Mungkin sudah jutaan kali terdengar cerita macam setan komplek dengan judul berbeda. Dulu, sering muncul kebimbangan untuk percaya atau tidak. Kalau sekedar katakan salah satunya, itu soal gampang. Namun harus ada alasan kuat yang mendasarinya.
Setelah cari sana-sini dan berusaha mengalami apa yang Habib Morgan alami tadi, akhirnya diambil keputusan bulat untuk tidak percaya sama sekali bahwa ada ruh gentayangan. Apalagi ada yang mampu memanggilnya lantas dimasukkan ke badan seseorang sebagai mediatornya.
Saya tak mau terjebak. Semua pendapat disimak baik-baik kemudian mengunyahnya hingga terpilih mana yang harus dibuang dan mana yang perlu dipertimbangkan lebih jauh. Agar tak salah langkah, agama jadi dasar. Ini dulu yang dibahas agar jelas duduk perkaranya.
Saya tak bisa bilang agama ini benar dan yang itu salah. Saya hanya bisa katakan ada yang sesuai dengan diri sendiri, ada juga yang tak sesuai. Tapi jangan katakan saya sudah sangat relijius, mentang-mentang soal agama disinggung di sini.
Saya terlahir dari keluarga Betawi yang bermukim di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Entah sejak kapan, keluarga memilih Islam sebagai pegangan hidupnya secara turun temurun.
Belakangan, setelah bisa berpikir sendiri, saya mempertanyakan kenapa harus ikut memilih Islam sebagai pegangan atau minimal jadi rem kehidupanlah biar ga kebablasan.
Mula-mula saya amati pemeluknya. Secara emosional, banyak hal yang tak disepakati. Ada saja kekurangannya. Kelihatannya, orang Islam suka bergunjing. Mereka juga terlalu sibuk menggelar tahlilan yang akhirnya merepotkan keluarga berduka.
Padahal kan, bergunjing itu jelas-jelas diharamkan. Kenapa ini justru termasuk kegiatan paling asyik dan sering dilakukan? Soal tahlilan juga. Kan engga diperintahkan, bahkan Nabi Muhammad SAW pun engga melakukannya. Kenapa dikerjakan?
Saat kecil papa memang mengirim anak-anaknya ke pengajian. Belajar agama ke beberapa Ustadz dan Ustadzah memang dibiasakan di keluarga. Berkerumun dalam rangka pengenalan huruf Arab mulai menulis dan menuturkan dengan fasih apa yang tertulis di al-Qur'an, sesekali belajar fiqih (hukum Islam) di ruang tamu rumah guru ngaji.
"Jangan suka ngomongin orang. Dosenye gede. Allah ga demen ama orang yang suka ngomongin orang. Kalo yang diomongin emang bener begitu, itu namenye ghibah. Kalo yang diomongin engga bener, itu namenye fitnah. Â Fitnah lebih kejem dari pada pembunuhan.
Mengkenye, biar kite dijauhin dari perbuatan keji dan munkar, kite kudu sembahyang. Nah kalo mau sembahyang, kudu tau dulu aturannye. Udah bener belom bersihin najisnye, udah bener belom wudhu termasuk bacaannye. Kalo udah, baru masuk ke sembahyangnye.
Abis sembahyang, kite doain dah orang tue kite yang lagi sakit, orang tue kite yang udah meninggal, temen kite, siape aje deh yang mau kite doain ye doain dah yang baek-baek.
Kalo orang wudhunye bener, nanti di akherat apa yang sering kena air wudhu itu bercahaya. Itu ciri-ciri orang yang bakal masuk sorge," kata Mpok Titi waktu itu mengajarkan.
Menurut riwayat yang sering dituturkan, Mpok Titi adalah salah satu Qori'ah terbaik yang dimiliki masyarakat kami di zamannya. Dari situ, sudah cukup alasan bagi para orang tua agar sebaiknya menitipkan anak-anaknya ke beliau guna belajar agama tingkat dasar. Saya pun sejak kelas 1 SD hingga lulus, belajar mengaji ke ibu yang waktu itu juga buka warung kecil di depan rumahnya.
Belakangan, dari tayangan Adzan yang disiarkan salah satu stasiun tv swasta nasional, saya baru tahu lebih dalam lagi terkait wudhu.
Di situ dijelaskan, bagi orang yang rajin berwudhu dan tak pernah tinggal sembahyang, wajahnya selalu terlihat berseri dan sehat. Soalnya menjalani tiap tahapan ritual tersebut, seluruh bagian tubuh tak hanya sekedar dibasuh. Dia juga kena pijat ringan dari pelakonnya hingga peredaran darah lancar dan pikiran ada di posisi rileks.
Sambil melakukannya, doa terus dilafadzkan sebagai wujud insyaf bahwa diri harus sering-sering dibersihkan. Barulah dikerjakan sholat dengan khusyuk dan sempurna.
Ada pesan tersendiri di balik aktifitas wudhu. Bagian-bagian tubuh yang diperintahkan Allah agar dibasuh, merupakan organ yang paling sering terlibat aktifias produksi dosa. Ya tangan, mulut, hidung, muka, telinga, kepala, leher, lengan, juga kaki. Semua ini, terlibat aktif.
Soal wudhu dan shalat, Professor Syakur Yasin mengatakan, orang tak pernah mendapat esensi nyata dari ritual tersebut lantaran terlanjur fokus pada ganjaran berupa pahala. Akibatnya relaksasi sehari lima kali tak pernah dirasakan.
**
Tuhan paham betul apa yang ada di dalam diri tiap individu. Soalnya, di dalam ruh yang Dia desain kemudian diinstal ke dalam tubuh manusia, ada nafsu yang salah satunya berisi potensi dorongan melakukan pergunjingan.
Betul, ini asyik. Saking asyiknya, media massa pun menyediakan rubrik tersendiri bagi yang hobi bergunjing kemudian disamarkan dengan kata gosip. Tuhan sudah menggelar satu ujian yang tak pernah berhenti. Mampukah kamu menahan diri agar tidak ikutan bergunjing ?
Pagar batasnya kemudian diperjelas lagi. Kalau turut serta ya boleh saja, tapi dikenakan sangsi berupa api neraka. Kalau menghindar, dapat pahala dan diberi penghargaan berupa surga.
Saya kira nanti setelah meninggal dan masuk ke alam akhirat, sangsi dan penghargaan itu baru diberikan Tuhan. Ternyata tidak. Semua dibayar kontan selama manusia masih injakkan kaki di muka bumi.
Soalnya pernah tiba-tiba ada yang tersinggung, sakit hati, kemudian datang membawa semangkuk bakso pedas sekali. Takarannya, seperempat bakso termasuk kuah panas, sisanya sambel cabe rawit.
Mangkuk-mangkuknya diseblokin ke muka penggosip karena dengan seyakin-yakinnya, korban gunjing memandang kabar yang beredar adalah fitnah besar.
Sementara yang selalu tutup kuping juga mulut dari wilayah pergunjingan aib, ayem tentrem aje sepanjang hidupnya. Orang-orang selalu memberi senyum kepadanya. Kalau lagi paceklik, soal pinjam duit seratus dua ratus ribu rupiah, gampanglah. Ini soal perasaan dan sangat masuk akal punya undang-undang sendiri di dalam al-Qur'an.
Dari situ saya berpendapat, cari saja dulu agama yang benar dengan menelaah kitab sucinya. Kalau masuk di akal, bolehlah memilihnya sebagai pegangan. Kalau tidak, silahkan cari yang lain. Dengan demikian, seiring waktu berjalan dalam pendalaman dan penghayatannya, pancaran Tuhan bakal ditemui dan nyata sekali.
Baiklah, kita bahas apa yang dimaksud pancaran Tuhan yang nyata itu.
Ada seorang ahli berpangkat profesor di Amerika Serikat sana yang cari tahu soal aturan bagi perempuan yang baru saja bercerai dengan pasangannya entah hidup atau mati. Al-Qur'an menyebutnya dengan masa iddah.
Kemudian, sang profesor pergi ke salah satu wilayah di Pakistan guna menggelar penelitian. Dia mengambil beberapa perempuan Muslim sebagai sampel penelitiannya. Hasilnya cukup mencengangkan.
Rupanya menurut temuan profesor itu, pada alat kemaluan tiap laki-laki punya tanda menyerupai sidik jari. Tiap orang berbeda dan tanda itu menjejak di organ vital perempuan.
Jejak laki-laki tersebut, baru benar-benar hilang di kemaluan wanita setelah tiga bulan sepuluh hari tak melakukan aktifitas seksual. Setelah itu, barulah sang janda boleh menikah lagi.
Pada asumsinya, si profesor berpendapat bahwa aturan ini bertujuan mengetahui apakah ada jejak tertinggal di dalam rahim perempuan, hingga menjadi jabang bayi selama tiga bulan sepuluh hari terakhir setelah keputusan cerai.
Profesor pulang ke Amerika. Dia tergelitik mencoba temuan itu kepada istrinya. Hasilnya, si bini punya tiga jejak laki-laki di alat kemaluannya. Bahkan setelah dilakukan tes DNA, dari tiga orang anaknya, ternyata cuma satu yang benar-benar berasal dari benihnya sendiri.
Dari satu contoh temuan ilmuwan terkait keilmiahan perintah kitab suci itu, setelah memperhatikan distorsi yang ada, saya mendapat dasar kuat memilih salah satu dari sekian banyaknya agama yang ada di bumi ini. Kembali lagi saya pertanyakan soal ruh yang bergentayangan.
Dengan kecanggihan ilmu pengetahuan, manusia sudah menggali tiap materi yang dikaruniakan Tuhan. Namun soal ruh, belum ada yang bisa menjelaskan dengan rinci kemana dia pergi setelah berpisah dari badan.
Ada yang berpendapat bahwa manusia terdiri dari tiga unsur yaitu, badan, ruh dan jiwa. Jika diibaratkan ponsel, badan adalah perangkat keras dari ponsel itu sendiri, ruh energi yang terdapat dalam baterai, jiwa microchip tempat tersimpannya memori, nomor telpon, dan data lainnya.
Ketika mati, perangkat keras dikuburkan, ruh kembali ke alam semesta, jiwa kembali ke pangkuanNya dan di akhir nanti mempertanggung jawabkan tiap perbuatan.
Tuhan bilang kalau soal ruh itu urusan Dia beserta staf kerajaanNya. Kalau ruh atau arwah bergentayangan, bukankah ini artinya Tuhan gagal membuktikan kalau setiap ruh yang meninggalkan jasad kembali kepadaNya?
Sampai sini, saya cuma tak mau coba-coba menentang Tuhan apalagi soal yang tak dimengerti duduk perkara sebenarnya.
**
Tak satu pun pernyataan dalam al-Qur'an memuat nama-nama makhluk halus seperti dalam kisah tadi. Jadi, buat apa percaya soal keberadaan mereka. Kalau pilihan akhirnya jatuh ke percaya, bukankah mendustai kitab suci itu sendiri?
Tiba-tiba, Habib Morgan berbisik : "Soal ini ga bisa dijangkau akal atau logika. Ini soal gaib, kita harus meyakininya." Â
Soal gaib, sudah dibatasi wilayahnya. Ini meliputi Tuhan, iblis, malaikat, jin dan setan. Kalau pun akhirnya ditemui kata sihir, pasti perlu diperdalam lagi maksudnya.
Morgan juga bilang kalau genderuwo, tuyul, pocong, dedemit atau Nyi Roro Kidul, masuk ke dalam kategori bangsa Jin kadang-kadang masuk ke golongan setan. Mereka ini, dituding sering merasuki manusia yang lengah.
Jin, terbagi menjadi dua kelompok. Satu golongan gemar membantu kerja malaikat dengan mengirimkan sinyal kebaikan kepada manusia hingga akhirnya mencapai Tuhan. Satu lagi membantu kerja iblis mengirim pesan kejahatan.
Dua pesan ini, kemudian ditangkap alat penerima (receiver) manusia dalam ruhnya. Di dalam instalasinya, terdapat nurani juga nafsu (setan) yang sebagian besarnya menguasai wilayah emosi.
Pesan mana yang lebih banyak ditangkap kemudian ditindak lanjuti dalam keseharian, tergantung apakah manusia memakai atau tidak pedoman yang sudah diberikan Tuhan sebelumnya.
Kalau dipakai dengan sempurna, maka manusia bakal tiba di titik pencapaian surga yang sebelumnya tak pernah terbayangkan bakal berwujud seperti apa. Pikiran dan perasaan tenang hingga apapun terasa begitu mudah dilalui. Segalanya lembut tak ada yang kasar apalagi nyakitin hati.
Itulah surga menurut versi saya sendiri yang sebetulnya, surga yang dimaksud Allah itu masih sangat jauh lebih luas lagi. Terus terang, aku tak mampu membayanginya kemudian menceritakan kepada anda.
Sedangkan, jika diabaikan, manusia tiba di wilayah neraka. Selalu was-was lantaran banyak sekali yang sakit hati, sedang solusi justru menambah masalah baru.
Alhasil, tidur gak nyenyak, makan ga teratur, stress berkepanjangan lantaran masalah ga pernah habis-habisnya. Tak jarang dianggap gila karena bertindak di luar kebiasaan tata krama orang kebanyakan. Akhirnya, penyakit sebentar-sebentar mampir. Tersiksa dia.
Oh ya, soal receiver tadi nanti kita bicarakan pada bagian tersendiri. Sekarang, disambung dengan kisah yang relevan dengan cerita sebelumnya dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H