Mohon tunggu...
Indrawan setiadi
Indrawan setiadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasi Timbel

25 November 2023   06:38 Diperbarui: 25 November 2023   06:49 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hampir di setiap tikungan jalan, atau dimana saja yang teduh dan rindang, maka di situ pasti ada pedagang Nasi Timbel.

Penggemarnya juga bukan kaleng-kaleng, banyak. Dari beragam kalangan; anak sekolah, mahasiswa, karyawan, nyaris semua pernah atau suka makan di Nasi Timbel.

Tidak ada yang spesial yang disediakan oleh pedagang Nasi Timbel, semuanya standar dan biasa saja. Malah relatif tamplate.

Ada sambal dadakan langsung dari cobek, lalaban, serta beragam gorengan juga lauk pauk yang bisa dengan leluasa dipanaskan lagi, digoreng lagi di wajan besar yang minyak gorengnya kadang sudah hitam sekali.

"Suka banget sih ke Timbel ini?," tanya Weli ke Siska teman kantornya.

"Gak tau, ke pelet banget gue sama Timbel ini, kalau makan siang, keluar ya ke Nasi Timbel aja, tapi yang ini," jawab Siska.

"Iya kenapa?," Weli penasaran.

"Sambelnya juara sih," jelas Siska.

Weli dan Siska dua orang karyawan salah satu BUMN di kota ini. Mereka sudah kerja sama-sama sejak 3 tahun terakhir. Kebetulan Siska memang pendatang dari Bandung, sedangkan Weli, lahir juga tumbuh besar dan berkarier di kota ini.

Pada urusan kerja di kantor, Weli dan Siska ini termasuk teman seangkatan, sehingga mereka jadi begitu akrab, apalagi mereka juga ada di bagian kerja yang sama, marketing.

"Heran, padahal depan kantor juga kan ada," Weli terus saja menggurutu.

"Beda, pokonya beda banget deh, cobain dulu. Sambelnya itu loh, beuh ajib banget,"

Begitulah Siska, untuk urusan sambel dia punya selera yang bagus. Dia bukan tipe perempuan yang hanya cukup bisa menikmati sambel yang hanya sambel.

Pedas yang menjadi pilihannya juga unik, bukan pedas yang palsu, yang dihasilkan dari olahan kimia tertentu. Harus pedas murni hasil dari cabe rawit.

Tapi memang sepertinya begitu mahluk yang bernama perempuan, identik dengan pedas yang sama sesuai dengan selera Siska.

Berbeda dengan Weli, laki-laki seperti umumnya, urusan lidah tidak terlalu muluk-muluk. Tidak banyak yang bisa dideskripsikan untuk selera makannya.

Dia tipikal orang yang asal ada makan saja sudah cukup, dimana dan apa aja yang dimakan juga oke.

Kadang-kadang memang ada waktu-waktu tertentu untuk Weli ingin menikmati makanan-makanan tertentu, tidak asal ada makan saja.

Suka sengaja mendatangi tempat makan favoritnya, gule kambing atau semacam makanan-makanan laut.

Waktunya biasa saat-saat sudah gajian, pasti Weli suka sengaja memanjakan lidahnya dengan asupan makanan dan minuman yang menurutnya enak.

"Ah sama aja, sambel mau di sana di sini juga sama di tiap Nasi Timbel," kata Weli keukeuh.

"Bawel lu, udah cepetan makan sama apa," sanggah Siska. 

Mereke berdua memilih apa yang hendak disantap siang itu, keduanya terlihat serius, memilih apa saja sesuka-sukanya. 

Weli menyasar dua ikat belut untuk digoreng kembali, lengkap dengan tahu dan tempe, serta telor dadar.

Siska tegas sekali meminta sayur asem pada mangkok, serta paha atas daging ayam kampung untuk digoreng lagi.

Mereka bergegas ke suatu tempat sambil mereka menunggu hidangan mereka disajikan.

Sambil menunggu hidangan itu, Siska memulai pembicaraan yang tidak biasanya, dia membicarakan keluarganya pada Weli.

Mulai menceritakan tuntutan suaminya-yang kata Siska, sudah mulai keberatan dengan keberadaan Siska.

Siska ini sudah menikah, usia pernikahannya genap 7 tahun bulan lalu,  tepat pada usia pernikahan mereka yang ke 4 tahun-Siska dan Suaminya harus menjalani hubungan jarak jauh. Karena Siska ditugaskan untuk pindah area kerja ke kota ini.

Bertemulah dengan Weli. sejak pertemuan pertama mereka, Siska jarang sekali menceritakan bagaimana kehidupan berumah tangganya. 

Pantas saja Weli siang itu merasa tersentak dan terheran-heran.

"Tumben banget lo cerita soal beginian," tanya Weli

"Saking udah numpuknya Wel di kepala gue, dan gue gak tau lagi mesti cerita ke siapa di sini,"

"Emang keberatan kenapa suami lo?,"

"Ya jauh aja kali Wel, lu tau sendiri gua pulang seminggu sekali ke Bandung. Sabtu datang Senin subuh gua mesti cabut lagi ke mari,"

"Ya gimana resiko kerja lo,"

"Ngerti gua, itu udah gua jalani 3 tahun ini kan,"

"Iya,"

Tak lama percakapan mereka, hidangan yang dipesan tiba.

"Udah, nanti lo cerita deh sepuasnya. Sekarang makan dulu aja," tutup Weli.

***

Hubungan jarak jauh memang dikenal sebagai hubungan yang rawan, apalagi untuk bahtera rumah tangga, seperti Siska dengan Suaminya.

Hubungan semacam ini dikenal dimana-mana sebagai hubungan yang riskan bubar. Namun sebagaian pasangan masih ada yang percaya pada hubungan jenis ini bisa dipertahankan.

Termasuk Siska dan Suaminya. Pada mulanya mereka yakin betul bisa melalui hubungan semacam itu. Seiring berjalannya waktu, setebal apapun keyakinan itu sedikit-sedikit pudar juga.

Selalu ada saja yang diperdebatkan, untuk urusan yang bahkan bagi kebanyakan pasangan dinilai sepele.

"Begini ya Mas, kita kan udah sepakat yah. Aku lanjut kerja meski pindah area juga restu kamu juga kan,"

"Bukan soal dimana kamu kerja. Aku gak masalah,"

"Terus?,"

"Setidaknya komunikasi bisa lancar dong, itu aja,"

"Memang selama ini kurang lancar gimana maksud kamu?," 

Suami Siska terus mendesak komunikasi yang mereka lakukan selama ini tersumbat, tidak selancar seperti awal-awal Siska pindah kerja.

Sedangkan Siska punya asumsi yang sebaliknya, bahkan beranggapan komunikasi mereka baik-baik saja, tidak ada sumbatan apa-apa.

Sekalipun misalnya telat-telat membalas pesan, Siska hanya meminta pengertian-tertanda dia sedang dalam keadaan sibuk menuntaskan pekerjaannya.

"Sis, menurut gua komunikasi itu penting sih, apalagi untuk hubungan rumah tangga," jelas Weli, membuka pembicaraan setelah makan siang menuju ke kantor mereka.  

"Siapa yang bilang gak penting? Gua juga anggap penting ko, dan gua juga se-optimal mungkin jaga itu Wel," 

"Kalau gitu ya ngobrol lagi lah,"

"Gua udah coba, sekarang ini gua ada di titik dimana gua udah ngerasa cape, lo ngerti kan?"

Saat itu Weli tidak melanjutkan pembicaraan, dia diam. Tapi pikirannya bepergian kesana kemari. 

Weli mencoba mengejawantahkan apa yang saat ini sedang dirasakan sahabatnya, sehingga tidak salah bicara.

Weli paham betul sahabatnya itu sedang kalut, meski mulanya tidak mau menunjukan kekalutannya, namun semenjak Siska membunyikan soal hubungan dengan suaminya yang sedang tidak baik-baik saja, kekalutan itu nampak jelas terlihat.

Kini situasi berubah menjadi serba salah, Siska diam. tipis-tipis air matanya jatuh. Melihat itu Weli semakin tidak menentu.

"Dih, ko nangis?" refleks saja Weli bilang begitu, melihat air mata Siska jatuh.

Saat itu, mereka berdua nyaris saja sampai ke kantor, tapi Weli membelokan mobil ke arah toko modern.

Tidak ada yang akan di beli, pikirannya saat itu hanya berusaha membuat Siska berhenti menangis dulu.

Agar saat sampai di kantor tidak dalam keadaan yang kacau, untuk soal ini, Weli memang pengertian juga perhatian.

Namun bukannya berhenti menangis,  Siska malah semakin menangis, sejadi-jadinya.

Keadaan seperti itu merupakaan keadaan yang pertama kali dialami Weli, semenjak bertahun-tahun bersahabat dengan Siska.

Dia memutuskan untuk keluar mobil, dan meroko. Membiarkan Siska sendiri, menangis di dalam mobil.

Tak lama, Siska medongakan kepalanya dari jendela sambil memberikan tanda pada Weli untuk kembali masuk dalam mobil.

Melihat itu, Weli juga bergegas mematikan roko, dan masuk ke dalam mobil.

"Beres?" tanya Weli sambil menutup pintu mobil.

"Kenapa si lu pergi?"

"Gua mesti gimana?"

"Diem aja di sini, di samping gua,"

Weli tidak memberikan jawaban, dia fokus saja merogoh uang receh dari sakunya, untuk membayar parkir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun