Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Komikus Hasmi, Lebih dari Legenda "Gundala"

24 November 2024   13:29 Diperbarui: 24 November 2024   22:13 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kediaman Hasmi, pencipta komik Gundala, di Kelurahan Karangwaru, Tegalrejo, Yogyakarta, Selasa (9/9/2014). (Foto: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO) 

Sewindu Wafatnya Komikus Hasmi
Lebih dari Sekadar Legenda 'Gundala Putra Petir'

Komikus asal Yogyakarta Hasmi yang wafat 6 November 2016, telah meninggalkan jejak kreatif, di antaranya tampak pada komik "Gundala Putra Petir" yang fenomenal dan melegenda itu. Saking populernya komik hero itu, sutradara Joko Anwar pun tertarik membuat film "Gundala" pada tahun 2019.

Kini, untuk mengenang sewindu wafatnya Hasmi, grup teater "Kembang Adas" Yogyakarta menggelar pementasan sandiwara berbahasa Jawa, "Begal Ora Tegelan" (Begal yang tidak punya sifat tega), 28 November 2024 di Societet Taman Budaya Yogyakarta, pukul 19.00 WIB. Pementasan ini digarap sutradara Cicit Kaswami, yang sekaligus jadi penulis naskahnya. Para aktor yang mendukung pementasan ini Eko Winardi, Ami Simatupang, Margono W, Lisa Sulistyowati, Ningsih Maharani dan lainnya. Musik digarap Otok Bima Sidharta.

Hasmi dan komik  Gundala telah menjadi sejarah. Mereka selalu jadi narasi penting, ketika orang berbicara dunia komik Indonesia. Terutama tatkala superhero jadi dambaan masyarakat.  Gundala pun berada dalam deretan tokoh fiksi para pendekar silat: dari Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, sampai Djaka Sembung.

Namun Gundala tidak pandai silat. Ia memperoleh "kesaktiannya" dari eksplorasi dan eksperimentasi secara "ilmiah" yang dilakukan. Ia mampu menangkap petir. Dengan mendapat sokongan "kesaktian" dari Dewa Petir Gundala mampu menumpas kejahatan.

Hasmi cukup berhasil memadukan nilai-nilai modernitas dan budaya lokal. Ini tercermin pada sosok Gundala yang memiliki kejiwaan atau karakter kejawaan, meskipun secara fisik dan performance menyerupai tokoh superhero Barat: Flash Gordon! Komik Gundala Putra Petir bisa dikategorikan ke dalam fiksi ilmiah; inovasi langka dalam dunia fiksi modern komik Indonesia saat itu.

"Kalau Gundala jadi dibikin film, saya akan kaya raya. Minimal, saya bisa terima honor satu milyar..." ujar Hasmi dengan wajah berbinar,  dalam sebuah obrolan ringan.

Jauh sebelum Hasmi meninggal, sudah santer terdengar kabar: komik "Gundala Putra Petir"  ciptaan Hasmi, akan difilmkan. Bahkan kabar soal itu sudah tersebar di berbagai media. 

Nama Hanung Bramantyo disebut sebagai sutradara yang akan menggarap film  Gundala.  Hasmi pun sudah bolak-balik Yogya-Jakarta untuk membicarakan berbagai hal dan mempersiapkan segalanya berkaitan dengan produksi film itu. Namun, hingga Hasmi meninggal, rencana itu belum terwujud.

Impian untuk jadi orang kaya, sejatinya sudah dia raih ketika komik mengalami kejayaan. Honor yang diterima Hasmi cukup tinggi, untuk ukuran tahun 1970-an. Untuk satu buku komik, dia bisa menerima honor sekitar Rp 400. 000. 

Kalikan saja jumlah itu dengan ratusan komik yang dia ciptakan. Namun, ternyata dia tidak memilih menjadi kaya, dengan kekayaannya itu., uangnya justru dipakai untuk berbagai hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Begitulah sikap Hasmi yang berjiwa solider.  

Hasmi identik dengan Gundala. Begitu pula sebaliknya. Keduanya sama-sama populer. Sama-sama jadi legenda. Betapa awetnya sang Gundala, tokoh fiktif itu, hidup dalam dunia imajinasi publik penggemarnya yang memang menyukai superhero.

Hero Selalu Dirindukan

Hero selalu dibutuhkan dan dirindukan dalam setiap zaman. Tak hanya pada saat masyarakat merasa tertindas, tapi juga saat masyarakat bebas. Sebab, pada dasarnya setiap manusia menyukai kebaikan dan kebenaran. 

Untuk itu, sang pahlawan harus tampil dan menang melawan kekuatan jahat. Ketika sang hero berhasil menumpas kejahatan, hati manusia tak berhenti bersorak. Manusia merasa terbebas, meskipun sang hero itu tak lebih dari tokoh fiktif dalam komik. Termasuk Gundala-nya Hasmi.

Perasaan mengharu-biru pahlawan sangat menonjol seiring munculnya banyak superhero dalam komik Indonesia pada tahun 970-an. Tak hanya Gundala tapi juga Badra Mandrawata /Si Buta dari Goa Hantu (Ganes TH), Panji Tengkorak (Hans Jaladara), Parmin/ Joko Sembung (Djair Warni) dan superhero lainnya ciptaan Jan Mintaraga, Wid NS, Teguh Santosa. Watak "melodramatik" masyarakat Indonesia saat itu dapat dimaklumi karena baru saja lepas dari kehidupan Orde Lama yang cenderung kurang memberikan kebebasan bagi sebagian besar masyara. 

Saat Orde Baru bangkit tahun 1966, sisa-sia perasaan "terkekang" itu masih mengendap. Maka, ketika dunia komik memroduksi tokoh-tokoh superhero, masyarakat langsung menyambut dengan antusias. Tokoh-tokoh superhero jadi wahana pembebasan.

Kehidupan superhero komik tetap berlanjut, saat Orde Baru berkuasa. Masyarakat masih membutuhkan "bulan madu" dengan para superhero, bahkan berlanjut hingga generasi penggemar itu menua atau banyak yang sudah meninggal. Namun kehidupan tokoh-tokoh superhero tak lantas berheni sampai di situ. 

Generasi yang lahir kemudian pun menerima "warisan" para superhero itu, karena adanya reproduksi nilai yang tidak pernah berhenti.  Begitu pula dalam kasus Gundala ciptaan Hasmi. Bahkan ketika Hasmi sudah off dari dunia komik, karena bebagai alasan, Gundala tetap hadir sebagai ikon kultural masyarakat.

Ki Ageng Selo

Hasmi yang akrab disapa Mas Nemo,  menciptakan tokoh Gundala pada 1969.  Meskipun dalam tampilan fisik diinspirasi dari sosok Flash ciptaan Gardner Fox dari DC Comics, Gundala hadir dengan karakter khas yang lekat dengan budaya Jawa-Yogyakarta. 

Hasmi menggali dan mengeksplorasi mitos-mitos Jawa. Misalnya kesaktian Gundala berupa kemampuan menangkap petir yang diilhami mitos Ki Ageng Selo. Legenda itu sangat populer di masyarakat Jawa, termasuk generasi Hasmi (generasi 1960-an).

Dorongan menciptakan Gundala, diakui Hasmi merupakan jawaban atas  kebutuhan masyarakat atas kehadiran superhero, layaknya superhero yang diimpor dari Barat: Flash Gordon, Superman, Batman dan lainnya.

Pada tahun 1969 ketika menciptakan komik Gundala Putra Petir , Hasmi telah memiliki gagasan kreatif tentang science fiction (fiksi ilmiah). Yakni fiksi spekulatif  yang membahas pengaruh sains dan teknologi terhadap kehidupan masyakarat dan individu. Misalnya film Star Trek, Star Wars, dan lainnya. Tentu, ide Hasmi tersebut tidak lahir dari ruang kosong. Hasmi adalah komikus yang memiliki pengetahuan luas karena suka membaca dan nonton film.

Namun sebagai kreator Hasmi melakukan eksplorasi. Di situ pengetahuan yang diserap dari Barat (dunia modern) bertemu dengan pengetahuannya tentang budaya lokal Jawa. Terjadilah dialog budaya yang melahirkan komik Gundala Putra Petir.

Gundala Putra Petir  menceritakan tentang penelitian dan eksperimen yang dilakukan ilmuwan Ir Sancaka (yang kemudian menjelma menjadi tokoh Gundala). Dia menciptakan serum anti petir yang membuat tubuhnya menjadi tahan terhadap arus listrik. Ini berlanjut dengan  pertemuan misterius Sancaka dengan Dewa Petir. 

Selain diangkat menjadi anaknya, Dewa Petir juga memberi Sancaka "kesaktian" berupa kecepatan kilat dan kekuatan petir. Dengan kekuatannya yang dahsyat itu Gundala menumpas kejahatan. Selain Gundala, Hasmi juga menciptakan komik Maza Si Penakluk,  Jin Kartubi, Pangeran Mlaar, Merpati, Sembrani dan Kalong.

Gagal Jadi Insinyur

Hasmi lahir di Yogyakarta 25 Desember 1946,   dengan nama Isman Surasa Dharmaputra. Namun, karena sering sakit, nama kecil itu pun diubah  orang tuanya menjadi Harya Suraminata. 

Pada saat itu muncul anggapan bahkan keyakinan bahwa  anak yang sering sakit disebabkan oleh faktor nama "besar"  yang disandangnya. Orang Jawa  menyebutnya  kabotan jeneng atau "terbebani nama yang terlalu tinggi maknanya". Adapun nama Hasmi sendiri sejatinya merupakan singkatan dari Harya Suraminata. Di kalangan pergaulan dia dipanggil Nemo.

Bakat, kemampuan dan minatnya di bidang seni lukis sudah tampak semasa Hasmi masih bocah. Dia suka menggambar. Kemampuan itu terus terbawa saat dia sekolah di SD Negeri Ngupasan 2, SMP  BOPKRI dan SMA BOPKRI I Yogyakarta.

Selepas SMA, cita-cita menjadi insinyur (seperti gelar yang dimiliki tokoh fiktif Sancaka atau Gundala) mendorong Hasmi mendaftar  Fakultas Teknik UGM Yogyakarta. Namun dia tidak lolos test. Hasmi pun banting stir, kembali pada hobi dan kemampuannya: melukis. Maka, pada tahun 1967, masuklah dia di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI Yogyakarta, kini menjadi bagian dari Institut Seni Indonesia/ISI Yogyakarta).  

Namun kuliah secara intensif di ASRI hanya dilakoninya selama setahun. Selebihnya dia "ngambang" antara menjadi mahasiswa dan menjadi seniman lukis komik. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan untuk menggambar komik. Puncaknya adalah pada tahun 1969, ketika dia melahirkan komik Gundala yang sukses di pasaran. Nama Hasmi pun meroket. Maka, Hasmi memilih untuk drop-out dari ASRI. Mantap dengan pilihannya: menjadi pelukis komik.

Di tengah kesibukannya melukis komik, niatnya untuk kembali kuliah pun "kambuh". Pada 1971 Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing (ABA) Yogyakarta, jurusan Bahasa Inggris. Dia lulus pada tahun 1974. Jangan kaget jika dia bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris.

Gundala Jatuh Cinta

Dengan karya seri Gundala sebanyak 23 judul yang diciptakan antara tahun 1969 -1982, Hasmi telah menorehkan fenomena yang terus diingat penggemarnya. Seluruh karya Hasmi itu akan diterbitkan ulang oleh Bumi Langit.

"Tapi untuk seri The Trouble dan Bentrok Jago-jago Dunia tidak bisa karena berkaitan dengan hak cipta," kata Hasmi,  di rumahnya yang sederhana di sebuah gang di  Karangwaru, Jalan Magelang Km 4 Yogyakarta. Maklum dalam dua judul itu, Gundala dikisahkan bertemu dengan Superman, Batman, dan superhero dunia lainnya (Suara Merdeka 21 Juli 2005).

Ada pengalaman menarik ketika Hasmi  kuliah di ABA. Saat itu, Hasmi membuat komik episode Gundala Jatuh Cinta. Ceritanya mencerminkan kisah hidupnya dalam memburu cinta seorang gadis. 

Dengan sangat lancar Hasmi menuturkan pengalaman romantiknya itu. Dikisahkan Sancaka (Gundala) jatuh cinta pada Cakti mahasiswi semester 2 ABA, anak kost, asal Pasuruan Jatim. Namun Cakti menolak cintanya, sehingga Sancaka patah hati dan limbung.

Lama membujang,  Hasmi baru  menemukan jodohnya saat usianya mencapai 53 tahun.  Dia menikahi Mujiyati. Pernikahan itu dikaruniai dua  anak: Ainun Anggita Mukti dan Batari Sekar Dewangga.

Pilih "Tak Kaya"

Soal dokumentasi karya-karyanya (gambar aseli komik), Hasmi mengatakan dia tidak memilikinya. "Dulu belum ada foto kopi atau sistem penggandaaan lainnya. Waktu itu, yang saya kirim adalah gambar aslinya. Setelah gambar-gambar komik itu diubah menjadi film dan seng plat lalu dicetak, ya langsung dibuang oleh bagian percetakan. Sayang sekali," ujar Hasmi dengan wajah menyesal.

Celakanya, Hasmi pun tidak menyimpan komik-komik ciptaanya dalam bentuk cetakan. "Dulu ya punya, tapi sekarang ada di mana, saya tidak tahu. Pada tahun 1990-an saya pindah dari Kemetiran ke Karangwaru. Mungkin komik-komik saya tercecer entah di mana..." kembali dia menyesal.

Ketika masih sehat dan jauh sebelum meninggal  Hasmi mengaku, masih sanggup melukis tokoh-tokoh komiknya termasuk Gundala. "Saya bisa melukis mereka luar kepala. Saking hapalnya..." ujarnya.

Ditanya soal honor membuat satu buku komik, Hasmi mengatakan uang  yang dia terima sangat tinggi, untuk ukuran tahun 1970-an. "Honor untuk satu komik bisa untuk membeli satu sepeda motor buatan Jepang, yang waktu itu harganya sekitar Rp 400 ribu," ujar Hasmi yang mengaku melukis komik karena mendapat inspirasi dari Wid NS, kawan karibnya yang juga pelukis komik. 

Jika honornya itu disamakan dengan harga sepeda motor bikinan Jepang saat ini, maka nilainya mencapai Rp 16 juta. Tinggal kalikan saja dengan ratusan komik yang telah dibuat Hasmi.

Dengan penghasilan itu, Hasmi layak disebut orang kaya. Namun Hasmi tidak menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi,  investasi atau usaha lain. 

Hasmi mengaku, uangnya lebih banyak dipakai untuk untuk mencukupi kebutuhan hidup, membantu keluarga, ongkos pesrawungan sosial dan membiaya anak-anak asuh saya. Hasmi memang dikenal sangat menyayangi anak-anak. Beberapa anak tetangganya pun diangkat menjadi anak asuh.

Sikap sosialnya yang tinggi atau pilihannya menjadi pribadi yang solider, menjadikan Hasmi tidak sempat menabung uangnya. Hingga meninggal, dia tidak sempat membeli rumah. Dia pernah pindah-pindah rumah kontrakan. Dan, sebelum meninggal, dia bersama isteri dan dua anaknya tinggal di rumah milik orang tua isterinya. Dia memilih jalan hidup sederhana tapi bahagia.

Penulis Skenario

Pada tahuan 1980-an, masa kejayaan komik meredup alias surut. Faktor penyebabnya antara lain merebaknya industri televisi, film bioskop, dan membanjirnya komik asing (Amerika, Jepang). Atau perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang semakin jauh dari komik. 

"Industri penerbitan buku komik benar-benar tepukul. Banyak penerbit komik,  harus gulung tikar," ujar Hasmi, dalam sebuah percakapan dengan penulis.  

Namun, Hasmi tetap melukis komik. Orientasinya tidak lagi penerbitan buku, melainkan media massa seperti majalah dan koran. Komik Hasmi pun hadir di beberapa media seperti majalah berbahasa  Djaka Lodhang  dan Panyebar Semangat , Harian Bernas Yogyakarta dan lainnya. Selain itu, Hasmi pun masih mengerjakan ilustrasi untuk penerbitan buku paket pelajaran. Dia mendapat "order" dari sebuah penerbit di Klaten, Jawa Tengah.

Tahun 1980, dia bersama komikus  Wid NS dipesan untuk membuat komik tentang kepahlawanan tokoh-tokoh Orde Baru: Merebut Kota Perjuangan yang diterbitkan Yayasan Sinar Asih Mataram (Jakarta) pada 1980. Selain itu, pada tahun 2000-an, dia bersama komikus lain (Santhi Sheba, Banuarli Ambardi, Koessoenarjono, Ajon, Sungging dan Dwi "Jink" Aspitono)  berhasil menerbitkan Antologi Komik Keris. Komik yang mengangkat budaya lokal Jawa itu diterbitkan Metha Studio.

Hasmi tidak pernah menyerah. Ia terus membuat komik. Saat penulis dan Tim Kurator  Penghargaan Seni dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta berkunjung ke rumahnya di bilangan Karangwaru, Hasmi sedang menyelesaikan komik strip bergenre silat Jawa.

"Untuk Panyebar Semangat...,"ujarnya dengan wajah penuh optimisme, sambil menunjukkan komik ciptaanya yang menghiasi sampul belakang majalah Panyebar Semangat. Kelelahan tampak membayang di wajah Hasmi. Namun, dia tetap riang, banyak bicara, banyak tertawa, dan sering pula melucu. Suasana jadi cair, akrab dan segar.

Dia kaget, ketika kami memberitahu bahwa dia dipilih menjadi seniman yang mendapat  penghargaan seni dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Namun, dia tetap menyembunyikan kegembiraannya. Dengan enteng dia bilang, "Oooo gitu ya? Ya, terimkasih..." ujarnya sambil tersenyum lebar.

Hasmi pun dengan senang menjawab berbagai pertanyaan Tim Kurator Penghargaan Seni Kota Yogyakarta, seputar kiprahnya di jagat komik.  Hasmi sangat prihatin terhadap nasib dunia komik Indonesia yang terpuruk. Dia berharap, muncul sinergi dari berbagai pihak untuk membangkitkan dunia komik. Termasuk dari pemerintah.

Saat komik semakin kesulitan menemukan penerbit dan pasar, Hasmi mencoba peruntungan lain. Yakni menulis skenario film layar lebar dan televisi. Hubungan akrabnya dengan aktor film Teddy Purba, mendatangkan akses untuknya. Dia pun menulis skenario film Banteng Mataram yang digarap sutradara Bay Isbahi dan dibintangi Tedy Purba dan Minati Atmanegara. 

Tahun 1981, komik Gundala Putra Petir diangkat ke layar lebar dengan sutradara Lilik Sudjio dan dibintangi Tedy Purba, Amy Priyono, Anna Tairas,  WD Mochtar, Farida Pasha, Pitrajaya Burnama,  serta Agust Melaz. Hasmi, Sofyan Sharna dan Gordon Subandono menjadi tim penulis skenarionya.  Adapun beberapa skenario Hasmi lainnya antara lain Kelabang Sewu, Lorong Sesat dan Harta Karun Rawa Jagitan.

Adapun karya skenarionya untuk televisi antara lain Siung Macan Kumbang (serial lakon ketoprak yang diproduksi dan ditayangkan TVRI Yogyarta), Sawijining Dina Ing Sasi Rejeb, Serial Tajuk (digarap sutradara Slamet Raharjo) dan lainnya.

Hasmi juga main untuk paket tayangan televisi, antara lain serial Gatot Kaca, Mbangun Desa (tulisan dramawan Heru Kesawa Murti), Tonil Mataraman dan drama televisi bersama Teater Stemka pimpinan aktor Landung Simatupang. Ia pun sering main film televisi (FTV) yang ditayangkan di sebuah televisi swasta Jakarta. Untuk film layar lebar, Hasmi pernah main dalam Kartini (Hanung Bramantyo), Talak 3 (Ismail Basbet) dan lainnya. Ia juga menjadi penggagas dan sutradara sinema boneka bergaya wayang Bajra Bahaskara. Sinema serial ini dibuat atas dukungan finansial sastrawan dan tokoh media Arswendo Atmowiloto. "Sebanyak 13 episode, dan sudah tayang di TVRI Jakarta," ujar Hasmi.

Selain itu, bersama kawan-kawannya dia pun membuat sinema serial ala wayang potehi bertajuk Deta dan Dea, sebanyak 13 episode. Arswendo Atmowiloto kembali memberikan dukungan secara finansial. Terlibat di dalamnya para penulis skenario, Puntung Cm Pudjadi dan Indra Tranggono dan beberapa seniman seperti Jujuk Prabowo (Teater Gandrik), Bambang Paningron (Teater Arena), Landung Simatupang, Rini Jayanti (Stemka), Pelok Sutrisno (Teater Gapit) dan Agus Kencrot.

Hasmi yang dikenal berkepribadian hangat, humoris dan baik hati juga pernah aktif di teater. Dia pernah bergabung dengan Teater Stemka, Teater Gandrik dan lainnya. Biasanya dia menjadi aktor.

Main film, teater dan menulis skenario merupakan aktivitas lain dari Hasmi. Posisioning dia tetap sebagai kreator komik. Dia telah menunjukkan dedikasi, integritas, komitmen,  kemampuan dan reputasinya.  Atas jasa-jasanya itu,  pada tahun 2015 Hasmi pernah mendapat penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta.   

Hasmi meninggal dunia pada 6 November 2016, pukul 12.30 di Yogyakarta. Dia sempat menjalani operasi usus dan dirawat selama 10 hari di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Pada tanggal 7 November 2017, ratusan orang --para seniman lintas bidang, budayawan, pelaku media massa, sanak, saudara dan handai tolan-- mengantarkan jenazah "bapak Gundala" itu menuju Makam Seniman, Imogiri Bantul DIY.

Sebelum meninggal, Hasmi sempat menyampaikan harapannya pada para komikus, pengamat komik dan media untuk kembali mengembangkan dan menyebarluaskan komik di negeri ini. Dia tetap bercita-cita: komik Indonesia harus bangkit kembali. Harapan itu agaknya bisa menjadi kenyataan berkat peran Bumi Langit yang sejak tahun 2005 menerbitkan ulang seluruh serial komik Gudala Putra Petir, termasuk mewujudkannya dalam bentuk animasi dan film layar lebar.

Komikus tak pernah berhenti pada sebatas karyanya. Nama komikus selalu dikenang seiring dengan kekuatan nilai yang dikandung karyanya. Melalui reproduksi nilai, sebuah karya mampu melampau estetika dan menjadi penanda penting kebudayaan. Begitu pula Hasmi dengan karyanya. Komik ciptaanya mampu menerobos ruang dan waktu. 

Gundala terus hidup. Menemukan jalannya sendiri di jagat industri kontemporer. Ia bisa hadir kembali sebagai komik (remake), film animasi, film layar lebar atau apa saja.

Hasmi telah mewariskan Gundala sebagai salah satu ikon budaya Yogyakarta bahkan Indonesia. Sosok bercitra superhero itu telah memberi banyak inspirasi bagi publik. Hingga kini. Semua kontribusi berupa  karya dan nilai-nilai dari  Hasmi layak diapresiasi. Termasuk melalui pementasan teater yang dipersembahkan grup Kembang Adas pimpinan Cicit Kaswami,  28 November 2024 di Taman Budaya Yogyakarta.

(Indra Tranggono, esais dan praktisi budaya, tinggal di Bantul DIY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun