki dengan baik, sebagai ungkapan rasa hormat. 

2. Wawasan tentang topografi wilayah pemukiman

Hal yang tidak mudah dalam urusan relokasi adalah mencari tempat yang aman, yang tidak terlalu jauh dari tempat usaha sehari-hari masyarakat. NTT umumnya adalah wilayah pegunungan dan sebagian besar masyarakat menghuni di wilayah yang rata, tentu dekat laut atau di lereng gunung. 

Adonara misalnya, deretan pemukiman masyarakat semuanya berada di antara apitan gunung, ya di lereng gunung dan di pesisir laut. Masuk akal juga sih, mereka hidup dari bercocok tanam dan hidup sebagai nelayan. 

Bukan tidak mungkin bahwa pada lereng gunung itu ada yang sudah gundul dan menyerupai kali mati. Kondisi seperti itu, tentu sangat potensial pada musim hujan. Oleh karena itu, semestinya rekoleksi berkaitan juga dengan pengetahuan tentang alam yang ada di sana, di mana yang bukan merupakan jalur air. Perhatian pada hal seperti itu, tentu sudah sangat menolong tentunya, meskipun orang tidak tahu kapan tanah bisa longsor dan lain sebagainya. 

Menurut saya, lebih baik dengan wawasan topografi wilayah pemukiman yang dikaji dengan baik lalu memilih relokasi, daripada harus mendengar lagu ratapan duka dan kesedihan Ebiet G. Ade setiap tahun. Lagunya bagus, cuma tidak ada gunanya mendengar ulang lagu ratapan, tanpa punya dampak pada perubahan dan keselamatan hidup.

Oleh karena itu, hal penting adalah bahwa orang perlu memperhatikan beberapa pesan Ebiet G. Ade berikut ini:

1. Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat

Saya sepakat dengan Ebiet G. Ade bahwa bencana ini bukan hukuman, tetapi suatu isyarat. Isyarat apa? Isyarat bahwa hubungan manusia dan alam itu tidak beres. Mungkin manusia tidak terlalu memperhatikan alam. 

Coba perhatikan siapa yang menyebabkan hutan jadi gundul, siapa yang menyebabkan rumput kering terbakar. Atau seberapa sering orang menanam pohon, merawat lingkungan hutan dan alam sekitarnya? 

Tema sekitar ekologi alam, harus menjadi prioritas yang layak dibicarakan sejak dini, ya tentu tidak hanya untuk kurikulum pendidikan yang berbasiskan cinta alam, tetapi juga untuk masyarakat biasa. 

Gagasan Ebiet itu sungguh penting. Ya, bagi saya Ebiet sudah menulis syair pledoinya tentang keadilan Tuhan. Tuhan tidak menghukum manusia dengan cara seperti itu. 

Tuhan memberi kebebasan kepada setiap manusia. Dan diharapkan kebebasan itu tidak digunakan secara serakah dan bisa berdampak merusakkan alam. 

Saya yakin, alasan lain terkait kelestarian alam itulah yang sering menjadi pertimbangan, mengapa proyek tambang di Flores sering ditolak. Bukan karena menghambat kemajuan, tetapi proyek tambang itu sangat rentan pada bencana dan kerusakan lingkungan alam.

2. Bahwa kita mesti banyak berbenah

Titipan pesan yang indah dan ramah dari musisi ternama ini sangat penting diwartakan. Ya, berbenah dengan cara apa? Tentu, regulasi dibutuhkan dari pemerintah dan institusi agama dengan aksen berpihak pada kehidupan manusia dan keutuhan ciptaan. 

Tanpa ada refleksi dan inspirasi yang semakin menjadi konkret ke dalam regulasi, sebetulnya tidak ada hal yang lebih menolong masyarakat, selain tidak sadar ingin menikmati kidung duka sang Ebiet setiap tahun, ya lagu lama yang tidak bosan didengar ulang.

Pesan untuk berbenah, hemat saya belum cukup maksimal hanya dengan doa untuk NTT, tetapi lebih dari itu orang mesti doa dan bekerja atau ora et labora. 

Dalam hal ini, poin yang penting adalah mungkinkah kedepan, pemerintah memikirkan terkait program relokasi wilayah pemukiman yang rawan bencana? Diskusi tentang regulasi pemukiman masyarakat dan tentunya sosialisasi manajemen penanganan bencana kepada masyarakat merupakan opsi penting yang tidak perlu ditunda-tunda.

Tiga cara berbenah yang bisa muncul dari ulasan ini adalah:

1. Membangun dialog dan refleksi bersama terkait bencana baik dalam konteks Indonesia umumnya, maupun konteks NTT khususnya.

2. Menganalisa kembali alasan-alasan terkait gagasan relokasi pemukiman masyarakat dari daerah yang rawan bencana

3. Sosialisasi manajemen penanganan bencana dan regulasi terkait bencana perlu diperhatikan pemerintah dan masyarakat

Demikian ulasan terkait lagu lama dari musisi Indonesia Ebiet G. Ade dan bagaimana menyikapi bencana di Indonesia umumnya dan di NTT khususnya, sekurang-kurangnya menurut saya sendiri: "Syair indah lagu "Mari Kita Renungkan" dari Ebiet G. Ade merupakan ajakan, pesan dan juga visi dan perspektif agar semakin banyak orang buka mata dan berbenah diri."

Keindahan mendengarkan syair lagu Ebiet G. Ade akan sempurna, jika syair lagunya menginspirasi kita lebih jauh lagi sampai pada tindakan konkret yang berdampak pada keselamatan manusia.

Salam berbagi, ino, 5.03.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun