Generasi yang juga menyimak diskusi-diskusi kecil-kecilan dengan generasi lain yang sebagian sudah bisa keluar dari penjara Orde Lama dan Orde Baru, seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, WS Rendra, Ali Sadikin, Kemal Idris, dan nama-nama lainnya.
Apabila Bapak bisa menangkap alam pemikiran generasi yang berakhir dalam gerakan Mei 1998 ini, Bapak bisa tahu bahwa jauh lebih banyak yang menyingkir ke dalam kehidupan profesional, birokrasi, kampus dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk diplomat, bankir, polisi, dokter, guru, petani, pengusaha dan militer, ketimbang hadir di publik sebagai tokoh politik dan pemerintahan.
Generasi inilah yang sekarang menjadi pucuk-pucuk pimpinan di tempat mereka masing-masing, mewarnai masyarakat, termasuk kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas.
Merekalah yang sedang membentuk masa depan di tengah-tengah kehidupan, pada usia emas, usia kenabian, 40-an tahun. Mereka bekerja dalam lingkungan sendiri, kembali ke kehidupan akhir 80an dan era 90-an: apatis dan apolitis dengan yang namanya pergerakan kaum elite dan pemimpin yang demagog.
Terus terang, Pak JOKOWI, nasionalisme kita lahir dari teks yang ditulis di koran-koran. Benedict R.OG Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism.
Apa artinya?
Kalau mau melihat siapa yang disebut sebagai kaum nasionalis, tinggal membaca nama mereka di koran-koran, dalam bahasa sederhana. Dengan teknologi dan manajemen pencitraan dan konsultan yang bertumbuhan dewasa ini, printed nationalism sudah berubah menjadi printed Leviathan Thomas Hobbes dalam wujud penyelenggaraan negara.
Negara telah berubah menjadi ajang pencitraan raksasa yang memakan otentisitas, idealitas dan sportivitas warga negara.
Saya tahu, Bapak diserang tiap hari dengan koran, majalah, media online, social media, radio dan televisi yang dimiliki oleh lawan-lawan politik Bapak, sebagaimana juga Bapak dibela dengan metode yang sama.
Tetapi, Bapak akan gagal menangkap jiwa generasi yang saya sebut tadi, apabila Bapak mengandalkan pemberitaan untuk mencari nama mereka, apalagi dengan hanya mengandalkan kurir pengantar surat lamaran menjadi menteri.
Mereka bukanlah bagian dari orang-orang yang mau menaruh nama di kancah pencitraan, apalagi demi ambisi politik atau dendam pribadi. Mereka menulis puluhan surat lamaran setelah lulus, tetapi jarang yang berbalas akibat multi-krisis yang dihadapi Indonesia di akhir abad 20.