Mohon tunggu...
indrawan miga
indrawan miga Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pendidik, petani

Pernah wartawan di beberapa media cetak nasional. Kini penulis dengan peminatan topik pendidikan, pertanian, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salah Persepsi tentang Sekolah Inklusi

24 Agustus 2019   13:37 Diperbarui: 24 Agustus 2019   13:50 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salut dan hormat untuk sekolah yang telah berani melaksanakan program inklusif, dengan menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) baik di jenjang TK, SD, SMP hingga SMA.  

Sebagai contoh, Pemkot Depok dalam tahun ajaran 2019/20 misalnya, telah menetapkan ada 130 sekolah inklusi di berbagai jenjang yang melaksanakan program inklusif, yaitu 11 SD negeri, 79 SD swasta, 3 SMP negeri, dan 37 SMP swasta. 

Program inklusif ini kini telah berkembang di berbagai wilayah Indonesia dengan perkembangan yang sangat pesat. Dan pemerintah terus mendorong agar lebih makin banyak sekolah reguler yang menerima siswa inklusif. 

PENDIDIKAN INKLUSIF 

Pendidikan inklusif berarti, bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Sekolah, guru, orangtua, dan siswa reguler merespon keanekaragaman peserta didik secara nyaman, dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar daripada melihatnya sebagai suatu problem.

Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan dan sedang, serta berat (yang berat biasanya dikelola unit terapi atau ke sekolah SLB) secara penuh di kelas reguler bersama teman seusianya.

Pendidikan inklusif menghargai perbedaan dan keragaman kemampuan peserta didik, namun mampu memberikan pelayanan yang disesuaikan kebutuhan peserta didik, tanpa diskriminasi, serta berlangsung dengan ramah dan humanis untuk mengembangkan semua potensi peserta didik.

Harus dibedakan antara sekolah inklusif dan sekolah luar biasa (SLB). Tentu siswa dengan kategori kebutuhan khusus tertentu lebih tepat belajar di SLB, seperti siswa tunawicara, tuna rungu, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan cacat ganda.

Namun, bagi mereka yang memiliki kecerdasan cukup dan dengan tingkat kebutuhan khusus yang relatif ringan atau sedang, dapat saja 'menyebarang' masuk bersekolah ke sekolah inklusi sepanjang dapat mengikuti proses pembelajaran (setelah melalui assesment / pemeriksaan tentunya).

Di sekolah inklusi, umumnya siswa yang diterima adalah dengan kebutuhan khusus tertentu seperti autisme dengan berbagai spektrum, ADD, ADHD, tunarungu, dsb.

Tentu disesuaikan dengan kemampuan sekolah untuk mengelola siswa dengan berbagai tingkat kesulitan kebutuhannya tersebut.

Sebagai contoh di sekolah SD Semut-Semut the Natural School  di Depok, menerima  kategori siswa inklusif  dengan beberapa kebutuhan sebagai berikut:

1. Autisme Infantil, 2. ASD (Autism Syndrom Disorder) high functioning, 3. PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder, Not Otherwise Specified) , 4. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), 4. ADD (Attention Deficit Disorder), 5. Slow Learner, 6. Learning Difficulties (kesulitan belajar - Disleksia, Diskalkulia, Disgraphia), 7. Borderline, 8.Intellectual Disability ringan, 9. Speech Delay, dan 10. Tuna rungu yang menggunakan alat bantu Hearing Aid.

NAMUN SEDIKITNYA ADA 15 SALAH PERSEPSI TENTANG PROGRAM INKLUSIF atau SEKOLAH INKLUSI 

Berikut pemahaman yang masih belum tepat tentang pengelolaan sekolah inklusi (inklusif) maupun program inklusif :


1. Program Inklusif adalah program yang terpisah dari program reguler. Jadi seperti program tambahan. 

Tidak benar. Pendidikan inklusif artinya program bagi siswa inklusi bergabung dengan program embelajaran bagi siswa reguler. 

Melebur menjadi satu, meski dibantu dengan tim atau tenaga pengajar tambahan berupa guru pendamping khusus (GPK) atau tenaga terapis.

2. Mutu sekolah akan turun karena nilai NEM rata-rata turun berakibat rangking sekolah di wilayah juga menurun. 

Sekolah yang berbasis nilai akademik tentu keberatan dengan siswa-siswa yang relatif 'bodoh'. Cenderung menolak siswa yang berkecerdasan kurang atau memiliki kendala belajar.

Memang, dengan adanya siswa yang kurang berprestasi secara akademik, maka rerata nilai NEM atau prestasi akademik sekolah akan turun, yang akhirnya menentukan peringkat sekolah di wilayah juga melorot.

Beruntung sekarang pemerintah telah menerapkan sistem zonasi sekolah, sehingga siswa tidak dilihat dari nilai NEM untuk masuk SMP/SMA, atau kemampuan calistung untuk diterima masuk SD. Namun ada faktor pertimbangan lain semisal jarak rumah-sekolah, prestasi non-akademik, serta berasal keluarga miskin.

3. Anggapan siswa ABK akan menularkan penyakit mental atau fisik kepada siswa normal. 

Entah kenapa, ada orangtua yang mendapat info yang salah tentang ABK. Keterbatasan atau kendala belajar pada siswa ABK bersifat individual karena masalah fisik/fisiologis siswa tersebut. Ini bukanlah semacam virus atau wabah yang menular.

100% siswa ABK adalah anak yang sehat. Namun mereka memiliki kendala misalnya dalam fokus belajar, kehilangan konsentrasi, gangguan berfikir, kesulitan berkomunikasi, dan daya respon yang rendah.

Justru disini terjadi pengayaan nilai-nilai kehidupan, saat siswa reguler berinteraksi dengan siswa ABK, akan tumbuh rasa kepedulian dan toleransi yang lebih tinggi, sehingga menjadi manusia yang lebih lembut, toleran, saling menyayangi. Sekolah otomatis terjauhkan dari bullying.

4. Penanganan siswa ABK hanya menjadi urusan guru pendamping khusus (GPK) atau shadow teacher. 

Kondisi ini kerap terjadi saat sebuah sekolah mengawali program inklusi. Beranggapan, sudah ada petugas atau guru yang bertanggungjawab khusus terhadap siswa ABK dan program individual ABK. Tapi ini sifatnya di awal saja.

Yang perlu dibentuk adalah sekolah inklusif, artinya seluruh warga sekolah tanpa kecuali peduli, paham, dan ikut serta mensukseskan program inklusif tersebut.

Untuk itu, diperlukan sosialisasi terus menerus ke seluruh unit sekolah, sehingga timbul kesamaan visi dalam penanganan anak ABK di sekolah inklusif tersebut. Sosialisasi juga terhadap para orangtua siswa reguler, sehingga tetap merespon positif bilamana ada kasus-kasus yang terkait dengan siswa inklusif.

5. Sekolah (dapat) menerima semua tingkatan hambatan belajar siswa ABK. 

Sebaiknya sekolah inklusif membatasi diri dengan tingkat kesulitan yang bisa dikelola. Sebab, setiap anak ABK membutuhkan terapi dan tipe pendampingan yang berbeda.

Dengan makin matangnya program inklusif di sekolah, tentu dimungkinkan sekolah menerima siswa ABK dengan kesulitan penanganan yang lebih tinggi.

Masalah ini terjadi lantaran kelonggaran proses penerimaan. Diperlukan pencermatan melalui wawancara orangtua, pemeriksaan psikologis, assesment atau test pemeriksaan terhadap calon siswa.

Sebaiknya sekolah tidak memberi harapan terlalu tinggi kepada para orangtua bilamana belum siap mengelola berbagai tingkat kesulitan tersebut.

Siswa inklusi di Gunung Kidul, nyaman belajar bersama teman-teman di kelas reguler.  Foto: TEMPO 
Siswa inklusi di Gunung Kidul, nyaman belajar bersama teman-teman di kelas reguler.  Foto: TEMPO 

6. Penerimaan siswa cukup dengan penjelasan orangtua tentang kondisi anak, tanpa assesment oleh terapis/psikolog/ahli.

Di beberapa kesempatan, ditemui sekolah menggampangkan penerimaan siswa ABK berdasarkan keterangan/penjelasan dari orangtua tentang kondisi anak.

Adakalanya, agar siswa dapat diterima, orangtua memberi penjelasan yang tidak lengkap, menyembunyikan atau mengurangi tingkat kendala anak belajar. Sehingga, terkesan mudah. Data pemeriksaan psikologis atau tes-tes yang pernah dilakukan, tak dilampirkan.

Adakalanya justru para orangtua kurang paham kondisi anak sebenarnya. Tidak menganggap serius, karena secara fisik sang anak kelihatan baik dan sehat.

Disarankan agar sekolah melakukan prosedur standar penerimaan siswa, sehingga siswa dikenali kondisi dan kebutuhannya.

Hal ini diperlukan untuk cara penanganannya, terapi yang diperlukan, dan program individual (IEP - individual education program) yang disusun untuknya.

Di beberapa sekolah inklusif, memiliki arah untuk memandirikan anak, dengan mengurangi pendampingan mulai di kelas tinggi (4,5, atau 6) secara bertahap, agar anak dapat lebih leluasa dan banyak berinteraksi secara sosial dan akademik dengan teman sebaya dan guru. Karena itu, kondisi awal siswa sangat penting untuk merancang program inklusif baginya.

7. Program inklusif adalah semacam program SLB di sekolah umum. 

Siswa inklusif memiliki kemampuan untuk belajar dan berlatih. Karena itu, dia dapat bergabung di kelas reguler.

Praktek yang salah, meski pun bergabung di kelas reguler, tapi anak inklusi dipisahkan dalam kelas, misalnya diletakkan di pojok kelas, atau tidak dilibatkan dalam kegiatan kelas dengan alasan memperlambat proses belajar.

Justru dengan memasukkannya ke kelas reguler, diharapkan terjadi interaksi yang menstimulasi siswa ABK. Guru harus berupaya untuk melibatkan siswa dalam kegiatan di kelas. Hanya itulah satu-satunya cara agar siswa ABK dapat tumbuh mandiri dan bersosialisasi dengan baik.

Bilamana guru mengajar aktif menyenangkan (active learning), maka lebih banyak kesempatan bagi siswa ABK untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan kelas baik di dalam maupun di luar ruang kelas.

8. Program inklusif ditujukan terutama untuk anak Autis.

Beberapa tahun terakhir penyandang kendala Autisme memang meningkat nyata jumlahnya. Itu sebabnya seolah sekolah inklusif dipersepsikan terutama untuk anak dengan autisme (berbagai sprektrum).

Padahal, program inklusif ini terbuka untuk berbagai kendala belajar sejauh sekolah mampu mengelolanya. Jika kondisinya terlalu berat, ananda tentu akan disarankan melanjutkan pendidikan ke sekolah luar biasa, yang memiliki sarana-prasarana lebih lengkap untuk siswa berkebutuhan khusus tertentu seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan cacat ganda.

9. SEKOLAH INKLUSI adalah sejenis dengan SLB. Sekolah inklusi rasa SLB.

Perlakuannya begini: siswa ABK dikelola atau terkumpul di kelas khusus, yang terpisah dari kegiatan reguler.

Mereka terus-menerus belajar di kelas khusus tersebut, tanpa bersinggungan dengan teman-teman regulernya.

Hal ini disebabkan oleh kekurangmampuan tim inklusi / guru pendamping khususu mengelola siswa ABK. Sehingga, kehadiran siswa ABK menjadi 'gangguan' bagi temannya. Seperti, memukul, berteriak-teriak, mondar-mandir, (maaf) BAB di celana, hingga merusak dan mengamuk.

Akibat sering timbul 'gangguan' seperti itu, akhirnya guru 'menyerah' dan mengelola siswa ABK dalam suatu lokal terpisah untuk terus-menerus menjalani terapi.

Dengan kondisi seperti ini, justru siswa ABK kehilangan kesempatan untuk bersosialisi dengan teman sebaya, berinteraksi secara natural/normal, dan menumbuhkan kemandiriannya.

Solusinya adalah dengan mengatur porsi kehadiran di kelas reguler. Misal 25% reguler : 75% kelas terapis. Nanti secara bertahap jam kelas reguler ditambah sesuai kemajuan siswa. Metode ini disebut pull out, artinya siswa ditarik dari kelas reguler untuk menjalani terapi di kelas khususnya.

10. Apapun type ABK, dapat diterima bersekolah di sekolah reguler 

Range atau jangkauan kesulitan belajar siswa yang sangat beragam menyulitkan guru pendamping dan terapis yang terbatas jumlah dan kemampuannya.

Sebaiknya, di awal pengelolaan program inklusi menerima anak dengan kategori yang sama terlebih dahulu, baru kemudian sekolah meningkatkan skill ketrampilannya untuk mengelola siswa ABK dengan tingkat kendala yang lebih sulit. Misalnya, melalui berbagai pelatihan tentang pengelolaan anak inklusif.

Ini seiring dengan makin banyaknya guru reguler yang trampil menangani anak, serta adanya penambahanA guru pendamping khusus, serta kelengkapan sarana-prasarana media belajar.


11.  Dapat menerima siswa ABK melebihi rasio siswa inklusif per kelas. 

Di sekolah swasta, biaya siswa ABK memang jauh lebih tinggi ketimbang siswa reguler.

Jangan sampai, karena alasan ekonomis untuk meningkatkan pendapatan sekolah, dengan alasan meningkatnya biaya operasional untuk guru pendamping khusus, terapis, psikolog, dan sebagainya; sekolah menerima siswa inklusif berlebihan.

Untuk kenyamanan belajar, sebaiknya mengikuti perbandingan (rasio) jumlah siswa ABK terhadap siswa reguler yang proporsional. Rasio yang terbaik, dalam sebuah kelas reguler berisikan sekitar 25-30 anak, dapat menerima 2-3 orang siswa ABK dengan guru pendamping.

Meski pun permintaan orangtua yang begitu tinggi untuk menyekolahkan anaknya, pihak sekolah sebaiknya membatasi rasio ini agar suasana belajar tetap kondusif bagi siswa reguler. 

Beberapa orangtua terkadang sampai menangis menghadapi kenyataan penolakan dari sekolah, karena anaknya sudah tidak dapat diterima lantaran kapasitas sekolah untuk siswa ABK telah penuh. Sekolah terpaksa menutup pendaftaran siswa ABK lantaran mematuhi rasio tersebut. Sudah saatnya makin banyak sekolah di Indonesia menjadi sekolah yang inklusif, betapapun sulit memulainya.  

12. Sekolah Inklusif dapat mengelola siswa inklusi sebanyak-banyaknya tanpa kuota.

Dengan mengelompokkan siswa pada lokal khusus, maka seolah sekolah dapat menerima sejumlah siswa ABK dalam jumlah daya tampung lokal tersebut. Kegiatan lebih terfokus pada terapi.

Kurang tepat, karena program inklusif bukanlah memisahkan siswa dari kegiatan reguler sekolah.

Ini terjadi karena juga ada ketidak-pahaman tentang program inklusif. Dan lebih banyak didorong alasan ekonomi menambah income sekolah (swasta).

13. Tujuan belajar siswa ABK adalah agar anak jadi pintar atau meningkatkan kecerdasannya. 

Umumnya siswa ABK memiliki kecerdasan rerata di bawah rata-rata, dengan berbagai kesulitan belajarnya. 

Karena itu, lebih bijaksana andai orangtua untuk secara bertahap mengevaluasi perkembangan siswa, dan menetapkan harapan yang sesuai dengan kondisi anak.

Sekecil apapun peningkatan pencapaian anak ABK, sesuatu yang harus disyukuri. Sebab, untuk mendapatkan pencapaian itu, seorang siswa ABK harus melalui berbagai proses terapi dan sosialisasi yang panjang.

Setahap demi setahap melewati peningkatan-peningkatan kecil, siswa ABK kelak mengalami perubahan atau pencapaian signifikan yang berharga dan bermanfaat bagi dirinya : kecerdasan akademik, sikap sosial, dan life-skill.

Bagi anak yang telah mandiri, dan ternyata memang memperlihatkan potensi bakat minat khusus semisal di bidang matematika (kecerdasan logic matematik), komputer - grafis, desain, art (naturalis), cookery, menari dan bermusik (music), spiritual, ataupun berbahasa asing (linguistik), tentu sekolah wajib mengembangkan potensi kecerdasan yang ada agar menjadi bekal bagi siswa di jenjang pendidikan berikutnya.  Pengertian pintar di sini adalah bagian dari kecerdasan majemuk yang dimiliki anak.  

14. Siswa inklusi urusan guru pendamping, bukan tanggung jawab kelas atau bidang studi.

Tugas guru kelas sudah berat menangani anak reguler, jadi tidak mau ditambah lagi dengan urusan ABK meski cuma 2 atau 3 anak.

Ketambahan siswa ABK seolah menjadi tambahan tugas yang merepotkan, misal mesti membuat soal yang berbeda dengan siswa reguler, atau ikut memberikan kesimpulan evaluasi belajar.

Berarti, di sini, para guru reguler atau guru kelas belum memahami, bahwa menjadi sekolah inklusif itu adalah komitmen seluruh warga sekolah, bukan unit inklusif saja.

Setiap guru atau warga sekolah harus aktif berkontribusi mendampingi siswa atau temannya yang berkebutuhan khusus.

15. Penilaian raport atau evaluasi belajar siswa inklusi adalah tanggung jawab guru pendamping.

Kondisi seperti ini kurang baik bagi sekolah inklusif.

Guru kelas atau wali kelas wajib ikut serta memberikan penilaian atau evaluasi belajar.

Catatannya akan akan digabungkan dengan penilaian dari unit terapi, sehingga menjadi satu laporan perkembangan belajar yang komprehensif. Para orangtua dapat berkonsultasi baik pada sang wali kelas maupun dengan guru pendamping, sehingga mendapat gambaran integratif.

Hal ini tidak mudah bagi sebagian besar sekolah. Namun dengan berlalunya waktu dan bertambahnya pengalaman, maka para guru akhirnya menyadari bahwa tugas mereka mengajar dan mengevaluasi siswa tanpa melihat perbedaan kemampuan dan keterbatasan.

Presiden Jokowi, dalam periode ke 2 ini, berorientasi pada peningkatan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, maju, unggul. Dan perlu terus dibimbing kewajiban bagi sekolah-sekolah negeri untuk menyelenggarakan program inklusi. Tidak melulu memikirkan program bagi siswa bernilai akademik tinggi di sekolah-sekolah negeri favorit dengan nilai NEM tinggi. Tetapi juga merangkul bakat-bakat istimewa dari siswa berkebutuhan khusus agar mereka pun dapat kelak menjadi tenaga trampil dan SDM berkualitas. 

Inilah hakikat dari pendidikan inklusi, yaitu pendidikan bagi semua anak, education for all - memajukan keberagaman kecerdasan semua anak bangsa tanpa kecuali. 

(Indrawan Miga)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun