Supaya apa yang saya tulis ini menjadi bagian dari upaya melihat sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari kondisi hari ini, saya akan mengutip tiga kalimat dari tulisan Joko Widodo tersebut. Mudah-mudahan apa yang saya tulis dengan cepat ini adalah bagian dari proses yang dinamakan oleh Joko Widodo sebagai revolusi mental itu, minimal dari sisi semangat intelektual yang ada dalam tulisan itu. Joko Widodo layak diacungi jempol, karena memiliki keinginan yang besar masuk ke ranah perdebatan intelektual yang antara lain diwakili oleh halaman 6 Harian Kompas selama puluhan tahun.
Pertama, "Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis," tulis Joko Widodo.
Kedua, "Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang," tulis Joko Widodo.
Ketiga, "Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, "Indonesia yang berdaulat secara politik", "Indonesia yang mandiri secara ekonomi", dan "Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya"," tulis Joko Widodo.
Campur Baur
Terus terang, saya agak kebingungan membaca artikel ini. Bukan saja struktur penulisannya yang tampak terburu-buru, hanya sekadar menjawab pertanyaan publik tentang konsep revolusi mental Joko Widodo, melainkan juga cara artikel ini menebarkan jerat-jerat persepsi politik yang subjektif. Kutipan pertama, misalnya, mencampur-baurkan antara tradisi dengan budaya. Mana yang tradisi, mana yang budaya, tidak begitu jelas. Lalu, stigma langsung diberikan bahwa seluruh "tradisi atau budaya" yang negatif itu muncul "di alam represif Orde Baru".
Sepertinya penulisnya lupa bahwa "alam represif" itu justru juga muncul pada era Bung Karno, bahkan sebelum pidato Trisakti dikemukakan. Contoh kecil, setelah muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Mohammad Hatta menulis risalah dengan judul Demokrasi Kita pada tahun 1960. Risalah itu ditulis di majalah Panji Masyarakat. Apa yang terjadi? Risalah itu dilarang beredar dan baru kemudian bisa ditemukan kembali pada masa Orde Baru. Contoh yang lebih besar adalah penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional, termasuk Sutan Sjahrir (meninggal di penjara), M Natsir, dan banyak lagi yang lainnya.
Lalu, apa yang disebut sebagai "tradisi atau budaya" yang bersifat negatif itu, sudah lama juga disebut oleh Mohammad Hatta. Siapapun sejarawan pasti paham bahwa Hattalah yang menggunakan istilah "korupsi telah menjadi budaya" yang menjadi polemik. Hatta bahkan sempat menjadi panitia negara dalam pemberantasan korupsi di awal Orde Baru.
Belum lagi sifat negatif manusia Indonesia, sudah pernah disampaikan oleh Mochtar Lubis (yang juga dipenjarakan di era Bung Karno) pada tahun 1977 dengan menyebut enam ciri manusia Indonesia, yakni (1) hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik , dan (6) berwatak lemah.
Jadi, ketika Joko Widodo menyampaikan betapa "praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang", saya lantas bertanya: dimana letak Angkatan 1966 dalam peta sejarah bangsa Indonesia? Bukankah Angkatan 66 yang gegap gempita itu -- walau diketahui juga merupakan bagian dari kerjasama dengan elemen-elemen dalam tubuh Angkatan darat -- yang melancarkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang jelas-jelas membongkar keburukan-keburukan era sebelumnya?
Baiklah, tidak perlu menggunakan Angkatan 66 -- yang sebagian di antara mereka bersuara juga untuk berada di belakang pencapresan Joko Widodo --, melainkan Sukarno sendiri. Bukankah dengan Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 sudah menunjukkan bahwa ada yang salah, banyak yang keliru, dari "praktik-praktik yang buruk yang sudah lama dibiarkan tumbuh kembang" itu? Praktik demokrasi liberal dengan sistem parlementer berdasarkan UUD Sementara 1950 ternyata menjauhkan cita-cita ideal Proklamasi 1945. Sukarno kemudian mengambil alih, dengan cara membubarkan Dewan Konstituante, pembentukan MPR Sementara dan Dewan Perwakilan Agung Sementara.
Trisakti Siapa?
Saya mungkin bisa memahami betapa berangnya Joko Widodo kepada Orde Baru, sehingga dengan mudah memberikan seluruh penilaian negatif sebagai "tradisi atau budaya" Orde Baru itu.