Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melatih dan Memulangkan PSK Langkah di Hilir, Persoalan Besar Ada di Hulu Mencegah PSK Baru

18 Februari 2016   13:24 Diperbarui: 19 Februari 2016   01:51 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Prosesi Pelatikan Bupati/Walikota di Jawa Tengah oleh Gubernur Ganjar Pranowo diliput banyak media (foto dindin)"] 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[/caption]“Gubernur Ganjar Siap Tampung Eks PSK Kalijodo ke Jawa Tengah.” Ini judul berita di detiknews (18/2-2016). Rupanya, Menteri Sosial, Kofifah Indar Parawansa, akan menyalurkan eks-PSK di Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, ke pabrik garmen di Jawa Tengah. Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, dengan tangan terbuka menyambut eks-PSK itu.

Bagi Ganjar PSK dan orang-orang terusir lain adalah rakyat Indonesia jika ada yang tidak diterima di masyarakat, maka Jateng akan menerima mereka sehingga Jateng akan jadi anchor Indonesia.

Langkah Mensos Khofifah dan Gubernur Ganjar hanya ada di hilir, yaitu menampung eks-PSK langsung (PSK yang kasat mata, seperti di lokalisasi dan lokasi pelacuran). Yang jadi persoalan adalah di hulu, yaitu perempuan-perempuan yang (akan) terjun ke dunia pelacuran dengan berbagai alasan.

Mengusir PSK

Jumlah perempuan yang akan memilih kerja sebagai PSK erat kaitannya dengan ‘pasar’ (supply), yaitu permintaan laki-laki ‘hidung belang’ untuk perempuan pemuas hawa nafsu (demand). Supply sangat tinggi karena calo-calo yang menjadi ujung tombak germo atau mucikari bergerilya sampai ke pelosok. Berbagai tipu muslihat mereka lakukan, al. menjanjikan pekerjaan yang baik, seperti di restoran atau toko. Orang tua pun merelakan anak gadisnya, terutama yang sudah janda, dengan ‘imbalan’ uang.

Pekerjaan yang dijanjikan hanyalah ‘angin sorga’ karena perempuan-perempuan itu akan dijadikan PSK. Celakanya, uang yang ditinggalkan di kampung disebut sebagai pinjaman sehingga perempuan-perempuan itu tidak bisa keluar dari tempat mereka dijadikan PSK.

Nah, Mensos Khofifah dan banyak kalangan menganggap enteng penanggulangan pelacuran. Seperti Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang dengan bangga merasa sudah menghentikan pelacuran hanya dengan mengusir PSK di Gang Dolly.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah:

1). Apakah PSK yang dilatih dengan berbagai keterampilan dan diberikan modal benar-benar meninggalkan dunia pelacuran?

2). Apakah PSK yang dipulangkan ke kampung halamannya benar-benar meninggalkan dunia pelacuran?

Sayang, tidak ada jawaban yang bisa dijadikan pegangan untuk melanjutkan program. Tapi, Kemensos RI tetap saja menajalankan program, seperti yang dilakukan Walikota Risma, walaupun hanya ‘menggantang asap’.

Yang jelas di masa rezim Orde Baru (Orba) rehabilitasi dan resosialisasi terhadap PSK tidak berhasil karena program yang dijalankan, seperti jahit-menjahit dan salon, adalah program top-down yang dijejalkan oleh pemerintah. Maka, program ini tidak berhasil mengembalikan PSK ke masyarakat [Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].

Komentar-komentar banyak kalangan mengentengkan cara-cara penanggulangan pelacuran, yaitu dengan menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, perlu diingat bahwa di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ada adalah PSK langsung, yaitu PSK yang kasat mata.

Padahal, ada PSK tidak langsung, yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Selama ada laki-laki yang mencari perempuan untuk melampiaskan hasrat seks, maka selama itu pula pasokan perempuan yang praktek sebagai PSK akan terus mengalir dari desa ke kota, dari kota-kota kecil ke kota besar.

Cewek Penghibur

Selain kota-kota besar sasaran germo membawa PSK adalah ke daerah yang mulai berkembang, misalnya, daerah pertambangan dan perkebunan. Selain itu adalah daerah atau kota yang berbatasan dengan negara lain, seperti di Batam, Kepulauan Riau. Batam sendiri dalam peta penyebaran HIV/AIDS merupakan pintu masuk HIV/AIDS ke Indonesia karena yang bekerja sebagai PSK di sana datang dari seluruh wilayah Nusantara. Jika mereka pulang kampung, maka mereka akan menyebarkan HIV/AIDS di kampung halamannya atau kota lain yang menjadi tujuan berikutnya (Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Harian “Sinar Harapan”, 3/8-2001).

Selama yang dilakukan Kemensos RI hanya menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran dan melatih PSK langsung yang ada di sana, itu artinya yang dilakukan pemerintah hanya di hilir. Ketika satu lokalisasi ditutup, misalnya, ada 100 PSK yang dilatih atau dipulangkan ke kampungnya, tapi pada saat yang sama jumlah yang sama atau lebih banyak juga sudah ‘terjun’ memilih pelacuran sebagai pekerjaan.

Memang, mereka tidak ‘praktek’ di lokalisasi atau lokasi pelacuran karena sudah ditutup pemerintah. Mereka akan praktek sebagai PSK langsung dan PSK tidak langsung di berbagai tempat, seperti panti pijat plus-plus, cafe, pub, diskotek, dan jadi cewek panggilan.

Di Kota Kendari, Sultra, dan Kota Parepare, Sulsel, misalnya ada taksi yang beroperasi. Kota itu kecil tidak layak ada taksi. Tapi, ternyata taksi bisa hidup di sana karena menjadi alat transpor cewek panggilan. “Dengan tiga cewek saja jadi langganan saya, uang setoran sudah dapat,” kata seorang sopir taksi di Kota Kendari (“Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra).

Di Kalimantan Selatan penduduk lokal yang beruntung dapat kedudukan bagus di perusahaan tambang atau perkebunan, ternyata tidak banyak memberikan manfaat karena uang itu habis di tempat hiburan. Pengalaman seorang aktivis AIDS di Kota Banjarmasin menunjukkan rata-rata mereka itu punya istri empat. Celakanya, salah satu pasti ada perempuan mantan penghibur atau PSK. Itu diketahui ketika suami dirawat di rumah sakit karena penyakit terkait AIDS. Istri yang menjaga di rumah sakit biasanya yang mantan perempuan penghibur tadi. Celakanya, perempuan itu akan menutup mulut rapat-rapat ketika ditanya istri yang lain (Menyingkap Penyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin).

Maka, selama pemerintah, dalam hal ini Kemensos RI, hanya menjadikan PSK langsung sebagai ‘sasaran tembak’ untuk menghentikan praktek pelacuran, maka selama itu pula pelacuran tidak bisa dihentikan karena laki-laki ‘hidung belang’ terus mencari pelacur untuk memuaskan dahaga syahwat mereka.

Atau kita memang memelihara kemunafikan, yaitu: ketika tidak ada lagi lokasi atau lokalisasi pelacuran yang memajang PSK langsung, maka kita pun ramai-ramai menepuk dada sambil berteriak: daerah, kota dan negara kami bebas pelacuran, oi! .... *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun