Ketika masih sehat dan jauh sebelum meninggal  Hasmi mengaku, masih sanggup melukis tokoh-tokoh komiknya termasuk Gundala. "Saya bisa melukis mereka luar kepala. Saking hapalnya..." ujarnya.
Ditanya soal honor membuat satu buku komik, Hasmi mengatakan uang  yang dia terima sangat tinggi, untuk ukuran tahun 1970-an. "Honor untuk satu komik bisa untuk membeli satu sepeda motor buatan Jepang, yang waktu itu harganya sekitar Rp 400 ribu," ujar Hasmi yang mengaku melukis komik karena mendapat inspirasi dari Wid NS, kawan karibnya yang juga pelukis komik.Â
Jika honornya itu disamakan dengan harga sepeda motor bikinan Jepang saat ini, maka nilainya mencapai Rp 16 juta. Tinggal kalikan saja dengan ratusan komik yang telah dibuat Hasmi.
Dengan penghasilan itu, Hasmi layak disebut orang kaya. Namun Hasmi tidak menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi, Â investasi atau usaha lain.Â
Hasmi mengaku, uangnya lebih banyak dipakai untuk untuk mencukupi kebutuhan hidup, membantu keluarga, ongkos pesrawungan sosial dan membiaya anak-anak asuh saya. Hasmi memang dikenal sangat menyayangi anak-anak. Beberapa anak tetangganya pun diangkat menjadi anak asuh.
Sikap sosialnya yang tinggi atau pilihannya menjadi pribadi yang solider, menjadikan Hasmi tidak sempat menabung uangnya. Hingga meninggal, dia tidak sempat membeli rumah. Dia pernah pindah-pindah rumah kontrakan. Dan, sebelum meninggal, dia bersama isteri dan dua anaknya tinggal di rumah milik orang tua isterinya. Dia memilih jalan hidup sederhana tapi bahagia.
Penulis Skenario
Pada tahuan 1980-an, masa kejayaan komik meredup alias surut. Faktor penyebabnya antara lain merebaknya industri televisi, film bioskop, dan membanjirnya komik asing (Amerika, Jepang). Atau perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang semakin jauh dari komik.Â
"Industri penerbitan buku komik benar-benar tepukul. Banyak penerbit komik, Â harus gulung tikar," ujar Hasmi, dalam sebuah percakapan dengan penulis. Â
Namun, Hasmi tetap melukis komik. Orientasinya tidak lagi penerbitan buku, melainkan media massa seperti majalah dan koran. Komik Hasmi pun hadir di beberapa media seperti majalah berbahasa  Djaka Lodhang  dan Panyebar Semangat , Harian Bernas Yogyakarta dan lainnya. Selain itu, Hasmi pun masih mengerjakan ilustrasi untuk penerbitan buku paket pelajaran. Dia mendapat "order" dari sebuah penerbit di Klaten, Jawa Tengah.
Tahun 1980, dia bersama komikus  Wid NS dipesan untuk membuat komik tentang kepahlawanan tokoh-tokoh Orde Baru: Merebut Kota Perjuangan yang diterbitkan Yayasan Sinar Asih Mataram (Jakarta) pada 1980. Selain itu, pada tahun 2000-an, dia bersama komikus lain (Santhi Sheba, Banuarli Ambardi, Koessoenarjono, Ajon, Sungging dan Dwi "Jink" Aspitono)  berhasil menerbitkan Antologi Komik Keris. Komik yang mengangkat budaya lokal Jawa itu diterbitkan Metha Studio.