Wirya terbangun saat mendengar istrinya menggerung di pagi buta. Ia panik karena tidak pernah mendapati tingkah istrinya yang seperti itu. Untunglah rumah mereka luas dan megah bak istana raja sehingga tangis keras Saliha tak sampai ke telinga tetangga.Â
Betapa Saliha sedih tiada terpermanai saat terjaga dari mimpi ia mendapati sepasang tanduk tumbuh di dahinya yang putih dan mulus. Saat pertama merabanya, ia tak yakin dua benjolan sebesar kelereng itu adalah tanduk. Namun saat melihatnya melalui cermin, Saliha sadar bila benjolan keras berwarna coklat tua itu adalah tanduk yang tumbuh dari dalam kulit jidatnya.
"Kenapa, Mi?" Wirya bergegas mendekati Saliha. Saat mengetahui suaminya mendekat, Saliha menelungkupkan kepala.
"Papi jangan mendekat!" Teriak Saliha menahan langkah Wirya.
"Mami kenapa menangis?" Wirya tambah penasaran.
Alih-alih menjawab, tangis Saliha semakin keras. Ia tak habis mengerti bagaimana mungkin tanduk itu muncul di dahinya. Padahal belasan jam sebelumnya dahinya masih kinclong usai mendapatkan perawatan rutin. Tubuh Saliha merupakan produk perawatan klinik kecantikan ternama di Singapura. Setiap bulan Saliha rutin datang setelah menjenguk kedua anaknya yang sekolah di sana.
Geger di kamar yang lapang dan sejuk itu pada akhirnya kembali normal. Sebagian ketakutan Saliha tentang pandangan suaminya tidak terbukti. Wirya ternyata bisa memahami keadaan istrinya. Ia malah terus menguatkan dan membesarkan hati Saliha hingga akhirnya bisa menerima kenyataan.Â
"Semua penyakit pasti ada obatnya," ujar Wirya sambil mencium lembut rambut istrinya.
"Tetapi mana sempat untuk berobat, Pi? Papi kan tahu nanti siang aku harus datang ke KPK. Kan Papi sendiri yang bilang kalau aku harus datang menjalani pemeriksaan."
"Iya, memang harus. Untuk sekedar formalitas, Mi."
"Bagaimana kalau ditunda saja, Pi?"
"Jangan, Mi. Kalau kamu tidak datang lagi mereka akan melakukan penjemputan paksa karena menganggap Mami sebagai buronan. Kalau sudah begitu bisa semakin repot kita, Mi. Masak anggota DPR tercantik menjadi buronan KPK," senyum Wirya meyakinkan istrinya.
"Tetapi, jidatku ini..." sungut Saliha sambil mengaca dan terus merabai tanduk di dahinya. Wirya yang berdiri di belakang Saliha menanggapi dengan tenang. Ia sudah memikirkan sebuah jurus bagus untuk mengatasi tanduk di dahi Saliha.
"Benjolan ini tidak terlalu besar. Mami masih bisa menutupinya dengan jilbab. Kan banyak tuh model-model jilbab yang sekarang sedang trendi. Eh, apa sebutannya sekarang? Hijab, ya?" kata Wirya tersenyum sambil menutupi tanduk Saliha dengan baju piyamanya.
Keduanya menatapi cermin dan mematut penampilan Saliha bila mengenakan jilbab. Saliha menilai solusi Wirya cukup jitu. Setidaknya untuk sementara. Mereka lalu bersepakat, sementara Saliha memenuhi undangan KPK, Wirya akan mencari informasi bagaimana dan di mana cara menghilangkan tanduk yang tumbuh tiba-tiba itu. Saliha pun lalu mengambil semua koleksi kerudung yang pernah ia beli saat melakukan studi banding keliling Eropa dan Amerika bersama koleganya.
Pada siang hari, Saliha yang berbaju gamis dan memakai jilbab sudah berada di ruang tunggu gedung KPK ditemani Bruno, pengacaranya. Pakar hukum pidana yang terkenal karena sering membela koruptor itu memuji penampilan baru Saliha yang nampak relijius dan sulit dikenali. Saliha tak terlalu mengindahkan pujian itu karena hatinya terus gelisah. Bukan lantaran kasus korupsi yang menjadikannya sebagai terperiksa di KPK.
Saliha tidak terlalu khawatir karena ia telah mendapatkan informasi dari ketua umum partainya, yang juga adalah pejabat tinggi negara, bila KPK belum akan menetapkannya sebagai tersangka. Saliha gundah karena memikirkan tanduk di kepalanya: apakah benda laknat itu bisa dicabut tanpa merusak kecantikannya?
Dari balik pintu kaca, seorang wartawan yang mengenali Saliha memberitahu rekannya.
"Iya betul! Itu Saliha Sudiraatmaja!" Yakin rekan itu yang juga seorang wartawan.
"Masak, sih? Memang dia memakai jilbab?" Wartawan yang lain tidak percaya.
"Ah, seperti tidak tahu saja. Sudah banyak perempuan yang mendadak berhijab begitu berurusan dengan KPK," jawab yang lain.
"Iya, biar tidak dikenali. Enak betul, ya, jadi perempuan, kalau berurusan sama KPK bisa mengubah penampilannya dengan berjilbab," kata seorang wartawan lainnya.
"Bang, posisinya gimana sih, kok, belum ditetapkan sebagai tersangka sama KPK?" Tanya seorang wartawati yang paling muda.
"Katanya, sih, KPK kesulitan mendapatkan bukti karena uang suap yang diterima Saliha semuanya dalam bentuk tunai, dolar Amerika. Jumlahnya hampir lima ratus M."
"M? Milyar?" Â
"Ember."
"Ha ha ha." Tawa pecah di lobi gedung KPK. Suaranya masuk hingga ke ruang tunggu. Namun, Saliha luput untuk memerhatikan karena seorang petugas pamdal memintanya menuju ruang pemeriksaan.
Usai ditanyai selama tujuh jam, Saliha langsung diserbu pertanyaan dari para wartawan. Kali ini Saliha tak bicara sepatah katapun. Sesuai arahan Bruno. Di sudut halaman parkir, sebuah sedan mewah yang terparkir dengan mesin dihidupkan tengah menanti Saliha. Karena terus menerus didesak wartawan untuk memberikan pernyataan, Saliha tak kuasa mengucapkan pembelaannya dengan emosi dan berulang-ulang.
Saat masuk ke dalam mobil, perasaannya terasa lebih lega apalagi di dalamnya ternyata telah menunggu Wirya. Mereka kemudian meluncur menuju rumah sakit mewah di pinggir ibukota. Di tempat itu Saliha akan menjalani operasi pengangkatan tanduk oleh tim dokter yang dipimpin seorang profesor di bidang ilmu kosmetik.
Keesokan paginya, Saliha terbangun begitu seorang dokter jaga masuk ke kamar untuk mengukur tensi darahnya. Ia ditemani dua orang perawat yang mendorong kereta makanan dan obat-obatan.
"Selamat pagi, Bu. Tidurnya nyenyak sekali. Bagaimana kepalanya, apakah pusing?" Tanya dokter muda itu dengan ramah. Saliha yang kepalanya dibebat kain perban hanya mengangguk lemah. Matanya melongok ke sofa di ruang tamu untuk mencari suaminya. Wirya ternyata juga terbangun. Ia bergegas masuk toilet.
Saat keluar dari toilet, dokter dan perawat sudah tidak ada. Ia melihat istrinya yang sedang serius menatap televisi berlayar lebar yang tertempel di dinding di seberang ranjang. Ternyata Saliha sedang menonton siaran berita mengenai kasus yang menimpa dirinya. Di layar terdengar suara lantang Saliha saat menghadapi kerumunan wartawan:
"Demi Allah! Demi Rasulullah! Saya tidak pernah korupsi!" Pernyataan Saliha langsung dibalas dengan pertanyaan bertubi-tubi para wartawan hingga terdengar seperti dengung lebah di sarangnya.
"Demi Allah! Sekali lagi, Demi Allah! Saya tidak pernah menerima suap dari PT EGP!" Berita korupsi selesai. Berita selanjutnya adalah mengenai seorang janda yang bunuh diri setelah membunuh ketiga anaknya sendiri yang masih balita karena tak kuat hidup miskin sendirian. Saliha tak tertarik untuk menyimaknya. Ia meminta Wirya mematikan tv.
"Mami hebat," puji Wirya. Saliha tersenyum ia lalu menyalakan handphone. Ada beberapa pesan yang ia terima.Â
"Pi, kamu sudah kirim uang buat rakornas partai ke Pak Arnold?"
"Sudah. Aku sendiri yang mengantarnya semalam. Jumlahnya seratus ribu dolar."
"Sisanya jangan diutak-atik lagi, Pi, sampai keadaan benar-benar aman. Kalau bisa disembunyikan saja di tempat lain. Mami khawatir nanti ketahuan kalau digeledah KPK. Jangan juga ditaruh di bank. Kata Bruno semua aliran dana dari rekening mami dan papi sedang diselidiki..."
"Iya. Sudah, sekarang Mami jangan banyak berpikir dulu. Istirahat saja. Biar cepat sembuh," saran Wirya. Saliha terdiam. Ia memang ingin cepat sembuh. Ia sedikit lega karena kedua tanduk sialan itu telah menghilang dari jidatnya. Walaupun untuk itu, ia harus kehilangan uang hampir seratus juta rupiah dalam semalam.
Sebetulnya, mereka tidak terlalu memikirkan soal uang. Jumlah itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pemberian yang mereka terima dari para pengusaha yang dibantu Saliha memenangi tender proyek pembangunan rumah sakit dan gedung sekolah di beberapa provinsi. Saliha pun berpikir apakah kemunculan sepasang tanduk itu adalah semacam pertanda bila Tuhan sedang marah kepadanya?
"Ah, peduli setan. Ada beratus-ratus, bahkan beribu-ribu, pejabat lain di negeri ini yang lebih korup dan serakah, mengapa hanya aku yang dihukum Tuhan seperti ini?" Begitu Saliha membatin, tak lama, karena sesuatu dalam dirinya mendesak-desak untuk keluar.
"Pi, antar mami ke toilet," ujar Saliha sambil mencoba mengangkat badannya. Wirya bergegas menghampiri untuk memapah istrinya. Saat berhasil turun dari ranjang, Saliha merasakan kepalanya sedikit pusing. Ia pun meraih bahu Wirya. Sambil bergerak perlahan, suami istri itu berjalan beriringan.
Tangan kanan Wirya yang semula merengkuh erat bahu Saliha, lalu turun untuk meraih pinggang istrinya. Saat itu tangan Wirya menyentuh sesuatu yang menurutnya tak biasa. Wirya melihat ke arah belakang Saliha. Ia penasaran saat melihat ada yang menjuntai dari balik baju operasi yang dikenakan Saliha.
"Apa ini?" Tanyanya sambil mengangkat bagian belakang baju istrinya. Saliha kaget dengan tindakan suaminya. Wirya lebih kaget lagi karena melihat pada bokong istrinya tumbuh daging berbentuk panjang. Berbulu dan berwarna abu-abu. Seperti ekor tikus.
Tangerang, 12 Oktober 2013
(Note: cerpen ini telah mengalami penolakan di sejumlah media massa yang menyediakan rubrik cerpen.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H