7. Program inklusif adalah semacam program SLB di sekolah umum.Â
Siswa inklusif memiliki kemampuan untuk belajar dan berlatih. Karena itu, dia dapat bergabung di kelas reguler.
Praktek yang salah, meski pun bergabung di kelas reguler, tapi anak inklusi dipisahkan dalam kelas, misalnya diletakkan di pojok kelas, atau tidak dilibatkan dalam kegiatan kelas dengan alasan memperlambat proses belajar.
Justru dengan memasukkannya ke kelas reguler, diharapkan terjadi interaksi yang menstimulasi siswa ABK. Guru harus berupaya untuk melibatkan siswa dalam kegiatan di kelas. Hanya itulah satu-satunya cara agar siswa ABK dapat tumbuh mandiri dan bersosialisasi dengan baik.
Bilamana guru mengajar aktif menyenangkan (active learning), maka lebih banyak kesempatan bagi siswa ABK untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan kelas baik di dalam maupun di luar ruang kelas.
8. Program inklusif ditujukan terutama untuk anak Autis.
Beberapa tahun terakhir penyandang kendala Autisme memang meningkat nyata jumlahnya. Itu sebabnya seolah sekolah inklusif dipersepsikan terutama untuk anak dengan autisme (berbagai sprektrum).
Padahal, program inklusif ini terbuka untuk berbagai kendala belajar sejauh sekolah mampu mengelolanya. Jika kondisinya terlalu berat, ananda tentu akan disarankan melanjutkan pendidikan ke sekolah luar biasa, yang memiliki sarana-prasarana lebih lengkap untuk siswa berkebutuhan khusus tertentu seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan cacat ganda.
9. SEKOLAH INKLUSI adalah sejenis dengan SLB. Sekolah inklusi rasa SLB.
Perlakuannya begini: siswa ABK dikelola atau terkumpul di kelas khusus, yang terpisah dari kegiatan reguler.
Mereka terus-menerus belajar di kelas khusus tersebut, tanpa bersinggungan dengan teman-teman regulernya.