Memang, beberapa bulan setelah tinggal di rumah di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur, keluarga mantan orang dekat datang dari kampung. "Dik, ini Ustaz X mau bikin pagar rumah," kata kerabat itu ketika saya sampai ke rumah lepas magrib.
Saya pikir ustaz bikin pagar rumah tentulah hal yang baik. Tapi, ternyata tidak. Pembantu menangis sambil menunjukkan ada benda yang ditanam di pojok ruma kerja saya. Rupanya, mereka disuruh beli semen.
Benar saja. Ada gundukan di pojok utara rumah dengan semen yang masih basah. Kerabat dan ustaz itu dua malam di rumah dan hari terakhir mereka tanam buntalan yang isinya telur ayam, bulir padi, pecahan kaca, paku dan lain-lain.
Belakangan saya ketahui buntalan itu berguna sebagai 'terminal' untuk memasukkan benda-benda tadi ke badan saya. Kain yang jadi pembungkus buntalan itu adalah kain kafan mayat yang mati bunuh diri.
Memang, benda-benda yang ditarik dari badan saya beragam: paku, beling, serbuk, uang logam sampai binatang hidup.
Satu hal yang sekarang baru saya sadari, selalu ada keinginan untuk mendapatkan uang. Tapi, uang yang saya peroleh, bahkan dari kampung dengan menjual tanah, tidak jelas ke mana perginya.
Uang hanya bertahan ketika saya letakkan di laci meja kerja, tapi seterusnya bahkan esok paginya saja saya tidak ingat lagi soal uang itu.
Pengalaman ini saya tulis sebagai bagian dari upaya saya menghadapi ejekan, cacian sampai hinaan dari banyak orang, termasuk dari keluarga.
Semoga YMK melindungi saya dan anak-anak, sebaliknya YMK memberikan balasan yang setimpal kepada orang-orang dan keturuannya yang telah menjadikan saya dan anak-anak jadi tumbal pesugihan dengan mengirim santet. Amin .... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H