Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Narasi Revolusi Mental Joko Widodo

24 Januari 2024   05:56 Diperbarui: 24 Januari 2024   21:27 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabuik Pariaman Naiak Pangkek (Koleksi Pribadi) 

Sebagai mahasiswa 1990-an, saya tentu turut menjadi saksi akan sejumlah peristiwa yang terjadi, termasuk langsung dengan mata kepala sendiri melihat orasi demi orasi di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebelum peristiwa 27 Juli 1996. Saya juga ikut melakukan aksi penolakan atas pembreidelan pers yang dilakukan semasa Orde Baru, pada malam hari, di Gedung MPR-DPR, ketika Menteri Penerangan Harmoko memberikan keterangan kepada parlemen. Budi Arie Setiadi (Ketua PDIP Projo) menjadi saksi atas kehadiran saya, bersama sejumlah kawan dari Universitas Indonesia lainnya.

Baiklah, memang ada yang keliru di masa Orde Baru. Tetapi sebagai penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tentu saya juga akui betapa Orde Baru sudah "berjasa" atas pendidikan saya. Sebagai seorang anak pensiunan pegawai negeri sipil dengan pangkat IIB, lalu ayah saya menjadi petani, tentulah jauh dari bayangan saya mampu kuliah di universitas sekaliber UI. Toh saya bisa masuk UI, sambil berjualan sate Padang di Glodok. Saya menamatkan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di era Orde Baru, suatu era yang di mata Joko Widodo sepenuhnya buruk, tidak ada yang baik.

Saya tidak tahu, apa yang dilakukan oleh Joko Widodo selama masa Orde Baru yang bagi saya minimal mampu membuat saya sekolah dari SD Inpres, SMP Standard (bukan negeri), SMP Negeri, SMA Negeri, hingga Perguruan Tinggi Negeri itu. Setahu saya, Joko Widodo juga menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Mada di masa Orde Baru, dari orang tua yang bekerja sebagai tukang kayu. Di masa Orde Baru itu juga Joko Widodo kecil sering memancing ikan di sungai, dekat rumah kontrakan orangtuanya. Minimal, itu gambaran yang saya dapat, ketika menonton sinetron Jokowi di SCTV.

Baik, Orde Baru adalah cerita buruk. Lalu, ketika Jokowi memberikan jawaban atas masalah-masalah "yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru" itu, muncullah istilah revolusi mental. Apa itu revolusi mental? Secara singkat, sebagaimana kutipan ketiga saya, yakni "konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963." Terus terang, saya belum menemukan, pada pidato mana Bung Karno menggunakan konsep itu, sekalipun banyak sekali istilah Trisakti muncul yang dikaitkan dengan Sukarno.

Tetapi, kalau benar angka tahunnya, berarti istilah itu sendiri sudah membentur kenyataan sejarah. Kedaulatan di bidang politik dan kemandirian di bidang ekonomi justru terjadi dalam arus deras kritik yang kemudian dicoba dibungkam di tahun-tahun itu. Apa yang dikenal sebagai "proyek-proyek mercusuar" juga terjadi, termasuk apa yang dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking dan beragam istilah lainnya. Konsep Trisakti tidak berada dalam ruang yang vakum, melainkan memiliki rona dan warna, ketika konsep itu lahir dari seorang Presiden RI yang sedang menjabat, termasuk dengan sejumlah "jabatan" lain, seperti Panglima Besar Revolusi.

Saya tentu tidak ingin terlalu jauh masuk ke persoalan ini. Hanya saja, Jokowi perlu diingatkan tentang dua sisi dalam satu mata uang yang sama, setika sejarah dipandang oleh seseorang. Pelajaran sejarah paling sederhana adalah memandang potret bersama yang ada di album keluarga. Apa yang dilakukan oleh yang memandang? Pastilah yang dicari potret sendiri di dalam sebuah acara sekolah atau reunian, misalnya. Potret itu tentu tidak bisa menggambarkan dengan persis apa yang terjadi, kecuali kita harus belajar sama sekolah sihir Harry Potter, dimana potret bisa bercerita dan bicara.

Satu hal lagi, sebelum uraian ini berakhir, darimana datangnya konsep "Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya" yang muncul dalam kutipan Trisaksi Bung Karno? Bukankah yang sering disebut hanya berkepribadian di bidang budaya atau katakanlah berkepribadian secara kebudayaan? Tidak ada sama sekali kata "sosial-budaya" dalam versi Trisakti yang asli, minimal yang saya bisa lacak di internet. Nah, Trisakti versi siapakah yang memasukkan unsur berkepribadian secara sosial-budaya itu? Mungkin hanya Tim Jokowi atau Jokowi sendiri yang bisa menjawabnya.

Revolusi Mental dalam Birokrasi

Dalam Rencana Strategis Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, gagasan revolusi mental masuk sebagai salah satunya. Tidak mudah untuk menubuhkan gagasan ini di dalam pemerintahan yang sudah dan sedang berjalan. Tetapi, paling tidak, usaha itu perlu terus dilakukan, guna memberikan kesempatan kepada setiap pemerintahan (baru) menjalankan agenda-agendanya. Gagasan revolusi mental paling tidak bakal mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019, sebagian bagian dari mandat resmi yang sudah diberikan oleh publik.

Masalahnya, banyak pertanyaan yang diajukan tentang apa yang disebut sebagai revolusi mental itu. Bahkan, sebagian pihak mulai menuduh bahwa revolusi mental hanyalah jargon politik yang berulang, sebagaimana hadir dalam setiap pemerintahan dan rezim. Apabila gagasan ini tidak dielaborasi dengan baik, revolusi mental tinggal sebagai frase kampanye yang tidak memiliki dasar pijakan. Padahal, gagasan ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam fase pemerintahan Ir Joko Widodo dan Drs Jusuf Kalla.

Paling tidak, dalam kaitannya dengan birokrasi, terdapat catatan-catatan sebagai berikut, terkait dengan revolusi mental.
Pertama, reformasi yang dilaksanakan di Indonesia baru sebatas perombakan yang bersifat institusional, belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Sehingga, perlu dilakukan perombakan terhadap manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun