Ketika itu keluhan saya adalah sakit di beberapa bagian tubuh mulai dari sendi-sendi di kaki sampai kepala nyeri.
"Di rumah ada kamar yang tidak boleh dimasuki orang lain, Pak?" Ini pertanyaan Bu Haji ketika saya sudah duduk di kursi di ruang tamu.
Jelas tidak ada. Tapi, ketika pertama kali ke rumah kerabat mantan orang dekat baru di tepi teras rumah saya sudah diingatkan: "Jangan masuk ke kamar itu," kata kerabat tadi sambil menunjuk sebuah kamar di dalam rumah yang dituju.
Itu saya sampaikan ke Bu Haji. Maka, jelaslah sudah itu merupakan tempat pemujaan bagi yang memelihara pesugihan (memperoleh kekayaan dengan memanfaatkan makhluk halus dengan imbalan tumbal nyawa manusia yang dijadikan korban atau wadal).
Saya kian kaget karena ternyata saya jadi tumbal Nomor 10, putri saya Nomor 9 dan putra saya Nomor 11.
Urutan tumbal ini kian jelas ketika saya berobat ke Pak Ajie di Cilegon, Banten. Pak Ajie ini bisa mengetahui nama dan alamat lengkap dukun yang mengirim santet, nama yang membayar dukun dan waktu pengiriman santet.
"Coba Bapak hitung sudah ada delapan nyawa yang melayang di lingkungan keluarga itu (maksudnya yang memelihara pesiguhan-pen.)." Benar saja ada delapan mulai dari adik, anak, menantu, ipar dan sopir yang meninggal sampai saat itu.
Alhamdulillah, saya dan anak saya selamat dan dari pihak mereka yang kemudian kehilangan nyawa.
Celakanya, tuyul yang ditempatkan di rumah tidak semerta hilang. Rupanya, sejak lama tuyul itu dengan pendamping 'ratu' (makhluk halus) sudah lama dilekatkan ke badan saya. Perempuan yang selintas tampak di rumah kontrakan di Rawamangun adalah jin yang mengawasi tiga tuyul yang ada di rumah.
Saya baru sadar rupanya Pak RW ingin memastikan terlebih dahulu apakah saya yang memelihara tuyul itu. Kalau saja Pak RW mengatakan hal yang sebenarnya mungkin derita saya sedikit berkurang waktu itu.
Selah beberapa kali ke rumah Bu Haji dan Pak Ajie semua kian jelas. Pikiran saya terbuka dan mengingat semua kejadian yang luput dari perhatian saya sebelum berobat ke Banten.