Pemerintah Thailand memberikan surat izin bagi pengelola tempat-tempat pelacuran dengan ketentuan usaha tersebut akan menerima sanksi jika ada PSK di tempat tersebut yang terdeteksi HIV-positif.
Dengan ancaman ini pengelola (germo atau mucikari) memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat usahanya.
Celakanya, program itu 'dicangkok' ke Perda-perda AIDS tapi tidak utuh. Di Perda-perda AIDS di Indonesia yang kena sanksi adalah PSK. Ini konyol karena 1 PSK masuk penjara ada 100-an PSK yang menggantikan PSK yang dipenjarakan karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Sebelum PSK itu masuk penjara sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa memakai kondom.
PSK yang terdeteksi HIV-positif itu minimal sudah tertular tiga bulan sebelum razia. Itu artinya jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS karena sudah melakukan hubunagan seksual tanpa kondom dengan PSK tersebut sebanyak ini: 1 PSK x 3 laki-laki per malam x 25 hari perbulan x 3 bulan = 225.
Sekarang tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga praktek pelacuran pindah ke media sosial dengan transaksi melalui Ponsel. Itu artinya tidak bisa lagi dilakukan intervensi seperti yang dijalankan Thailand.
Maka, kalaupun Pemkot Makassar dan DPRD Makassar merancang Perda AIDS yang perlu ada di Perda itu adalah intervensi terhadap laki-laki dewasa yang melakukan perilaku seksual berisiko, seperti di matriks berikut ini.
Jika tidak ada langkah konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru melalui perilaku berisiko seperti di Matriks I, itu artinya kasus baru HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Makassar.
Begitu juga dengan perilaku berisiko yang dilakukan oleh perempuan dewasa jadi pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat Kota Makassar (Matriks II).