Mohon tunggu...
Ingatan Sihura
Ingatan Sihura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kebersamaan keluarga suatu kebahagiaan sejati.

If You Don't Learn, You Will Die (Jika Engkau Tidak Belajar, Maka Engkau Akan Mati). Sering Membaca, Sering Menulis Bicara Teratur. Menulis adalah satu minat yang ingin diaplikasikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pro dan Kontra Budaya Tandu dalam Budaya Nono Niha

2 September 2021   19:29 Diperbarui: 2 September 2021   19:43 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PRO DAN KONTRAK BUDAYA TANDU DALAM BUDAYA NONO NIHA

Catatan Awal:

Sabtu, 21 Agustus 2021 adalah salah momen yang sangatlah istimewa dalam sejarah Gereja Katolik khususnya Dekanat Nias. 

Menjadi momen yang sangat istimewa karena pada saat itulah umat Katolik Dekanat Nias menyambut kedatangan pimpinan tertingginya di Kesukupan Sibolga. 

Kegiatan penyambutan Uskup yang baru ini dilaksanakan dengan rangkaian budaya Nono Niha. Salah satu kegiatan istimewa dalam penyambutan ini adalah dimana Bapak Uskup ditandu memasuki pelataran Gereja Kon Katedral St. Maria Bunda Para Bangsa Gunungsitoli.

Sebagaimana kegiatan ini merupakan momen yang sangatlah istimewa, umat katolik yang hadir dalam kegiatan penyambutan ini tidak menyianyiakan momen tersebut dengan beberapa foto dan video yang diupload ke media sosial. 

Ternyata, komentar yang muncul dari postingan tersebut tidaklah selalu pro terhadap apa yang dimaksudkan. Ada juga pengguna media sosial yang kontra dengan postingan tersebut dan bahkan acara ini kemudian menjadi viral.

Beberapa saudara yang beragama Kristen Protestan mengatakan bahwa budaya tandu itu bukanlah budaya Nias. 

Dalam budaya Nias, budaya tandu itu hanya dilakukan kepada pengantin perempuan dan bukan kepada seorang laki-laki. 

Namun dengan penuh percaya diri, umat Katolik khususnya yang ada di Dekanat Nias mengatakan bahwa budaya tandu itu adalah Budaya Nias. 

Budaya Ini dilakukan dahulunya kepada para keturunan bangsawan dan balugu serta dalam prosesi penyambutan tamu besar di pulau Nias. Perdebatan yang ada di media sosial ini akhirnya ada yang berujung kepada tindakan saling menjelek-jelekkan.

Melihat situasi di atas, penulis merasa bahwa hal ini menarik untuk dibahas dengan mengedepankan beberapa pertanyaan pengarah. 

Diantaranya: apakah dalam budaya Nias ada budaya tandu? Mengapa budaya tandu tidak pernah dilihat dan disaksikan oleh Ono Niha di zaman milenial ini? Apakah sudah tepat umat Katolik Dekanat Nias menyatakan menandu tamu besar adalah bagian dari Budaya Nias? Ketiga pertanyaan ini akan diuraikan dari beberapa sudut pandang berikut ini.

Budaya Nias Zaman Dahulu:

Seperti telah penulis uraikan dalam tulisan yang telah ditampilkan sebelumnya (Famahea, Salah Satu Budaya Nono Niha Menyambut Tamu Besar), hal itu memang begitu adanya dan sejauh ini penulis dapat mempertanggungjawabkannya. Pertanggungjawaban tersebut dapat diketahui dalam tulisan ini nantinya.

museum-nias.org
museum-nias.org

Di Nias dikenal istilah "OSAOSA". Osaosa adalah tempat duduk yang akan ditandu. Osaosa sendiri berasal dari kata kerja "osa'o" (tandu). 

Museum Pusaka Nias menjelaskan bahwa Osaosa ini merupakan tempat duduk seseorang ketika melakukan pesta stratifikasi. 

Dalam koleksi Museum Pusaka Nias, ada empat bentuk yang berbeda. Keempat bentuk tersebut disatukan dengan nama "osaosa ni'oboho" (tempat duduk berbentuk rusa).

museum-pusaka-nias-koleksi-2-6130bebf06310e21f5543262.jpg
museum-pusaka-nias-koleksi-2-6130bebf06310e21f5543262.jpg

Lain Osaosa Ni'oboho [Sumber: Museum Pusaka Nias]

Dari penemuan batu megalitikum ini sebenarnya mengisyaratkan bahwa dahulu Ono Niha memiliki kebiasaan tandu menandu, terutama kepada orang-orang keturunan bangsawan atau orang yang akan menaikkan stasus (bosi) sosialnya. 

Kebiasaan ini juga tidak ketinggalan dilakukan kepada tamu besar yang memiliki tingkat sosial yang sama dengan Balugu atau Tuhenri setempat.

budaya-indonesia.org
budaya-indonesia.org

Selain dari batu megalitikum ini, penulis juga sering mendengarkan dari beberapa tertua adat bahwa ketika seseorang menjadi Balugu (mangai ti mbalugu) ia akan ditandu jika bosi (tingkatan)-nya tercukupi. Namun jika tidak, ia akan diberi ti mbalugu, namun tidak ditandu.

museum-nias.org
museum-nias.org

Budaya Nias Zaman Milenial:

Dahulu, proses dokumentasi sangatlah sulit ditemukan. Kalau bukan terbuat dari batu yang tahan lama, peninggalan megalitikum tersebut tidak dapat memberikan gambaran akan peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu. Tidak seperti saat ini, setiap momen penting dapat dengan mudah diingat. 

Bagaimana tidak, saat ini mulai dari anak SD hingga kakek-nenek memiliki HP android yang dengan mudah mendokumentasikan segala peristiwa. 

Tidak hanya itu, media sosial juga hamper setiap tahun mengingatkan momen yang sangat penting bagi setiap pemilik akun media sosial tersebut.

Terkait dengan budaya tandu di zaman milenial ini, hampir tidaklah pernah ditemukan atau bahkan hampir tidak pernah di dengar. 

Bagaimana tidak, anak-anak zaman milenial ini barulah percaya jika ada bukti setidaknya gambar yang bisa dilihat sehingga meyakinkan. 

Jika tidak, anak-anak di zaman milenial ini sulit mempercayainya, dan jika terpaksa mereka hanya menganggap itu adalah mitos belaka.

Selain pembuktian, para tertua adat yang masih hidup juga tidak mampu melestarikan kebiasaan itu. Hal ini dikarenakan beberapa hal:

  • Ono Niha zaman dahulu keinginannya adalah "Mangai Toi" (mengambil nama). Ti (nama) menjadi sesuatu yang sangatlah diperjuangkan, karena dengan adanya Ti, ia dapat dihormati, dijamu, dan mampu berkata-kata dimana pun berada. Ti itu barulah bisa di dapatkan jika mampu melewati tahapan tertentu sehingga bosi itu tercapai. Namun dalam kenyataannya, orang saat ini kadang kala tidak memperhitungkan ti itu.
  • Pembiayaan yang cukup besar. Dalam proses mencari nama Balugu, semuanya akan dibarengi dengan biaya yang cukup besar. Mulai dari banyaknya babi yang digunakan hingga keperluan lain. Kegiatan ini dilakukan bukan hanya sekali dua kali, melainkan hingga berkali-kali hingga mencapai tingkatan tertentu. Semua ini dalam tingkatan ada dikatakan "ma me g mbanua" (memberi makan orang sekampung). Orang saat ini lebih mengutamakan biaya sekolah anaknya dari pada pesta yang tidak jelas.
  • Waktu yang cukup lama. Selain biaya yang cukup membebani dalam setiap tingkatan pesta, waktu yang berhari-hari juga sangat menguras tenaga. Orang yang saat ini sibuk dengan dunia pekerjaan masing-masing, membuat kejadian di tetangganya pun kadang kala tidak diketahui.

Budaya Orang Nias Katolik Menyambut Tamu:

Hadirnya Gereja Katolik di tanah Nono Niha merasa bahwa adat tersebut juga memiliki nilai luhur yang terkandung di dalamnya. 

Maka, tidaklah salah jika budaya itu diangkat dan dicoba untuk dikolaborasikan dengan kebiasaan yang ada dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang kemudian sering sekali disebut dengan Inkulturasi.

dokpri
dokpri

Dalam hal penyambutan tamu besar khususnya pimpinan tertinggi, dalam hal ini Bapak Uskup Keuskupan Sibolga, Ono Niha memperlakukannya layaknya seorang Balugu atau Tuhenri. 

Penyamaan kedudukan ini bukanlah semata-mata sebagai seremonial penyambutan. Proses ini pertama-tama sebagai wujud dari semangat Gereja Katolik yang menyerukan adanya Inkulturasi.

Ritual Fangosa' dalam budaya Nono Niha suatu aplikasi dari Umat Katolik Dekanat Nias dalam kerangka inkulturasi.

Ono Niha Katolik menyadari bahwa adat yang kaya akan nilai luhur, sudah sepantasnya dilestarikan keberadaanya. 

Bosi yang sulit didapatkan dalam ritual menjadi seorang Balugu, sungguh membuat budaya tandu ini tidak lagi bisa dirasakan keberadaannya dalam ritual adat Nono Niha. 

Namun Ono Niha Katolik merasa terpanggil untuk melestarikannya. Dalam hal ini, Uskup yang merupakan Pimpinan Tertinggi layak dan mungkin lebih dari Balugu itu sendiri.

"Kehadiran Gereja dalam budaya, bukan untuk menghapuskan budaya. Akan tetapi, kehadiran Gereja untuk mencerahi budaya itu sendiri." tegas Mgr. Antoni Guido Filipazzi, Duta Besar Vatikan Untuk Indonesia dalam Acara Sambung Rasa Berasama Umat Katolik Keuskupan Sibolga dalam rangka Sinode Ke 2 Keuskupan Sibolga.

Nama Balugu yang didapat dari hasil usaha manusia tidak jarang membawa petaka bagi diri sendiri dan keturunan karena "utang" yang dihasilkan dari proses pesta yang berkepanjangan. Kedudukan sebagai Uskup bukanlah sebuah perjuangan manusiawi. 

Uskup itu bukanlah jabatan yang mengajukan diri melainkan dipilih dan ditunjuk oleh Paus di Vatikan. 

Sebagai seorang pimpinan, Uskup memiliki kuasa penuh untuk memimpin dan mengayomi umat yang dipercayakan kepadanya sampai akhir hayatnya.

Refleksi Biblis Ono Niha Katolik:

Dalam ritual penyambutan tamu besar tidak hanya dalam budaya Nono Niha saja. Budaya penyambutan yang bercitarasa budaya juga ditunjukkan dalam Kitab Suci orang Kristen atau yang sering disebut Alkitab. 

Dalam Kitab Suci dijelaskan bagaimana ketika Yesus sang pemimpin itu memasuki Kota Yerusalem (Matius 21:1-11, Markus 11:1-11, Lukas 19:29-44, dan Yohanes 12:12-19).

Yesus yang memasuki Kota Yerusalem sebagaimana diterangkan dalam keempat Injil di atas, sungguh sebenarnya sarat dengan budaya setempat. 

Pertama: Yesus memasuki kota Yerusalem dengan menunggangi keledai. Dalam kebudayaan Yahudi dan sekitarnya, orang yang datang dengan kuda akan menunjukkan kekuatannya. Jika seseorang datang dengan keledai, ia menghendaki perdamain.

Selain keledai, orang orang juga sangat antusias yakni dengan membentangkan daun palma di jalan dimana Yesus lewat.  Daun palma yuga dalam kebudayaan setempat juga menyimbolkan perdamain itu sendiri. 

Kedua symbol ini mau menunjukkan bahwa Yesus sebagai tokoh yang memimpin dan kepemimpinanNya dalam koridor kedamaian.

Catatan Akhir:

Setelah menguraikan beberapa hal di atas, maka penulis hendak memberikan catatan akhir dari pro kontrak terkait budaya tandu dalam Budaya Nono Niha. 

Tentu penulis berharap bahwa ini bukanlah klarifikasi final tetapi ini bisa memberi gambaran akan apa yang ada dalam budaya Nono Niha. Catatan akhir yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut:

  • Dari beberapa informasi yang penulis temukan, kehadiran Misionaris Protestan ke daerah Nias sejak dahulu melihat budaya sebagai bagian dari kegiatan kekafiran. Dari pandangan inilah dalam kebiasaan protestan di daerah Nias, sulit kita temukan kegiatan yang berbaur kebudayaan. Dalam hal ini, tidak bisa disalahkan bahwa para saudara yang dari Gereja-Gereja Protestan tidak bisa melihat secara keseluruhan budaya itu sendiri.
  • Lewat peninggalan para leluhur Nono Niha yakni dalam bentuk batu megalitikum, osaosa ni'obh, menunjukkan bahwa budaya tandu memang budaya Nono Niha yang sudah lama tidak dilakukan lagi.
  • Ono Niha Katolik yang merupakan bagian dari Kebudayaan Nono Niha itu sendiri tidak juga disalahkan karena mengatakan bahwa budaya tandu itu adalah budaya Nono Niha yang juga memang benar budaya Nono Niha. Namun karena hanyalah umat Katolik yang hingga saat ini melestarikannya, sebenarnya sangatlah kita sambut baik. Menandu seorang Uskup ketika memasuki daerah Nias sungguh merupakan bagian dari penghayatan iman kekatolikan yang masih membudaya. Hal inilah yang sering disebut sebagai Inkulturasi.
  • Ono Niha Katolik yang menyambut Uskupnya dengan cara ditandu, juga menunjukkan penghayatan iman orang Katolik Nias yang menyambut Yesus yang memasuki kota Yerusalem. Uskup yang disambut dan merupakan pimpinan Ono Niha Katolik juga akan bertahta di Katedranya memberikan penggembalaan kepada Ono Niha Katolik.

Semoga Bermanfaat.

Ya'ahowu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun