Panggilan sayangku terhadap Mama.
Perempuan nomer satu yang pernah aku temui di medan yang jurang dan suram di dunia ini. Perempuan yang nyata melawan maut, antara mati dan hidup, antara tangis atau tawa, antara buah Tin dan buah Zaqqum. Perempuan yang pantang dan lantang menyerah dalam menaungi kejamnya dunia ini. Dia bagaikan; malaikat tanpa sayap, dan hunusan pedang dalam medan perang.Â
Tak lain dan tak bukan dia adalah Ibundaku.
22 tahun telah berlalu tapi kasih sayang tetap membara, merawat, menasehati, dan memberi jalan untuk tetap bertahan hidup di alam raya ini. Ibu tetap tabah, walau air mata sesering basa. Aku masih ingat jelas dalam memori ku; wajah itu, wajah yang tiap malam tetap terjaga, agar aku dengan lucu dan imutnya tidur diatas tempat pembaringan. Sesekali, Ibu mengusap kepalaku, dan mencium keningku dengan penuh belas kasih, tetap hati-hati, hingga aku dengan nyenyaknya tidur. Wajah itu, suram balutan kehangatan dan percikan cahaya Ilahi. Ya wajah Ibuku, yang akan tetap manis.
Memori tetap terjaga, kenangan indah menjadi dambaan untuk pulang.
Masih di halaman yang sama, Ibu selalu berbisik di telingaku; "Nak, jika keinginanmu belum sepenuhnya terwujud. Maka terus menghamba pada-Nya, tetap sabar, dan patuh. Jangan mudah putus asa. Ingat, bagaimana pengorbanan Ibu yang dulu-dulu." Rangkul dan isak tangis mulai membanjiri pipi.Â
Dari depan halaman rumah aku berkata;
"Ibu percayalah, masih ada yang harus di perjuangkan dan dibahagiakan sepanjang masa. Aku tak mengenal yang namanya pupus harapan."Â
Ini aku berusia 12 tahun, masih imut dan gemesnya. Hehe.
Ibu,
Bayanganmu selalu hadir mengisi hari-hariku. Angin damai selalu mengisyaratkan tentang itu. Bagaimana bisa aku melupakan pengorbanan!?