Mohon tunggu...
Indriati See
Indriati See Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

WNI bermukim di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Fabel) Rimba

7 November 2015   21:45 Diperbarui: 21 Desember 2015   14:58 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Indriati See - No.108

 

„Rimba dikenal sebagai tempat yang sangat nyaman bagi seluruh penghuninya“ ucap Ibu sambil membelai kepala dan punggungku dengan sayapnya yang lebar. Ada kehangatan yang tak akan pernah kurasakan di tempat lain. Hangatnya cinta dari seorang Ibu yang menelurkanku.

Rimba terletak di garis kathulistiwa dimana sang surya bersinar selama 12 jam, dimana kelembaban yang dirasa oleh penghuninya cukup tinggi jika dibandingkan dengan rimba yang terletak di belahan bumi sebelah utara maupun selatan. Karena letaknya tersebut, kami memanggilnya 'Rimba Kathulistiwa'

„Ibu, aku ingin sekali mengenalnya!“ pintaku.

„Suatu saat mungkin kau akan mengenalnya nak“ kata Ibu sambil tak henti membelaiku.

„Kenyamanan yang ditawarkan oleh rimba menjadi terkenal ke seluruh penghuni bumi. Keaneka ragaman penghuninya, tumbuh-tumbuhannya bahkan melebihi jumlah bulu-bulu yang tumbuh di tubuh kita, anakku“ jelas Ibu.

„Mengapa Ibu sedih ?“

„Apa yang terjadi dengan rimba ?“

Aku yang tetap berada dipelukkan Ibu, merasakan gerakan tarikan nafas yang dalam dari dada Ibu.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Ibu melanjutkan ceritanya.

„Luar biasa!“ seruku dengan penuh perasaan kagum dan juga menambah rasa penasaranku ingin mengenal rimba secepatnya.

*

Suatu hari, tiba-tiba suhu di dalam rimba naik. Padahal saat itu bukan musim kemarau.

„Api! … api! tempat tinggal kami terbakar!“ teriak orang-utan, rusa, harimau, unggas, kupu-kupu dan penghuni rimba lainnya sambil berlari ketakutan ke arah sungai dimana kami; angsa-angsa liar mencari makan dan bermain.

„Beruntung saat itu kamu belum lahir, anakku“ ucap Ibu.

„Apa yang terjadi dengan mereka?“ tanyaku.

„Generasi anak-anak dari para penghuni rimba banyak yang tak terselamatkan“ jelas Ibu dengan nada suara yang terdengar berat.

Ratusan bahkan ribuan spesis hewan dan tumbuh-tumbuhan tewas dan punah dalam kurun waktu yang begitu singkat.

*

„Ternyata, api tersebut sengaja dibuat oleh manusia-manusia serakah“.

„Mereka akan mengubah rimba menjadi ladang kelapa sawit!“ cerita salah satu orang-utan yang mendengar percakapan para manusia serakah saat itu.

„Apa itu kelapa sawit ?“.

„Mengapa tiba-tiba begitu penting bagi manusia?“

Bahkan, pembakaran rimba tersebut berakibat fatal bagi manusia juga. Nafas mereka menjadi sesak, mata mereka terasa terbakar. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa banyak balita yang meninggal dunia.

„Malapetaka tersebut dibuat oleh mereka yang mata dan hatinya sudah tertutup. Mereka hanya memikirkan isi perut untuk saat ini saja bukan untuk 100 tahun ke depan“, ucap Ibu dengan suara geram.

*

Akhirnya, kami angsa-angsa liar memutuskan untuk meninggalkan sungai tersebut sebelum rimba dibumi hanguskan. Dari udara kami mendengar lolongan dan jeritan menyayat hati dari penghuni rimba yang tidak bisa terbang, yang hanya menunggu nasib mereka atas uluran tangan manusia yang masih berbaik hati.

Kami terbang berkilo-kilo meter jauhnya ke arah utara dimana mereka mempunyai empat musim, dimana pembakaran rimba dilarang keras oleh pemerintahnya.

Sesekali kami singgah di danau yang berada di kebun binatang salah satu kota sambil memberi salam kepada penghuni rimba yang terselamatkan, yang tak ada pilihan lain untuk menerima kondisi hidup dalam sangkar. Mereka terlihat cukup bahagia walau ruang gerak mereka dibatasi.

*

Di musim semi berikutnya, kami menemukan danau yang cantik, yang dikelilingi oleh hutan lindung. Penghuni danau dan hutannya tidak banyak dan bervariasi seperti milik rimba kathulistiwa tapi keberadaan kita sangat dihargai oleh manusia-manusia yang hidup disekitarnya.

„Sebulan kemudian, untuk pertama kalinya, kau menghirup udara yang bersih ini, anakku“. „Juga, sekarang kau mengerti mengapa kita sampai di negeri ini“.

„Sampai kapan kita harus menetap disini bu?“

„Sampai musim gugur, nak. Setelah itu kita harus berpindah ke selatan dimana temperaturnya lebih hangat“.

„Mainlah bersama ayahmu!, Ibu mau beristirahat sejenak“ pinta Ibu sambil melepas pelukkannya lalu berjalan ke arah rerumputan di tepi danau.

„Iya bu“ Jawabku, dan bergegas berenang mendekati ayah yang sedang asyik mencari serangga air.

„Ayah! … ayah!“ panggilku dengan ceria.

 

---000---

 

Keterangan:

Angsa-angsa liar hidupnya berpindah-pindah. Mereka bisa terbang sejauh 7.000-10.000 meter. Mereka bisa berpindah dari satu benua ke benua lainnya untuk menghindari musim dingin.

 

HiR, 07.11.2015

 

Baca Fabel Lainnya di Sini|| Bergabunglah di Grup FB Fiksiana Community

 

Sumber Gambar

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun