Dengan makin matangnya program inklusif di sekolah, tentu dimungkinkan sekolah menerima siswa ABK dengan kesulitan penanganan yang lebih tinggi.
Masalah ini terjadi lantaran kelonggaran proses penerimaan. Diperlukan pencermatan melalui wawancara orangtua, pemeriksaan psikologis, assesment atau test pemeriksaan terhadap calon siswa.
Sebaiknya sekolah tidak memberi harapan terlalu tinggi kepada para orangtua bilamana belum siap mengelola berbagai tingkat kesulitan tersebut.
6. Penerimaan siswa cukup dengan penjelasan orangtua tentang kondisi anak, tanpa assesment oleh terapis/psikolog/ahli.
Di beberapa kesempatan, ditemui sekolah menggampangkan penerimaan siswa ABK berdasarkan keterangan/penjelasan dari orangtua tentang kondisi anak.
Adakalanya, agar siswa dapat diterima, orangtua memberi penjelasan yang tidak lengkap, menyembunyikan atau mengurangi tingkat kendala anak belajar. Sehingga, terkesan mudah. Data pemeriksaan psikologis atau tes-tes yang pernah dilakukan, tak dilampirkan.
Adakalanya justru para orangtua kurang paham kondisi anak sebenarnya. Tidak menganggap serius, karena secara fisik sang anak kelihatan baik dan sehat.
Disarankan agar sekolah melakukan prosedur standar penerimaan siswa, sehingga siswa dikenali kondisi dan kebutuhannya.
Hal ini diperlukan untuk cara penanganannya, terapi yang diperlukan, dan program individual (IEP - individual education program) yang disusun untuknya.
Di beberapa sekolah inklusif, memiliki arah untuk memandirikan anak, dengan mengurangi pendampingan mulai di kelas tinggi (4,5, atau 6) secara bertahap, agar anak dapat lebih leluasa dan banyak berinteraksi secara sosial dan akademik dengan teman sebaya dan guru. Karena itu, kondisi awal siswa sangat penting untuk merancang program inklusif baginya.