Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi di Indonesia Pengidap AIDS Dipaksa Keluar Sementara Pengidap TBC Disembunyikan

19 Juli 2023   09:09 Diperbarui: 19 Juli 2023   12:58 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye melawan tuberkulosis (TB) di Indonesia. (Foto: voaindonesia.com/VOA/Fathiyah Wardah)

"Menkes: 400 Ribu Pengidap TBC Tidak Terdeteksi dan Berpotensi Menularkan." Ini judul berita di VOA (18/7-2023).

Sejak epidemi HIV/AIDS diakui pemerintah ada di Indonesia yaitu April 1987, sementara epidemi global sudah berkecamuk sejak 1981, ada ironi yang terjadi di neger ini.

Banyak kalangan, bahkan dari pemeritah pusat sampai daerah yang memaksa pengidap HIV/AIDS keluar. Artinya, identitas mereka dipublikasikan. Disebut hal itu untuk mencegah HIV/AIDS.

Padahal, HIV/AIDS tidak menular melalui pergaulan sosial sehari-hari, seperti bersalaman, berpelukan, makan bersama dan lain-lain.

Di sisi lain pengidap TBC justru disembunyikan oleh keluarga di rumah dengan berbagai macam alasan. Dahulu kasus-kasus TB banyak terdeteksi pada kalangan orang miskin sehingga kalangan menengah-atas merasa malu kalau ada anggota keluarga yang tertular TB. Padahal, penularan TB tidak melihat status sosial dan ekonomi karena siapa saja yang terpapar dengan udara yang mengandung baksil TB berisiko tertular jika tidak memakai masker.

Tahun 1980-an Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) membawa 40 relawan dengan kapal terbang, salah satu dari mereka pengidap TB aktif. Kapal terbang mengudara selama 2 jam. Setelah berapa bulan relawan jalani tes TB. Hasilnya, 40 persen positif tertular TB. Itu artinya risiko tertular TB di ruangan tertutup sangat besar. 

Ketika seorang pengidap TBC tidak menjalani pengobatan, maka ada potensi yang sangat besar untuk menularkan baksil TB (Mycobacterium bovis) melalui udara bersama cairan yang keluar ketika seorang pengidap TB aktif bersin atau batuk.

Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian jumlah kasus TB di Indonesia, seperti yang dilaporkan Kemenkes mencapai 969.000 per tahun. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua jumlah kasus TB secara global di belakang India.

Baca juga: Masalah TBC di Indonesia

Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 sebanyak  635.167 yang terdiri atas 493.118 HIV dan 142.049 AIDS (siha kemkes).

Yang perlu diingat angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang terdeteksi atau dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawa permukaan air laut.

Pada epidemi HIV/AIDS salah satu penyakit infeksi oportunistik (penyakit-penyakit yang menginfeksi pengidap HIV/AIDS karena kondisi sistem kekebalan tubuh mereka lemah) penyebab kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah TBC.

Ilustrasi (Sumber: yki4tbc.org)
Ilustrasi (Sumber: yki4tbc.org)

Itulah alasannya mengapa di banyak negara pengidap HIV/AIDS yang berobat ke layakan kesehatan pemerintah diwajibkan menjalani tes TBC.

Secara empiris orang-orang dengan infeksi HIV/AIDS mudah terinfeksi TBC, sebaliknya, pengidap TBC juga mudah tertular HIV/AIDS jika melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Celakanya, di Indonesia hal itu tidak dijalankan karena 1001 macam alasan. Alasan yang paling kuat adalah pasien TBC menolak tes HIV dan sebaliknya pasien HIV/AIDS juga menolak tes TBC. Ini terjadi karena tidak ada regulasi yang berkekuatan hukum.

Apa lacur kasus HIV/AIDS terus bertambah seiring dengan perilaku berisiko setengah orang dan penyebaran TBC juga terus terjadi karena banyak pengidap TBC yang tidak terdeteksi, bahkan mereka disembunyikan di rumah yang meningkatkan risiko penyebaran baksil TB.

Pemerintah, melalui Kemenkes dan jajarannya, menjalankan program skrining TBC pada pengidap HIV/AIDS dan skrining HIV/AIDS pada pengidap TBC.

Secara nasional pemerintah menargetkan skrining TBC pada pasien HIV/AIDS sebesar 100 persen, tapi sampai triwulan ketiga tahun 2022 capaiannya hanya 76% (siha kemkes).

Ada lima provinsi dengan capaian tertinggi skiring TBC pada pasien HIV/AIDS, yaitu:

  • Bangka Belitung (Babel) 98%
  • Sumatera Barat (Sumbar) 96%
  • Nusa Tenggara Barat (NTB) 94%
  • Maluku 93%
  • Lampung 93%

Sedangkan lima provinsi dengan capaian terendah skrining TBC pada pasien HIV/AIDS, yaitu:

  • Sulawesi Tengah (Sulteng) 48%
  • DKI Jakarta 15%
  • Papua Barat 11%
  • Sulawesi Utara (Sulut) 1%
  • Gorontalo 0%

Maka, biarpun pemerintah tidak lagi mewajibkan pemakaian masker, tapi dengan kondisi penyebaran TBC ini adalah cara berpikir yang baik jika warga tetap memakai masker di tempat-tempat keramaian, bioskop, mal dan angkutan umum.

Sedangkan pengidap TBC yang mengetahui status HIV juga dilakukan melalui skrining pasien TBC. Pemerintah menargetkan 100% pasien TBC jalani skrining HIV/AIDS, tapi dalam pelaksanaannya sampai triwulan ketiga tahun 2022 realisasinya hanya mencapai 55%.

Ada lima provinsi dengan capaian tertinggi skrining HIV/AIDS pada pasien TB, yaitu:

  • Kalimantan Utara (Kaltara) 78%
  • Bali 77%
  • Nusa Tenggara Barat (NTB) 74%
  • Sumatera Utara (Sumut) 73%
  • Jawa Timur (Jatim) 72%

Sedangkan lima provinsi dengan capaian terendah skrining HIV/AIDS pada pasien TB, yaitu:

  • Jawa Barat (Jabar) 39%
  • Maluku Utara (Malut) 39%
  • Kalimantan Tengah (Kalteng) 39%
  • DI Yogyakarta 38%
  • Maluku 37%

Bagi pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi mengidap TBC sebagai koinfeksi diberikan tatalaksana OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan ART (Anti Retroviral Theraphy) dengan target nasional 100%, tapi realiasisnya hanya 35% sampai triwulan ketiga tahun 2022.

Lima provinsi dengan capaian tertinggi tatalaksana OAT dan ART, yaitu:

  • Bali 73%
  • Kepulauan Riau (Kepri) 63%
  • DKI Jakarta 52%
  • Kalimantan Utara (Kaltara) 47%
  • Sulawesi Utara (Sulut) 45%

Sedangkan lima provinsi dengan capaian tererendah tatalaksana OAT dan ART, yaitu:

  • Riau 7%
  • Sumatera Barat (Sumbar) 3%
  • Bengkulu 0%
  • Kalimantan Selatan (Kalsel) 0%
  • Gorontalo 0%

Sudah waktunya bagi pemerintah kabupaten dan kota menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan pasien TBC jalani tes HIV dan pasien HIV/AIDS jalani tes TBC yang berobat ke layanan kesehatan pemerintah. Hal ini tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) karena masih ada pilihan.

Tanpa langkah-langkah yang konkret untuk menemukan pengidap TBC dan HIV/AIDS, maka kasus infeksi baru TBC dan HIV/AIDS akan terus terjadi di Indonesia. Bisa jadi Indonesia akan jadi 'afrika kedua' dalam kasus HIV/AIDS *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun