"Menkes: 400 Ribu Pengidap TBC Tidak Terdeteksi dan Berpotensi Menularkan." Ini judul berita di VOA (18/7-2023).
Sejak epidemi HIV/AIDS diakui pemerintah ada di Indonesia yaitu April 1987, sementara epidemi global sudah berkecamuk sejak 1981, ada ironi yang terjadi di neger ini.
Banyak kalangan, bahkan dari pemeritah pusat sampai daerah yang memaksa pengidap HIV/AIDS keluar. Artinya, identitas mereka dipublikasikan. Disebut hal itu untuk mencegah HIV/AIDS.
Padahal, HIV/AIDS tidak menular melalui pergaulan sosial sehari-hari, seperti bersalaman, berpelukan, makan bersama dan lain-lain.
Di sisi lain pengidap TBC justru disembunyikan oleh keluarga di rumah dengan berbagai macam alasan. Dahulu kasus-kasus TB banyak terdeteksi pada kalangan orang miskin sehingga kalangan menengah-atas merasa malu kalau ada anggota keluarga yang tertular TB. Padahal, penularan TB tidak melihat status sosial dan ekonomi karena siapa saja yang terpapar dengan udara yang mengandung baksil TB berisiko tertular jika tidak memakai masker.
Tahun 1980-an Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) membawa 40 relawan dengan kapal terbang, salah satu dari mereka pengidap TB aktif. Kapal terbang mengudara selama 2 jam. Setelah berapa bulan relawan jalani tes TB. Hasilnya, 40 persen positif tertular TB. Itu artinya risiko tertular TB di ruangan tertutup sangat besar.Â
Ketika seorang pengidap TBC tidak menjalani pengobatan, maka ada potensi yang sangat besar untuk menularkan baksil TB (Mycobacterium bovis) melalui udara bersama cairan yang keluar ketika seorang pengidap TB aktif bersin atau batuk.
Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian jumlah kasus TB di Indonesia, seperti yang dilaporkan Kemenkes mencapai 969.000 per tahun. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua jumlah kasus TB secara global di belakang India.
Baca juga: Masalah TBC di Indonesia
Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 sebanyak  635.167 yang terdiri atas 493.118 HIV dan 142.049 AIDS (siha kemkes).