Selepas salat malam di sebuah rumah kontrakan di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, di awal tahun 1990-an ada sosok perempuan berambut panjang yang keluar dari kamar tengah melenggang ke arah dapur.
Saya pikir itu hanya bayangan karena selama tiga tahun tinggal di rumah itu tidak ada sesuatu yang aneh.
Beberapa tahun kemudian saya pindah ke bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur. Tetap tidak ada yang aneh, tapi beberapa orang selalu mengatakan rumah yang saya tempati itu gelap dan kelihatan panas.
Sama sekali saya tidak pernah berpikir ke hal-hal yang di luar pemikiran akal sehat. Tapi, (alm) Ketua RW di tempat tinggal saya berkali-kali meminta saya untuk tetirah [KBBI: pergi ke tempat lain dan tinggal sementara waktu (untuk memulihkan kesehatan dan sebagainya)]. "Pak, Ipul, tolonglah sementara tetirah," kata Pak RW itu ketika bertemu dalam berbagai kesempatan.
Saya juga selalu bertanya: Mengapa dan untuk apa?
Tapi, dengan nada rendah Pak RW itu hanya mengatakan, "Ya, tetirah saja dulu, Pak!"
Sampai beberapa tahun saya tidak ikuti anjuran Pak RW. Pada waktunya saya menjalani pengobatan alternatif ke Banten karena beberapa keluhan yang saya alami tidak bisa disembuhkan dengan obat medis.
Setelah berobat ke Banten barulah semuanya terkuak. Rupanya, saya jadi sasaran santet karena jadi tumbal untuk pesugihan yang dilakukan kerabat mantan orang dekat.
Saya ingat betul ketika baru masuk ke rumah Bu Haji Emun di Pandeglang, Banten, Bu Haji geleng-gelang sambil berdecak: "Kalau Bapak tidak rajin puasa Senin-Kemis dan salat malam, Bapak ke sini sudah di kursi roda."
Saya bingung sambil mengurut dada dan mengucap syukur.
Ketika itu keluhan saya adalah sakit di beberapa bagian tubuh mulai dari sendi-sendi di kaki sampai kepala nyeri.
"Di rumah ada kamar yang tidak boleh dimasuki orang lain, Pak?" Ini pertanyaan Bu Haji ketika saya sudah duduk di kursi di ruang tamu.
Jelas tidak ada. Tapi, ketika pertama kali ke rumah kerabat mantan orang dekat baru di tepi teras rumah saya sudah diingatkan: "Jangan masuk ke kamar itu," kata kerabat tadi sambil menunjuk sebuah kamar di dalam rumah yang dituju.
Itu saya sampaikan ke Bu Haji. Maka, jelaslah sudah itu merupakan tempat pemujaan bagi yang memelihara pesugihan (memperoleh kekayaan dengan memanfaatkan makhluk halus dengan imbalan tumbal nyawa manusia yang dijadikan korban atau wadal).
Saya kian kaget karena ternyata saya jadi tumbal Nomor 10, putri saya Nomor 9 dan putra saya Nomor 11.
Urutan tumbal ini kian jelas ketika saya berobat ke Pak Ajie di Cilegon, Banten. Pak Ajie ini bisa mengetahui nama dan alamat lengkap dukun yang mengirim santet, nama yang membayar dukun dan waktu pengiriman santet.
"Coba Bapak hitung sudah ada delapan nyawa yang melayang di lingkungan keluarga itu (maksudnya yang memelihara pesiguhan-pen.)." Benar saja ada delapan mulai dari adik, anak, menantu, ipar dan sopir yang meninggal sampai saat itu.
Alhamdulillah, saya dan anak saya selamat dan dari pihak mereka yang kemudian kehilangan nyawa.
Celakanya, tuyul yang ditempatkan di rumah tidak semerta hilang. Rupanya, sejak lama tuyul itu dengan pendamping 'ratu' (makhluk halus) sudah lama dilekatkan ke badan saya. Perempuan yang selintas tampak di rumah kontrakan di Rawamangun adalah jin yang mengawasi tiga tuyul yang ada di rumah.
Saya baru sadar rupanya Pak RW ingin memastikan terlebih dahulu apakah saya yang memelihara tuyul itu. Kalau saja Pak RW mengatakan hal yang sebenarnya mungkin derita saya sedikit berkurang waktu itu.
Selah beberapa kali ke rumah Bu Haji dan Pak Ajie semua kian jelas. Pikiran saya terbuka dan mengingat semua kejadian yang luput dari perhatian saya sebelum berobat ke Banten.
Dari catatan beberapa kali saya menerima uang dengan jumlah tertentu, tapi sampai detik ini saya tidak tahu uang itu ke mana rimbanya karena tidak masuk ke rekening tabungan saya.
Belakangan baru saya ingat ketika sore atau malam pulang kerja atau pulang dari tugas luar kota uang yang saya letakkan di laci meja kerja sampai sekarang tidak tahu keberadaannya.
Yang lebih aneh esok harinya pun saya tidak ingat lagi soal uang yang saya letakkan di laci. Semua baru saya ingat setelah beberapa kali berobat ke Banten.
Ketika seseorang yang bisa menarik tuyul saya bawa ke rumah, (alm) penjaga sebuah sekolah dekat rumah bingung karena semula dia pikir saya yang memelihara tuyul itu.
Saya mencari yang bisa menarik tuyul karena suatu hari anak saya dan pembantu ketakutan di rumah. Mereka telepon saya dengan mengatakan ada tuyul di rumah.
Saya pulang dan berusaha mengusir tuyul, tapi gagal karena alat yang ada di tangan saya hanya untuk jaga-jaga. Tidak sedikit warga yang mencibir: "Ah, mosok ada tuyul siang-siang." Yang lain mendongak dan mencibir.
Tapi, salah satu pembantu saya bisa lihat karena kakeknya orang pintar sehingga tuyul kuning berwujud ular tidak bisa mematok saya.
"Sejak Bapak pindah ke mari saya sudah lihat tuyul itu, saya pikir Bapak yang piara," kata penjaga sekolah itu.
Saya mau marah, tapi orang itu berkata jujur dan objektif sehingga saya hanya mengurut data.
Yang menarik tuyul itu mengaku kesulitan karena 'ratu' yang menjaga tuyul itu kuat. Tapi, dengan bantuan doa 'ratu' dan tuyul bisa 'ditangkap.'
Benda-benda di rumah, kantor dan badan diambil barulah kondisi tubuh membaik dan pikiran jernih dan bisa mengingat masa-masa sebelumnya.
Memang, beberapa bulan setelah tinggal di rumah di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur, keluarga mantan orang dekat datang dari kampung. "Dik, ini Ustaz X mau bikin pagar rumah," kata kerabat itu ketika saya sampai ke rumah lepas magrib.
Saya pikir ustaz bikin pagar rumah tentulah hal yang baik. Tapi, ternyata tidak. Pembantu menangis sambil menunjukkan ada benda yang ditanam di pojok ruma kerja saya. Rupanya, mereka disuruh beli semen.
Benar saja. Ada gundukan di pojok utara rumah dengan semen yang masih basah. Kerabat dan ustaz itu dua malam di rumah dan hari terakhir mereka tanam buntalan yang isinya telur ayam, bulir padi, pecahan kaca, paku dan lain-lain.
Belakangan saya ketahui buntalan itu berguna sebagai 'terminal' untuk memasukkan benda-benda tadi ke badan saya. Kain yang jadi pembungkus buntalan itu adalah kain kafan mayat yang mati bunuh diri.
Memang, benda-benda yang ditarik dari badan saya beragam: paku, beling, serbuk, uang logam sampai binatang hidup.
Satu hal yang sekarang baru saya sadari, selalu ada keinginan untuk mendapatkan uang. Tapi, uang yang saya peroleh, bahkan dari kampung dengan menjual tanah, tidak jelas ke mana perginya.
Uang hanya bertahan ketika saya letakkan di laci meja kerja, tapi seterusnya bahkan esok paginya saja saya tidak ingat lagi soal uang itu.
Pengalaman ini saya tulis sebagai bagian dari upaya saya menghadapi ejekan, cacian sampai hinaan dari banyak orang, termasuk dari keluarga.
Semoga YMK melindungi saya dan anak-anak, sebaliknya YMK memberikan balasan yang setimpal kepada orang-orang dan keturuannya yang telah menjadikan saya dan anak-anak jadi tumbal pesugihan dengan mengirim santet. Amin .... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H