Bumi telah basah kuyupÂ
Gerimis di kelopak mata mulai perlahan surut
Savana padang rumput telah tumbuh dan mekar secara sahut-sahutan seperti anak ayam rindu akan belaian induknya. Rindu kian menyiksa, menggema dan menggemaskan.
Fajar menyingsing di ufuk-ufuk harapan
Menopang kehidupan kian meresahkan. Pada setiap kehilangan, kita mulai berkaca-kaca, menepi untuk healing, menolak dengan penuh ikhlas.
Setiap kehilangan, perlu dirayakan dengan memupuk rasa dan saling doa mendoakan.
Ibu, Ayah, dan tiga bunga Udumbara ku;Â
Kalian atipikal dan istimewa. Dalam dunia ini! ketika Tuhan mengijinkan kita bisa berpapasan, bersama, dan menjadi satu keluarga lagi di dunia sana. Aku sangat bersuka riang. Terima dengan nada ikhlas dan menghormati dengan tangan sabar.
Anak yang baik adalah yang mampu meredam dan memupuk simpul-simpul kecintaan terhadap orang tua, adik, kakak dan sanak keluarga.
Ibu,
Panggilan sayangku terhadap Mama.
Perempuan nomer satu yang pernah aku temui di medan yang jurang dan suram di dunia ini. Perempuan yang nyata melawan maut, antara mati dan hidup, antara tangis atau tawa, antara buah Tin dan buah Zaqqum. Perempuan yang pantang dan lantang menyerah dalam menaungi kejamnya dunia ini. Dia bagaikan; malaikat tanpa sayap, dan hunusan pedang dalam medan perang.Â
Tak lain dan tak bukan dia adalah Ibundaku.
22 tahun telah berlalu tapi kasih sayang tetap membara, merawat, menasehati, dan memberi jalan untuk tetap bertahan hidup di alam raya ini. Ibu tetap tabah, walau air mata sesering basa. Aku masih ingat jelas dalam memori ku; wajah itu, wajah yang tiap malam tetap terjaga, agar aku dengan lucu dan imutnya tidur diatas tempat pembaringan. Sesekali, Ibu mengusap kepalaku, dan mencium keningku dengan penuh belas kasih, tetap hati-hati, hingga aku dengan nyenyaknya tidur. Wajah itu, suram balutan kehangatan dan percikan cahaya Ilahi. Ya wajah Ibuku, yang akan tetap manis.
Memori tetap terjaga, kenangan indah menjadi dambaan untuk pulang.
Masih di halaman yang sama, Ibu selalu berbisik di telingaku; "Nak, jika keinginanmu belum sepenuhnya terwujud. Maka terus menghamba pada-Nya, tetap sabar, dan patuh. Jangan mudah putus asa. Ingat, bagaimana pengorbanan Ibu yang dulu-dulu." Rangkul dan isak tangis mulai membanjiri pipi.Â
Dari depan halaman rumah aku berkata;
"Ibu percayalah, masih ada yang harus di perjuangkan dan dibahagiakan sepanjang masa. Aku tak mengenal yang namanya pupus harapan."Â
Ini aku berusia 12 tahun, masih imut dan gemesnya. Hehe.
Ibu,
Bayanganmu selalu hadir mengisi hari-hariku. Angin damai selalu mengisyaratkan tentang itu. Bagaimana bisa aku melupakan pengorbanan!?
Sedangkan kasih sayang selalu tumbuh dan terus merambat. Mendengar suaramu saja dari via telepon seluler, aku selalu rindu. Tidak ada jalan melupakan, hanya ada pengabdian yang terus dikembangkan. Ibu terimakasih terus mewarnai segala sisi kehidupanku. Ibu adalah jawabanku untuk melangkah. Ibu adalah pertahananku untuk menopang lara.Â
Tulisan terus membabi buta, bagaikan mawar yang tak berduri. Untuk kasih sayang yang tulus dan nyata. Percayalah, masih ada hari esok yang kita kisahkan bersama Ibu. Mungkin dengan senja yang merah-merahnya di perairan laut Sawu.
Cinta yang tulus, di ornamenin dengan rasa yang ikhlas.
Ibu,
Doa baik selalu menyertaimu, dari aku anakmu yang masih manja di kala dekat dengan dirimu.
Masih di halaman yang sama, rindu yang sama, dan orang-orang yang tangguh.
Ayah,
Lelaki yang perkasa tak kenal lelah, hujan tidak menjadi alasannya untuk rehat sejenak. Belum puas, terus berjalan dan bekerja menghidupi anak dan keluarga. Mata yang tetap memancarkan cahaya kepedulian, dari keringat pengorbanan itu nyata. Tubuh yang mulai perlahan menua, tak henti untuk membimbingi. Selalu banyak diam dan tak bercakap apa-apa, Ayah aku rindu. Rambutnya hitam dan pendek. Matanya bagus dan hitam. Dia memiliki kulit yang sedikit cerah dan alis agak tebal. sayangnya tidak memiliki berewok. Hehe. Meskipun dia terlihat mengerikan, ayahku sangat ramah. Dia senang membuat orang lain tertawa dengan leluconnya.
Ayah, ialah sosok hebat yang tak kenal lelah. Seorang ayah juga menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya, yang mampu mengerti perasaan putrinya tanpa harus dijelaskan. Ayah adalah samurai terhebat sepanjang perjalanan sejarah manusia. Untuk keluarga tetap nomer satu, tiada mati-matinya.
Tinggi badan Ayah berapa? Dan berat badan Ayah berapa kg?
Jujur, aku tak tau. Tapi kalau untuk hobi Ayah, sebagian besar bisa di gambarkan. Ayah maafkan anakmu yang lupa ukuran celanamu. Hehe.
Untuk Ayah tidak usah banyak-banyak tulisannya. Dunia tau; Ayah saya pokoknya terbaik lah. Takut Ibu cemburu, ucapku dalam hati sebelum membakar rokok.
Teman-teman mengalami yang sama bukan?
Sedikit beda namun tujuan yang sama untuk menghibur putra putrinya. Sebelum tidur jangan lupa berdoa.Â
Ayah,
Terimakasih banyak atas pendidikannya selama ini. Masih ada lembar kosong yang belum pernah di jamakkan. Ayah berkenan, kita berdua akan bercerita panjang lebar mengenai lucunya Negeri ini, atau mencarikan perempuan untuk saya pinang. Pasir putih dan gulungan ombak pantai Watohari jadi saksi sebelum datang gelap. Kopi dan rokok mulai menepis di hadapan mata yang telanjang.
Aku berharap, semoga semuanya bisa terwujud.Â
Suatu hari nanti itu.
Lanjut ke lembar selanjutnya, dengan manja dan cerewetnya. Dik, abang sayang kalian.
Tiga bunga Udumbara ku,
Tiga wajah nan menawan selalu membuat raga untuk temu.Â
Suara berisik yang memekakkan telinga, dikala sunyi, hampa. Si manis yang kurang ajar, si lesung yang suka jahil, si sayup yang membuat rindu di dada. Siapakah gerangan? Mereka adalah adik perempuan ku. Kaka yang ganteng ini sesekali timpal mereka.
Dulu masih imut-imutnya, sekarang jahil banget orangnya.
Sudah beranjak dewasa, abang mohon pikir matang-matang atau pikir panjang dulu ketika mau melakukan sesuatu hal. Itu untuk pribadi atau berbuat untuk orang banyak. Kadang kita butuh menepi, membenahi diri, dan niat yang baik.
Kalian bukan anak kecil lagi yang harus di suap terus ketika lapar datang menghampiri. Kalian bukan seumuran jagung yang mempunyai tiga daun yang harus di latih untuk berbicara.Â
Ketahuilah, kalian sudah dewasa. Bukan anak kemarin sore yang main hujan.
Untuk adik perempuan ku, kalian tetap terbaik dan akan selalu terbaik.
"Abang, saya capek ngerjain tugas sekolah, dan lagi mata pelajaran ini saya tidak suka."
Kata adikku ketika akan sulitnya menuntut ilmu.
Kira-kira waktu itu, saya ngasih saran seperti ini;
Ya sudah kalau kamu capek, malas, dan nggak mood. Berhenti sejenak. Istirahat dulu isi otakmu itu. Jangan terlalu memaksa sesuatu. Itu gak baik. Apalagi tentang pelajaran.Â
Sesulit apapun mata pelajaran tapi kamu nggak ikhlas, tidak bakal dapat ilmunya dan memahaminya. Lakukan sesuatu hal harus dilandasi dengan rasa ikhlas dan niat yang lurus. (Kataku dengan nada ramah sambil tanganku mencuci baju.)
Diam dan hening...
"Ia Abang, siap dipahami" pungkasnya balik.
"Hehe, hari ini gimana sehat kan?" (Tanyaku.)
"Alhamdulillah, aman laut, darat, dan udara." Jawabannya dengan sedikit nada canda.
Sampai di saja dulu ya, tulisan tetap akan lanjut sebelum air laut kering dan kucing dapat berbicara. (Canda.)
Adik-adikku ingat ini;
Andai hari ini kamu belum tahu apa mimpi esok hari, segeralah bermimpi. Gantung setinggi mungkin, tinggikan lagi, sampai lebih tinggi dari langit. Siapkan planning dan strategi untuk mencapai tujuan. Soal jatuh, itu urusan nanti. Ketika ternyata nanti kamu jatuh, bangkit lagi.
Gagal coba lagi,
Jatuh bangun lagi,
Batasan menyerah seseorang hanya pada kain kafan!
Lakukan hal yang kamu suka dalam hidupmu sekali serta bermanfaat untuk kehidupan kamu dan orang banyak. Tunggu apa lagi? Ya, lakukan!
Itu saja, nanti yang lain menyusul.
Untuk tiga bunga Udumbara ku, Abang sayang sekali, tak pandang bulu dan pilih kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H