Pagar batasnya kemudian diperjelas lagi. Kalau turut serta ya boleh saja, tapi dikenakan sangsi berupa api neraka. Kalau menghindar, dapat pahala dan diberi penghargaan berupa surga.
Saya kira nanti setelah meninggal dan masuk ke alam akhirat, sangsi dan penghargaan itu baru diberikan Tuhan. Ternyata tidak. Semua dibayar kontan selama manusia masih injakkan kaki di muka bumi.
Soalnya pernah tiba-tiba ada yang tersinggung, sakit hati, kemudian datang membawa semangkuk bakso pedas sekali. Takarannya, seperempat bakso termasuk kuah panas, sisanya sambel cabe rawit.
Mangkuk-mangkuknya diseblokin ke muka penggosip karena dengan seyakin-yakinnya, korban gunjing memandang kabar yang beredar adalah fitnah besar.
Sementara yang selalu tutup kuping juga mulut dari wilayah pergunjingan aib, ayem tentrem aje sepanjang hidupnya. Orang-orang selalu memberi senyum kepadanya. Kalau lagi paceklik, soal pinjam duit seratus dua ratus ribu rupiah, gampanglah. Ini soal perasaan dan sangat masuk akal punya undang-undang sendiri di dalam al-Qur'an.
Dari situ saya berpendapat, cari saja dulu agama yang benar dengan menelaah kitab sucinya. Kalau masuk di akal, bolehlah memilihnya sebagai pegangan. Kalau tidak, silahkan cari yang lain. Dengan demikian, seiring waktu berjalan dalam pendalaman dan penghayatannya, pancaran Tuhan bakal ditemui dan nyata sekali.
Baiklah, kita bahas apa yang dimaksud pancaran Tuhan yang nyata itu.
Ada seorang ahli berpangkat profesor di Amerika Serikat sana yang cari tahu soal aturan bagi perempuan yang baru saja bercerai dengan pasangannya entah hidup atau mati. Al-Qur'an menyebutnya dengan masa iddah.
Kemudian, sang profesor pergi ke salah satu wilayah di Pakistan guna menggelar penelitian. Dia mengambil beberapa perempuan Muslim sebagai sampel penelitiannya. Hasilnya cukup mencengangkan.
Rupanya menurut temuan profesor itu, pada alat kemaluan tiap laki-laki punya tanda menyerupai sidik jari. Tiap orang berbeda dan tanda itu menjejak di organ vital perempuan.
Jejak laki-laki tersebut, baru benar-benar hilang di kemaluan wanita setelah tiga bulan sepuluh hari tak melakukan aktifitas seksual. Setelah itu, barulah sang janda boleh menikah lagi.