LATAR BELAKANGÂ
Kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan kejahatan yang dapat terjadi kapan dan dimana saja. Tapi akhir-akhir ini, fokus media lebih menyorot pada kekerasan seksual yang terjadi di berbagai perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian mengenai kekerasan seksual di kampus yang telah dilakukan di berbagai negara, kasus yang sering terjadi berdasar pengalaman mahasiswa selama berpacaran dan dalam ruang yang bermacam yang koeksistensi di kampus (seperti pesta, organisasi kampus, dan asrama) adalah kasus agresi, pemerkosaan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Fisher, Daigle & Cullen tahun 2010, penelitian mengenai topic kekerasan seksual di kampus ini telah banyak dilakukan terutama di Amerika Serikat, yang menunjukkan jika kekerasan seksual yang dilakukan pada perempuan di kampus ini merupakan hal yang sudah tidak asing lagi dan sering terjadi.Â
Tidak jauh berbeda dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan pada umumnya, pelaku kekerasan seksual di kampus ini merupakan orang yang diketahui dan dikenal identitasnya oleh korban (Banyard et al., 2005; Bondurant, 2001; Forbes et al., 2005). Bondurant (2001) dalam penelitiannya mengenai agresi seksual yang dialami oleh 109 perempuan di kampus, menemukan jika korban kekerasan seksual yang pelakunya orang asing atau orang yang tidak dikenal hanya sebesar 6% saja. Pelaku kekerasan seksual pada perempuan di kampus ini juga tidak hanya dilakukan oleh sesama mahasiswa, tetapi bisa juga dilakukan oleh dosen atau pejabat dan pegawai kampus lainnya (Garlick, 1994; Lee et al., 2005).Â
Berdasarkan pantauan yang telah dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia selama kurang lebih 15 tahun (1998-2013), menemukan setidaknya 15 bentuk kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2017). Kekerasan seksual tersebut berupa pemerkosaan, intimidasi seksual seperti ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual dan praktik seksual tradisional yang merugikan atau mendiskriminasi dan berdampak buruk bagi perempuan. Banyard et al. (2007) dan Breiding et al. (2014) dalam hasil penelitiannya juga berpendapat jika kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus yang dijelaskan tadi.Â
Kekerasan seksual yang terjadi akibat relasi kuasa ini merupakan kasus yang terjadi dimana korban yang melakukannya memiliki jabatan atau kedudukan dan posisi yang lebih tinggi atau bisa dibilang dominan. Pelaku tersebut memanfaatkan jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengancam korban dan melakukan tindakan kekerasan seksual. Seperti kasus yang akan dibahas disini, yaitu kekerasan seksual akibat relasi kuasa yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswanya di Universitas Riau, yang mana dosen tersebut memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Pelaku akan melakukan modus terlebih dahulu, misalnya dosen yang menjanjikan nilai tinggi kepada mahasiswa dengan syarat mahasiswa tersebut harus mau untuk melakukan apa yang diperintahkan.Â
Adapun teori yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual akibat relasi kuasa di Universitas Riau ini adalah relasi kuasa yang dikemukakan oleh Michel Focault, seorang filsuf yang juga merupakan pelopor strukturalisme, yang mana Michel Focault berpendapat jika kekuasaan merupakan satu dimensi dari sebuah relasi atau hubungan, dimana jika ada relasi maka disitu juga akan ada kekuasaan dan kekuasaan ini teraktualisasi melalui pengetahuan. Makna relasi kuasa juga memiliki dua unsur yaitu bersifat hierarkis dan ketergantungan. Michel Foucault berpendapat jika dua unsur penting relasi tersebut akan menghadirkan kekuasaan yang memiliki potensi untuk disalahgunakan atau terjadi penyalahgunaan keadaan.Â
PEMBAHASANÂ
1. Pengertian Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual merupakan perlakuan diskriminatif dan perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan/ atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang disebabkan oleh ketidaksetaraaan relasi kuasa, relasi gender dan/ atau sebab lain, yang mana didalamnya terdapat unsur paksaan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban untuk melakukan sesuatu yang dilakukan oleh pelaku. Perbuatan dan aktivitas yang dimaksud tersebut dapat berupa kontak seksual seperti cumbuan atau ciuman, pemaksaan seksual secara verbal, dan percobaan maupun pemerkosaan secara sesungguhnya. Menurut Bourdieu tahun 1990, kekerasan seksual dapat juga diwujudkan dalam bentuk kekerasan simbolik, Bourdieu juga berpendapat jika kekerasan simbolik ini termasuk dalam jenis kekerasan non-fisik yang terjadi dalam perbedaan kekuatan antara kelompok sosial.
Kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai sebuah kekerasan yang memiliki basis atau dasar gender (gender based violence) yang mana merupakan sebuah perbuatan yang menyebabkan gangguan pada fisik, seksual atau mental-psikologis. Kekerasan seksual ini juga tidak hanya berupa kekerasan yang dilakukan secara fisik atau langsung, tetapi juga dapat berupa kekerasan yang dilakukan secara tidak langsung secara struktural dan kultural yang diakibatkan oleh adanya stereotype tertentu terhadap kaum perempuan.Â
Sedangkan pengertian kekerasan seksual menurut World Health Organization (WHO) adalah semua perbuatan yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan tindakan seksual atau tindakan yang lainnya yang mengarah pada seksualitas seseorang dan adanya paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban (WHO, 2017). Menurut Siti Aminah Tari yang merupakan Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, pelecehan atau kekerasan seksul merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau non fisik yang tidak diinginkan dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat yang berisikan seksual, menunjukkan organ seksual mau itu secara langsung atau tidak langsung seperti menggunakan alat teknologi dan media sosial, melakukan transmisi yang berisikan seksual dan melakukan kontak fisik. Â
Lalu maksud dari kekerasan seksual yang terjadi di kampus adalah sebuah tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lembaga perguruan tinggi atau universitas dan/ atau yang memiliki hubungan serta keterkaitan dengan lembaga perguruan tinggi tersebut. Kasus-kasus kekerasan seksual yang dimaksud disini juga terjadi di lingkungan kampus dan/ atau juga dilakukan terhadap civitas akademika atau bisa juga dilakukan dan terjadi di luar wilayah dan lingkungan kampus tetapi masih dalam acara yang mengatasnamakan kampus tersebut dan termasuk acara resmi, seperti pengenalan lingkungan kampus bagi mahasiswa/I baru, KKN, magang, kegiatan organisasi atau kemahasiswaan, dan yang lainnya.Â
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan SeksualÂ
Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan dalam bentuk fisik, tetapi bisa juga dilakukan secara non fisik atau tidak langsung, dan juga bentuknya tidak hanya berupa pemerkosaan. Contoh bentuk kekerasan seksual yang lainnya antara lain berupa :
a. Perilaku atau ujaran (ucapan) yang melecehkan penampilan fisik seseorang, bagian tubuh atau alat vital lainnya yang merupakan identitas gender. Misalnya seperti melontarkan ujaran atau candaan yang berbau seksis dan memandang dan menatap bagian tubuh seseorang dengan sengaja.Â
b. Melakukan aktivitas fisik atau kontak langsung seperti menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/ atau menggosokan dan menempelkan bagian tubuh pada area atau alat vital seseorang.Â
c. Mengirimkan candaan, foto, video, audio atau hal lainnya yang berisikan konten seksual tanpa adanya persetujuan dari orang yang menerima.Â
d. Mengintip seseorang yang sedang berpakaian dan melakukan kegiatan lain yang seharusnya tidak diketahui orang lain.Â
e. Memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual tanpa adanya kesepakatan dan melakukan percobaan pemerkosaan.Â
f. Mengikuti, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi seseorang termasuk foto atau dokumentasi kegiatan yang dilakukan oleh orang itu tanpa adanya persetujuan. Â
3. Kekerasan Seksual dan Relasi KuasaÂ
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual ini adalah karena adanya ketimpangan relasi kuasa, relasi gender, dan rape culture. Ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud disini adalah adanya relasi kuasa dengan pihak terkait yang punya kewenangan atau kekuasaan dimana mereka memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan itu untuk melakukan kekerasan seksual terhadap seseorang dibawahnya yang lebih lemah dan tidak memiliki wewenang atau kekuasaan. Jika berbicara mengenai kekerasan seksual di kampus, dosen memiliki kekuasaan terhadap mahasiswanya dalam bentuk bimbingan, pemberian tugas, dan evaluasi. Tidak jarang dosen-dosen itu memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap mahasiswanya.Â
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) telah mengeluarkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 yang diterbitkan pada 31 Agustus, peraturan itu berisi tentang aturan pencegahan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan wilayah perguruan tinggi, dan sala satu ketentuan yang diatur dalam peraturan tersebut ialah mengenai ketimpangan relasi kuasa yang menjadi salah satu penyebab dari terjadinya kekerasan seksual di kampus. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, yang menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual adalah ketmpangan relasi kuasa. Ketimpangan relasi kuasa ini terjadi dimana sang pelaku memiliki posisi dan jabatan yang lebih tinggi dan dominan dari korbannya.Â
Berdasarkan penjelasan dari juru bicara Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah, perasaan berkuasa yang dimiliki pelaku itu membuatnya mereka berhak dan wajar serta tidak bersalah saat dirinya melakukan kekerasan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Dewan Redaksi Jurnal Perempuan yang juga merupakan Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin yang dikutip dari situs Jurnal Perempuan (jurnalperempuan.org), beliau mengatakan jika pemerkosaan itu sangat berkaitan erat dengan kekuasaan, pemerkosaan juga terjadi bersamaan dengan tindak kejahatan yang lain, jadi tidak hanya soal seks melainkan juga perihal kekuasaan. Sebagai contoh, pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus itu sering terjadi dan dilakukan oleh dosen sebagai pihak yang mempunyai kuasa terhadap mahasiswanya yang merupakan pihak yang lebih lemah dan tidak mempunyai kuasa.Â
4. Dampak Kekerasan Seksual dan Reaksi KorbanÂ
Dampak yang ditimbulkan dari kasus kekerasan seksual ini sangat teringat dan mendalam bagi korbannya, entah itu dalam bentuk fisik, psikis, sosial, dan pendidikan, Jika dilihat dari segi fisik, dampak yang dialami korban yaitu rambut yang mengalami kerontokan, tidak nafsu makan, susah tidur, memiliki masalah pada pencernaan, dan pola makan yang terganggu. Jika dilihat dari segi psikis, sang korban akan mengalami gangguan dan gejala kejiwaan mulai dari yang ringan hingga ke yang berat, contohnya seperti depresi, tertekan, trauma berkepanjangan, hingga munculnya pemikiran dan keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Jika dilihat dari segi sosial, korban akan ramai dibicarakan oleh lingkungan sekitarnya, entah itu dibicarakan mengenai keburukannya atau atas dasar rasa prihatin dan empati, korban juga tidak segan utnuk dicaci maki, dihina, dan disangka yang tidak-tidak serta akan mendapat label buruk dari warga sekitar, yang mana hal ini nantinya akan berpengaruh pada pendidikan yang dimiliki korban. Korban akan mengalami gangguan dan penurunan terhadap proses pendidikannya seperti kemampuannya menurun, tidak masuk kuliah, atau bahkan memutuskan untuk berhenti kuliah.
Tetapi, dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus ini, tidak semua korban melaporkan apa yang terjadi pada dirinya. Hal ini bisa saja disebabkan karena korban tidak memiliki keberanian untuk melaporkan dan mengingat kembali hal tersebut, mereka juga takut jika mereka bercerita maka akan dijauhi dan dituduh yang macam-macam. Selain itu, tidak jarang juga pelaku memberi ancaman kepada korban untuk tidak melaporkan kekerasan seksual tersebut, jika korban melapor maka keselamatan korban yang menjadi taruhannya. Namun ada juga korban yang berani melaporkan kasus ini ke pihak kampus dan pihak yang berwajib, dan biasanya korban yang berani melapor ini merupakan korban yang sudah kesekian kali bukan korban pertama. Dengan adanya keberanian dari sang korban tersebut, membuat pihak kampus menjadi tahu akan kasus kekerasan seksual tersebut dan kasus-kasus yang lainnya akan ikut terungkap juga sehingga diharapkan tidak ada lagi korban yang diakibatkan dari kekerasan seksual ini.Â
5. Kasus Kekerasan Seksual Akibat Ketimpangan Relasi Kuasa Pada Mahasiswa di Universitas RiauÂ
Kronologi awal mula terjadinya kasus ini adalah L (21) yang merupakan mahasiswi jurusan Hubungan Internasional (HI) di Universitas Riau yang sedang melakukan bimbingan skripsi dengan dosen pembimbingnya yang juga merupakan Dekan FISIP Universitas Riau yaitu Syarfiharto. Saat bimbingan yang dilakukan selesai, pundak L dipegang lalu kening dan pipinya dicium oleh pelaku, Syafriharto. Saat itu pelaku mendongakkan kepala korban dan berkata "mana bibir, mana bibir" sehingga korban pun merasa gemetar dan ketakutan. Setelah kejadian tersebut, L (21) selaku korban mengalami trauma berat dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib atau ke polisi. Korban saat membuat laporan itu ditemani oleh ibu, tante, dan juga beberapa anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau. Â
Tetapi, korban dituntut balik oleh pelaku yang merasa dirugikan akibat adanya kasus ini. L selaku korban juga dituntut sebesar Rp 10 miliar oleh Syafriharto. Akibat adanya laporan dari Syafriharto itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru meminta polisi untuk menolak laporan tersebut. Perwakilan LBH Pekanbaru, Noval Setiawan mengungkapkan "Karena dalam peraturan bersama tersebut, sesuai dengan pedoman Pasal 27 ayat 3 UU tentang pencemaran nama baik dan UU ITE, harus kemudian diselesaikan dulu persoalan yang telah dilaporkan". Beliau juga mengungkapkan "Dengan demikian, kita mendesak harus ada penyelesaian proses hukum dulu di Polresta Pekanbaru, setelah itu barulah dilanjut dengan hal yang lain".Â
Akan tetapi, Syafriharto dosen yang juga menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Riau ini membantah jika dirinya sudah melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi yang berinisial L. Bahkan Syafriharto mengaku berani bersumpah pocong demi membuktikan kebenaran akan ucapannya tersebut. Syafriharto diperiksa dengan status sebagai saksi atas kasus kekerasan seksual tersebut di Mapolda Riau. Sekitar pukul 15.05 beberapa jam setelah mejalani pemeriksaan, Syafriharto yang didampingi oleh pengacaranya keluar dari salah satu ruangan dari gedung Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittaht) Polda Riau, Rabu 10 November 2021. Tapi saat ingin diwawancarai oleh sejumlah jurnalis, Syafriharto bungkam dan sibuk menelpon seolah-olah tidak ingin diganggu.
Kemudian Ditreskrimum Polda Riau menetapkan Syafriharto sebagai tersangka pada kasus dugaan pelecehan atas mahasiswi bimbingannya, setelah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan sejumlah saksi, pada Kamis 18 November 2021. Di hari yang sama pula Ketua BEM Universitas Riau mendesak Rektor dan pihak kampus untuk bersikap tegas terhadap Dekan FISIP Syafriharto. Juru Bicara Tim Pencari Fakta (TPF) Sujianto yang juga merupakan Wakil Rektor Bagian Umum Keuangan UNRI menjelaskan jika pihak UNRI belum bisa menonaktifkan Syafriharto dari jabatannya sebagai Dekan FISIP UNRI. Rektor UNRI meminta Kemendikbudristek untuk membentuk Tim Pendampingan Rektor untuk menindaklanjuti kasus dugaan pelecehan seksual. Berkas kasus ini dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Riau dari penyidik Polda Riau pada Selasa, 30 November 2021.Â
Setelah berbagai perjuangan dan demo yang dilakukan mahasiswa UNRI, Syafriharto akhirnya resmi dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Berkas kasus pelecehan oleh Syafriharto dinyatakan lengkap oleh kejaksaan tinggi Riau setelah sebelumnya dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi. Kemudian pada Senin, 17 Januari 2022 Syafriharto resmi ditahan setelah yang bersangkutan dan barang bukti dilimpahkan penyidik Polda Riau ke Kejati Riau. Setelah melewati beberapa siding, hakim memutuskan Syafriharto tak terbukti secara sah bersalah melakukan pelecehan seksual tersebut, puluhan mahasiswa merasa kecewa dengan keputusan tersebut sehingga mereka menuntuk JPU untuk kasasi terhadap keputusan hakim PN Pekanbaru yang berikan vonis bebas kepada Syafriharto.Â
6. Analisis Kasus Kekerasan Seksual Akibat Ketimpangan Relasi Kuasan Pada Mahasiswa di Universitas Riau Menggunakan Pemikiran Michel FoucaultÂ
Kasus kekerasan seksual di kampus masih menjadi permasalahan yang terus terjadi sampai saat ini, yang mana kasus itu membuat sadar banyak pihak jika kekuasaan banyak disalahgunakan dan banyak terjadi penyimpangan, orang yang mempunyai posisi atau kekuasaan yang lebih tinggi dan dominan memaksakan kemauannya kepada orang yang mempunyai posisi atau kekuasaan yang lebih lemah dan berada di bawahnya. Dengan adanya relasi kuasa ini membuka dan menghasilkan kesempatan bagi seseorang yang berniat jahat untuk melakukan tindakan kekerasan seksual demi menuruti hasrat seksualitasnya.
Michel Foucault berpendapat jika terdapat empat diskursus yang membahayakan, yaitu politik (kekuasaan), hasrat (seksualitas), kegilaan, dan apa yang dianggap bohong dan benar (Lubis, 2014: 85). Diskursus yang dianggap membahayakan diantara keempat diskursus tersebut adalahhasrat (seksualitas), terlebih jika hal tersebut sudah memasuki lingkungan pendidikan. Dapat dilihat jika di dalam dunia pendidikan, terdapat dua diskursus yang mendominasi atau berkolaborasi memainkan relasi kuasa atas kepentingan dan hasratnya yaitu politik (kekuasaan) dan hasrat (seksualitas).Â
Ketimpangan relasi kuasa ini dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual yang mana umumnya setelah kejadian itu para korban tidak berani untuk melaporkan apa yang terjadi pada dirinya. Mereka merasa malu untuk melapor dan meminta pertolongan karena takut akan respon dan anggapan dari lingkungan sekitar, dan jika mereka berpikir jika mereka melaporkan kejadian itu maka sama saja mereka membuka aib sendiri. Selain itu juga tidak jarang pelaku mengancam dan mengintimidasi korban untuk tidak melaporkan kasus itu ke siapapun, hal ini sesuai dan tampak pada kasus kekerasan seksual di Universitas Riau yang dibahas dimana pelaku justru melaporkan balik korban bahkan menuntuk untuk ganti rugi dalam jumlah yang sangat besar, pelaku membuat keadaan seolah dirinya lah yang menjadi korban atas tuduhan palsu yang dibuat oleh korban, dan hal ini menunjukkan jika adanya self defense yang dilakukan oleh pelaku.Â
Relasi kuasa dalam hal ini sangat terlihat jelas bagaimana prosesnya, pelaku yang memiliki posisi atau kekuasaan yang lebih tinggi dan dominan maka korban akan merasa segan dan bingung setelah kejadian itu terjadi. Christoper Kilmartin (2001) dalam bukunya yang berjudul "Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender" berpendapat jika kasus kekerasan seksual itu terjadi bukan akibat dari kesalahpahaman atau kekeliruan antara dua belah pihak dan juga bukan karena adanya unsur ketidaksengajaan atau terjadi secara tiba-tiba, melainkan kekerasan seksual itu terjadi karena adanya unsur kesengajaan dan perencanaan terlebih dahulu kemudian dilakukan oleh pelaku dalam keadaan sadar, dimana pelaku ini memiliki kekuasaan serta kesempatan lalu mampu membaca dan melihat kondisi yang dialami korban.
Relasi kuasa yang dikemukakan oleh Michel Foucault jika kita pahami lebih jauh lagi sebagai suatu motif penyebab terjadinya kekerasan seksual yang mana polanya semakin kompleks, seperti contoh kasus kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswinya, tenaga pendidik atau guru terhadap siswi, ustad atau pengasuh di sebuah pondok pesantren terhadap santriwatinya, dan atasan atau bos terhadap karyawan yang bekerja di perusahaannya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita mengetahui dalam bentuk apa, lewat jalur apa, terselubung dalam wacana apa, kekuasaan itu berhasil melingkupi bentuk-bentuk yang paling halus dan paling pribadi dari perilaku seksual, serta lewat jalan mana kekuasaan itu berhasil mencapai berbagai bentuk birahi yang palinglangka dan paling terselubung, dan bagaimana kekuasaan bisa sampai dan mampu mengendalikan kenikmatan seksual itu (Foucault, 1997: 12).
Berdasarkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan (perguruan tinggi, sekolah, pesantren, dll) bukan tidak mungkin jika sang pelaku tidak memiliki ilmu pengetahuan, pelaku melakukan kekerasan seksual itu dengan memanfaatkan relasi kuasa yang dimilikinya melalui pengetahuan. Foucault juga berpendapat jika "kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa" (Foucault, 1980: 1977). Selain itu, berdasarkan kasus mengenai kekerasan seksuak yang terjadi di lingkungan pendidikan, pelaku ini merupakan pihak yang memiliki kekuasaan dan kuasa secara utuh dalam sebuah hubungan (seperti dosen dengan mahasiswa) sehingga dimana ada relasi maka disitu pasti akan ada kekuasaan, dan jika kekuasaan itu disalahgunakan demi memenuhi hasrat seksualitas, maka kekerasan seksual akan terus terjadi di lingkungan pendidikan dan akan muncul banyak kasus-kasus baru jika tidak segera ditangani.Â
KESIMPULANÂ
Kekerasan seksual merupakan perlakuan diskriminatif dan perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan/ atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/ atau sebab lain, yang mana didalamnya terdapat unsur paksaan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban untuk melakukan sesuatu yang dilakukan oleh pelaku. Kekerasan seksual ini juga tidak hanya dalam bentuk fisik atau secara langsung, tetapi juga secara non fisik dan tidak langsung.
Hingga saat ini, kekerasan seksual merupakan kasus yang seringkali kita jumpai di berbagai lingkungan pendidikan salah satunya di lingkungan kampus. Â Sudah bukan hal asing lagi jika kita melihat di media yang memberitakan terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen pada mahasiswi ataupun sesama mahasiswa. Yang menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual di kampus ini adalah adanya ketimpangan relasi kuasa, dimana pelaku tindak kekerasan seksual ini merupakan seseorang yang memiliki kekuasaan dan posisi yang lebih tinggi serta dominan dibanding korban yang posisi dan kekuasaanya lebih rendah dan berada di bawah pelaku. Seperti misalnya kasus yang sering ditemukan yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswinya.
Dosen memiliki kekuasaan terhadap mahasiswanya dalam bentuk bimbingan, pemberian tugas, dan evaluasi. Tidak jarang dosen-dosen itu memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap mahasiswanya. Dosen memanfaatkan hal tersebut dengan cara misalnya saat mahasiswi bimbingannya sedang melakukan bimbingan skripsi atau mendapat nilai yang rendah, maka dosen itu akan melakukan perbuatan asusila yang tidak didasari persetujuan dari sang korban, tidak jarang juga dosen melakukan perbuatan asusila itu dengan mengiming-imingi sesuatu yang dibutuhkan mahasiswinya seperti jasa bimbingan dan nilai pada mata kuliah tertentu.
Lalu jika melihat kasus kekerasan seksual akibat ketimpangan relasi kuasa pada mahasiswa di Univertsitas Riau ini, teori yang saya ambil yaitu relasi kuasa oleh Michel Foucault. Seperti yang dikatakan oleh Foucault jika "kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa" (Foucault, 1980: 1977). Dapat dilihat dan hal ini tampak pada kasus kekerasan seksual di Universitas Riau yang dibahas dimana pelaku justru melaporkan balik korban bahkan menuntuk untuk ganti rugi dalam jumlah yang sangat besar, pelaku membuat keadaan seolah dirinya lah yang menjadi korban atas tuduhan palsu yang dibuat oleh korban, dan hal ini menunjukkan jika adanya self defense yang dilakukan oleh pelaku.Â
Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, sangat dibutuhkan dan diperlukan adanya upaya atau cara yang sudah seharusnya dilakukan untuk mencegah, mengurangi, dan menanggulangi kekerasan seksual dengan melakukan upaya preventif (pencegahan) yang mana diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap civitas akademika kampus. Selain itu, sebagai pimpinan tertinggi dalam kampus, rektor perlu membuat regulasi yang tegas kepada pelaku kekerasan seksual di kampus ini. Aspek-aspek yang terdapat di dalam regulasi dianggap penting dalam rangka penegakkan hukum kepada pelaku kasus kekerasan seksual. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H