Hal ini disebabkan oleh kekurangmampuan tim inklusi / guru pendamping khususu mengelola siswa ABK. Sehingga, kehadiran siswa ABK menjadi 'gangguan' bagi temannya. Seperti, memukul, berteriak-teriak, mondar-mandir, (maaf) BAB di celana, hingga merusak dan mengamuk.
Akibat sering timbul 'gangguan' seperti itu, akhirnya guru 'menyerah' dan mengelola siswa ABK dalam suatu lokal terpisah untuk terus-menerus menjalani terapi.
Dengan kondisi seperti ini, justru siswa ABK kehilangan kesempatan untuk bersosialisi dengan teman sebaya, berinteraksi secara natural/normal, dan menumbuhkan kemandiriannya.
Solusinya adalah dengan mengatur porsi kehadiran di kelas reguler. Misal 25% reguler : 75% kelas terapis. Nanti secara bertahap jam kelas reguler ditambah sesuai kemajuan siswa. Metode ini disebut pull out, artinya siswa ditarik dari kelas reguler untuk menjalani terapi di kelas khususnya.
10. Apapun type ABK, dapat diterima bersekolah di sekolah regulerÂ
Range atau jangkauan kesulitan belajar siswa yang sangat beragam menyulitkan guru pendamping dan terapis yang terbatas jumlah dan kemampuannya.
Sebaiknya, di awal pengelolaan program inklusi menerima anak dengan kategori yang sama terlebih dahulu, baru kemudian sekolah meningkatkan skill ketrampilannya untuk mengelola siswa ABK dengan tingkat kendala yang lebih sulit. Misalnya, melalui berbagai pelatihan tentang pengelolaan anak inklusif.
Ini seiring dengan makin banyaknya guru reguler yang trampil menangani anak, serta adanya penambahanA guru pendamping khusus, serta kelengkapan sarana-prasarana media belajar.
11. Â Dapat menerima siswa ABK melebihi rasio siswa inklusif per kelas.Â
Di sekolah swasta, biaya siswa ABK memang jauh lebih tinggi ketimbang siswa reguler.
Jangan sampai, karena alasan ekonomis untuk meningkatkan pendapatan sekolah, dengan alasan meningkatnya biaya operasional untuk guru pendamping khusus, terapis, psikolog, dan sebagainya; sekolah menerima siswa inklusif berlebihan.