Sayang, tidak ada jawaban yang bisa dijadikan pegangan untuk melanjutkan program. Tapi, Kemensos RI tetap saja menajalankan program, seperti yang dilakukan Walikota Risma, walaupun hanya ‘menggantang asap’.
Yang jelas di masa rezim Orde Baru (Orba) rehabilitasi dan resosialisasi terhadap PSK tidak berhasil karena program yang dijalankan, seperti jahit-menjahit dan salon, adalah program top-down yang dijejalkan oleh pemerintah. Maka, program ini tidak berhasil mengembalikan PSK ke masyarakat [Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].
Komentar-komentar banyak kalangan mengentengkan cara-cara penanggulangan pelacuran, yaitu dengan menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, perlu diingat bahwa di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ada adalah PSK langsung, yaitu PSK yang kasat mata.
Padahal, ada PSK tidak langsung, yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Selama ada laki-laki yang mencari perempuan untuk melampiaskan hasrat seks, maka selama itu pula pasokan perempuan yang praktek sebagai PSK akan terus mengalir dari desa ke kota, dari kota-kota kecil ke kota besar.
Cewek Penghibur
Selain kota-kota besar sasaran germo membawa PSK adalah ke daerah yang mulai berkembang, misalnya, daerah pertambangan dan perkebunan. Selain itu adalah daerah atau kota yang berbatasan dengan negara lain, seperti di Batam, Kepulauan Riau. Batam sendiri dalam peta penyebaran HIV/AIDS merupakan pintu masuk HIV/AIDS ke Indonesia karena yang bekerja sebagai PSK di sana datang dari seluruh wilayah Nusantara. Jika mereka pulang kampung, maka mereka akan menyebarkan HIV/AIDS di kampung halamannya atau kota lain yang menjadi tujuan berikutnya (Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Harian “Sinar Harapan”, 3/8-2001).
Selama yang dilakukan Kemensos RI hanya menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran dan melatih PSK langsung yang ada di sana, itu artinya yang dilakukan pemerintah hanya di hilir. Ketika satu lokalisasi ditutup, misalnya, ada 100 PSK yang dilatih atau dipulangkan ke kampungnya, tapi pada saat yang sama jumlah yang sama atau lebih banyak juga sudah ‘terjun’ memilih pelacuran sebagai pekerjaan.
Memang, mereka tidak ‘praktek’ di lokalisasi atau lokasi pelacuran karena sudah ditutup pemerintah. Mereka akan praktek sebagai PSK langsung dan PSK tidak langsung di berbagai tempat, seperti panti pijat plus-plus, cafe, pub, diskotek, dan jadi cewek panggilan.
Di Kota Kendari, Sultra, dan Kota Parepare, Sulsel, misalnya ada taksi yang beroperasi. Kota itu kecil tidak layak ada taksi. Tapi, ternyata taksi bisa hidup di sana karena menjadi alat transpor cewek panggilan. “Dengan tiga cewek saja jadi langganan saya, uang setoran sudah dapat,” kata seorang sopir taksi di Kota Kendari (“Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra).
Di Kalimantan Selatan penduduk lokal yang beruntung dapat kedudukan bagus di perusahaan tambang atau perkebunan, ternyata tidak banyak memberikan manfaat karena uang itu habis di tempat hiburan. Pengalaman seorang aktivis AIDS di Kota Banjarmasin menunjukkan rata-rata mereka itu punya istri empat. Celakanya, salah satu pasti ada perempuan mantan penghibur atau PSK. Itu diketahui ketika suami dirawat di rumah sakit karena penyakit terkait AIDS. Istri yang menjaga di rumah sakit biasanya yang mantan perempuan penghibur tadi. Celakanya, perempuan itu akan menutup mulut rapat-rapat ketika ditanya istri yang lain (Menyingkap Penyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin).