*Pengembangan industri hilir dan industri pembuatan baterai EV*
Sejalan dengan pembentukan IBC, dan dipimpin oleh visi pemerintah untuk membangun rantai pasokan kendaraan listrik di darat yang end-to-end, pemerintah Indonesia berharap tidak hanya menyediakan cadangan logam baterai penting bagi investor, tetapi juga lebih dari 270 juta baterai yang dimilikinya. konsumen. Pemerintah Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk secara aktif mendorong perkembangan industri kendaraan listrik dan sekaligus membuka pintu pasar kendaraan listrik global. Pemerintah Indonesia, melalui IBC, telah bekerja sama dengan konsorsium yang dipimpin oleh LG dan Hyundai untuk membangun pabrik baterai EV pertama di Tanah Air. Pembangunan pabrik tersebut memerlukan investasi sebesar US$1,1 miliar dan merupakan bagian dari rencana ambisius senilai US$9,8 miliar. produksi baterai di darat. [26] Pabrik baterai saat ini sedang dibangun di Karawang dan diharapkan mulai berproduksi tahun depan.
Pemerintah Indonesia mendorong pembangunan infrastruktur yang komprehensif, yang mencerminkan niatnya untuk mengembangkan rantai pasokan hilir secara lebih luas. Indonesia berencana membangun lebih banyak fasilitas peleburan dalam negeri untuk memfasilitasi pengolahan nikel sekunder di darat. Hingga saat ini, terdapat 43 smelter nikel yang beroperasi di Sulawesi dan Maluca, dengan 28 pembangkit listrik sedang dibangun dan 24 pembangkit listrik masih dalam tahap perencanaan. [27] Pasokan nikel primer tingkat baterai untuk industri otomotif juga meningkat, dengan enam proyek pabrik peleburan peleburan asam bertekanan tinggi (HPAL) saat ini sedang dibangun dan enam proyek lainnya sedang dalam tahap perencanaan.
Meskipun industri baterai kendaraan listrik di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, industri ini masih menghadapi beberapa kendala dalam perjalanan menuju kesuksesan. Pertama, kurangnya standarisasi dalam industri kendaraan listrik, sebagian disebabkan oleh perbedaan jenis baterai yang digunakan. Setiap jenis baterai memerlukan pengisi daya dan penanganan yang berbeda tergantung pada arus dan voltasenya. Kedua, proses ekstraksi bahan mentah yang diperlukan untuk memproduksi komponen baterai meningkatkan biaya dan menimbulkan permasalahan lingkungan (lihat pembahasan isu-isu LST dan baterai LFP di bawah). Selain itu, biaya proyek HPAL relatif tinggi. Investasi per ton nikel sekitar US$65.000, lima kali lipat dari biaya pirometalurgi RKEF tradisional. [29] Pada bulan Februari tahun ini, pemerintah Indonesia mengumumkan tujuannya untuk menjadi salah satu dari tiga produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia pada tahun 2027. Untuk menonjol di pasar kendaraan listrik yang sangat kompetitif, Indonesia memerlukan investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur kendaraan listrik yang kuat, menstabilkan rantai pasokan bahan baku, dan memastikan dukungan keuangan yang memadai, yang sebagian besar harus berasal dari investasi asing.
*Masalah Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG) *
Hal ini menghadirkan tantangan yang tidak mudah bagi produsen kendaraan listrik, karena transisi ke kendaraan listrik bertujuan untuk menghilangkan emisi karbon dari transportasi. Sebuah studi McKinsey menemukan bahwa cara spesifik pemrosesan bijih nikel jenis ini merupakan pendorong signifikan emisi karbon tinggi. Karena bijih nikel Indonesia merupakan bijih laterit (bukan bijih sulfida), zat pereduksi berbasis bahan bakar fosil yang digunakan untuk melebur bijih laterit akan melepaskan emisi karbon yang lebih tinggi dibandingkan zat pereduksi kimia yang digunakan untuk memproses bijih sulfida (karena penggunaan unsur bahan bakar fosil). [30] Sumber listrik juga mempengaruhi emisi karbon selama pengolahan nikel. Dalam kasus Indonesia, pabrik peleburan laterit merupakan jalur produksi padat energi yang menggunakan batubara dalam jumlah besar. Kawasan industri di Indonesia merupakan pusat pemrosesan nikel dan aluminium yang saat ini menyumbang 15% dari pembangkit listrik berbasis batu bara di negara ini. [31] Penggunaan bijih laterit Indonesia untuk memproduksi nikel primer mengeluarkan karbon dioksida dua hingga enam kali lebih banyak dibandingkan nikel sekunder.
Selain mengurangi emisi karbon, persyaratan LST juga menimbulkan pertimbangan lain. Misalnya, mengelola limbah dengan cara yang sesuai dengan ESG sangat penting bagi perusahaan pertambangan yang ingin menunjukkan kredensial ramah lingkungan mereka. Mulai tahun 2021, Indonesia telah melarang pembuangan tailing ke laut dalam (tailing adalah produk sampingan dari ekstraksi logam nikel dari bijih), yang berarti pembuangan tailing ke darat menjadi satu-satunya pilihan yang memungkinkan. Meskipun terdapat metode yang berkelanjutan untuk pengolahan dan penyimpanan tailing, terdapat risiko pembuangan limbah pertambangan secara ilegal karena pertimbangan ruang dan biaya, sehingga pengawasan dan peraturan pemerintah tetap penting.
Presiden Indonesia Joko berjanji pada bulan Maret tahun ini bahwa di masa depan, ia hanya akan mengeluarkan izin untuk pabrik peleburan baru yang menggunakan energi terbarukan dan menetapkan batas waktu bagi fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada untuk beralih ke energi terbarukan, dengan tujuan untuk mendorong kegiatan pertambangan yang bertanggung jawab. [32] Namun, tidak ada undang-undang dan peraturan baru yang dikeluarkan untuk mendukung janjinya. Perusahaan pertambangan mempunyai tanggung jawab dan tekanan untuk secara proaktif mengeksplorasi teknologi dekarbonisasi baru, seperti penggunaan bahan bakar alternatif, elektrifikasi, dan metode pengelolaan limbah yang efisien. Untuk mencapai operasi rendah karbon, beberapa perusahaan pertambangan di Indonesia sedang menjajaki penggunaan LNG sebagai energi [33] , sementara yang lain berupaya mengandalkan energi terbarukan untuk menggerakkan operasi pemrosesan nikel mereka. [34] Pada akhirnya, tantangan yang harus diatasi adalah tingginya biaya yang harus ditanggung akibat mengandalkan LNG dan/atau energi terbarukan dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara. Setidaknya dalam waktu dekat, batubara akan tetap menjadi pilihan yang lebih ekonomis sebagai sumber listrik mengingat tingginya konsumsi energi pada fasilitas peleburan dan pemurnian nikel.
Bagi banyak perusahaan, pertimbangan ESG lebih dari sekadar mematuhi peraturan dalam negeri. Hal ini juga mencakup penanganan pelaporan ESG oleh perusahaan tercatat, persyaratan pengungkapan keberlanjutan, standar lingkungan dan sosial yang diterapkan oleh lembaga pemberi pinjaman internasional, dan persyaratan ESG dalam program subsidi baterai regional atau nasional. Misalnya, pada tahun 2017, Komisi Eropa meluncurkan program subsidi Battery Alliance senilai 20 miliar euro untuk mempromosikan produksi dan penggunaan baterai berkelanjutan. [35] Sebagai bagian dari rencana ini, Komisi Eropa memperkenalkan persyaratan wajib untuk semua baterai di pasar UE. Persyaratan ini mencakup penggunaan bahan-bahan yang bersumber secara bertanggung jawab, membatasi penggunaan bahan-bahan berbahaya, melacak jejak karbon, dan memastikan kandungan minimum bahan-bahan daur ulang untuk memastikan langkah-langkah subsidi ramah lingkungan mendorong produksi baterai ramah lingkungan. Namun, persyaratan tersebut tidak lazim di program subsidi kendaraan listrik atau baterai lainnya. Misalnya, Undang-Undang IRA AS (lihat pembahasan lebih lanjut di bawah) tidak mengikat subsidi pajak kendaraan listrik dengan persyaratan ini. Oleh karena itu, seiring dengan peralihan dunia menuju ekonomi ramah lingkungan, program subsidi baterai atau kendaraan listrik di masa depan diperkirakan akan semakin dikaitkan dengan status keberlanjutan produksi bahan mentah.
*Perjanjian Perdagangan Bebas AS-Indonesia dan UU Pengurangan Inflasi AS (IRA Act) *