Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pak Joko Widodo (JOKOWI) yang saya hormati
Izinkan saya mengirimkan surat terbuka ini kepada Bapak. Perlu saya sampaikan, walau menjadi bagian dari Dewan Pakar Jenggala Center dan Poros Indonesia Muda, saya jarang bertemu Bapak. Kita hanya pernah bertemu dalam empat kali kesempatan, yakni (1) dalam acara Deklarasi Damai yang diadakan Komisi Pemilihan Uumum di Hotel Bidakara, (2) di Media Center Jokowi-Jusuf Kalla, (3) di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia di pelabuhan Sunda Kelapa, dan (4) pada pembubaran Tim Jenggala Center.
Saya tidak merasa berkepentingan untuk berada di dekat Bapak, mengingat luasnya area kampanye dan kesibukan Bapak.
Usai Pemilihan Presiden (Pilpres), saya juga tidak merasa harus mendekati Bapak. Bahkan saya mengkritik keras rencana pembentukan Tim Transisi. Argumen-argumen saya sudah jelas, yakni Tim Transisi itu tidak dikenal dalam sistem suksesi yang ada di Indonesia yang mengenal fixed term (siklus lima tahunan, dalam bahasa Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas, tempat saya menjadi Lulusan Terbaik Nomor 17 pada tahun 1995 ). Saya justru melihat ada potensi kebuntuan politik, akibat jarak yang dimunculkan ke pelbagai pihak dengan keberadaan Tim Super itu.
Walau akhirnya Bapak memutuskan meresmikan tim itu, tentu Bapak sudah memiliki parameter tersendiri untuk menilai sukses tidaknya. Saya justru melihat sebaliknya, akibat kesibukan Bapak dengan Tim Transisi itu, kerja-kerja politik pasca Pilpres menjadi terabaikan yang berbuah pada sentimen yang diputar tentang kekalahan demi kekalahan yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, dalam perebutan pimpinan dan alat kelengkapan.
Karena memang tidak memiliki jalur khusus, mengingat waktu yang makin terbatas, yakni tinggal sepuluh hari, saya memberanikan diri untuk menulis surat terbuka ini. Barangkali surat ini masih berguna suatu hari nanti sebagai catatan sejarah saja.
Â
Pak Joko Widodo (JOKOWI) yang saya muliakan
Saya sudah membaca sejumlah nama calon menteri dalam "Kabinet Trisakti" Joko Widodo (Jokowi) yang muncul ke permukaan. Siapapun nama itu tidaklah penting. Begitupula latar belakang politik mereka. Hanya saja, sebagai bagian dari bentuk kepedulian, saya perlu sampaikan tentang hal-hal sebagai berikut.
Â
PERTAMA, sebutan profesional, baik murni ataupun partai politik, sebaiknya dihindari.
Dalam literatur manapun, menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan bagi kalangan profesional atau birokrasi murni. Menteri bisa dipecat kapan saja oleh presiden. Sebagai pembantu presiden, kedudukan menteri tidaklah lebih tinggi dari asisten rumah tangga.
Apalagi kalau sampai sebutan sebagai profesional atau politisi itu salah dalam penempatan, akibat tidak mengetahui dengan detil riwayat seseorang. Sebab, tidak semua orang berani menyantumkan seluruh riwayat hidupnya untuk kepentingan setingkat menteri.
Bangsa ini memang kekurangan lembaga pencatat kehidupan seseorang, terutama sedikitnya penulis biografi ataupun otobiografi yang terverifikasi.
Â
KEDUA, dalam situasi pancaroba politik domestik, regional dan internasional sekarang, menteri haruslah memiliki kesadaran yang sama dan bahkan dididik dengan cara berpikir yang mirip.
Kabinet yang berisi menteri dari bermacam latar belakang sah-sah saja, asalkan berasal dari generasi yang memiliki impian-impian dan tujuan-tujuan yang sudah tertancap dalam Visi Misi Jokowi-JK.
Bukankah banyak mesin birokrasi di belakang mereka?
Kalau perlu, mereka berasal dari jaringan perkawanan yang sama dan lama, sehingga masing-masing mengetahui sifat, karakter, pemikiran, bahkan kekuatan dan -- terutama -- kelemahan menteri lain. Sudah bukan zamannya lagi seorang menteri hanya merasa bertanggungjawab kepada presiden seorang, sementara abai mengoreksi potensi kesalahan yang dilakukan rekannya yang lain.
Â
KETIGA, menteri tidak lahir dari kisah Pilpres yang singkat.
Jadi tidak ada yang disebut sebagai politik balas jasa. Alangkah celakanya bila seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan teruji dalam masa yang panjang, tiba-tiba dikalahkan oleh calon-calon menteri titipan hanya karena arus kepemilikan kas kampanye.
Negara ini sudah terlalu dicoreng oleh kepentingan-kepentingan titipan semacam itu, sehingga berbuah dengan berhumbalangnya para menteri kabinet sebelumnya ke dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI atau Kejaksaan Agung RI.
Saya merasa, Bapak perlu memikirkan soal ini dengan sangat tenang. Letak keberhasilan Bapak bukan hanya mampu melewati periode kepemimpinan Bapak selama lima tahun, melainkan juga membawa seluruh armada yang Bapak pimpin selamat sampai di tujuan.
Â
KEEMPAT, apabila Bapak memang menginginkan satu kabinet kerja yang solid, militan dan tanpa berharap berbagai sematan Bintang Tanda Jasa di dadanya, sebaiknya sejak awal bapak melibatkan kalangan terdekat dari orang tersebut.
Rumah masa kecil dan keluarga sang calon menteri tentulah yang perlu Bapak lihat dan injak.
Bapak perlu membangun empati sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Empati itu dimulai dari tingkat yang rendah, yakni dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga. Apalagi dengan mudah, Bapak bisa langsung menampung keluh-kesah siapapun, termasuk dari keluarga atau tetangga calon orang kepercayaan Bapak.
Dengan relawan yang setia di sekeliling Bapak, tentulah dengan mudah bisa menditeksi keberadaan orang-orang yang akan menjadi kepercayaan Bapak itu.
Terus terang, saya tidak percaya dengan pelbagai sebutan nama kampus luar dan dalam negeri yang tercantum di dalam kurikulum seseorang. Ketidak-percayaan saya muncul akibat banyaknya orang-orang bergelar akademik yang pada gilirannya menjadi pasien lembaga-lembaga penegak hukum.
KELIMA, siapapun yang Bapak pilih, tidak akan diingat generasi nanti.
Ini adalah era pemerintahan Joko Widodo. Sudah Bapak ketahui betapa anak-anak sekolah sekarang sama sekali tidak hafal nama menteri. Jangankan anak-anak sekolah, saya sendiri juga tidak hafal nama-nama menteri yang ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua, apalah lagi yang Jilid Satu lima tahun yang lalu.
Yang orang akan ingat adalah nama Bapak.Â
Yang orang juga akan lupakan adalah nama Bapak, apabila kurang berhasil melakukan perbaikan, jangankan dulu perubahan dan lompatan besar yang spektakuler.
Nama-nama menteri akan hilang dalam satu generasi ke depan, sebagaimana generasi hari ini tak ingat lagi nama-nama menteri generasi lalu.
Â
Pak Joko Widodo (Jokowi) yang jadi harapan rakyat pemilih
Bagian terpenting dari surat saya ada di sini: saya berharap, Bapak mewujudkan mimpi satu generasi tentang Indonesia masa depan. Satu generasi yang rata-rata berusia 40 tahun, lahir dari pergerakan pemikiran dan aktivisme akhir tahun 1980-an dan era 1990-an.
Inilah generasi bunga-berbunga yang tumbuh dari kelebihan gizi pembangunan era Orde Baru, tetapi terjepit dalam pembatasan-pembatasan secara intelektual, sosial dan politik.
Generasi yang sebetulnya apatis dan apolitis, tetapi terpaksa ikut dalam aktivisme kampus dan luar kampus untuk membuka pintu demokrasi yang tertutup rapat dan dijaga ormas pemuda berloreng, hansip, polisi dan tentara.
Generasi yang juga menikmati beragam gelontoran program kampus guna disiapkan sebagai agen-agen pembangunan, tetapi dilarang membaca buku-buku kritis dari kiri sampai ke kanan.
Generasi yang sudah mulai berpikir tentang Tinggal Landas, terpukau dengan sejumlah program rekayasa industri dan teknologi, serta dididik langsung oleh sejumlah tokoh kritis yang mayoritas sudah tiada.
Generasi yang juga menyimak diskusi-diskusi kecil-kecilan dengan generasi lain yang sebagian sudah bisa keluar dari penjara Orde Lama dan Orde Baru, seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, WS Rendra, Ali Sadikin, Kemal Idris, dan nama-nama lainnya.
Apabila Bapak bisa menangkap alam pemikiran generasi yang berakhir dalam gerakan Mei 1998 ini, Bapak bisa tahu bahwa jauh lebih banyak yang menyingkir ke dalam kehidupan profesional, birokrasi, kampus dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk diplomat, bankir, polisi, dokter, guru, petani, pengusaha dan militer, ketimbang hadir di publik sebagai tokoh politik dan pemerintahan.
Generasi inilah yang sekarang menjadi pucuk-pucuk pimpinan di tempat mereka masing-masing, mewarnai masyarakat, termasuk kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas.
Merekalah yang sedang membentuk masa depan di tengah-tengah kehidupan, pada usia emas, usia kenabian, 40-an tahun. Mereka bekerja dalam lingkungan sendiri, kembali ke kehidupan akhir 80an dan era 90-an: apatis dan apolitis dengan yang namanya pergerakan kaum elite dan pemimpin yang demagog.
Terus terang, Pak JOKOWI, nasionalisme kita lahir dari teks yang ditulis di koran-koran. Benedict R.OG Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism.
Apa artinya?
Kalau mau melihat siapa yang disebut sebagai kaum nasionalis, tinggal membaca nama mereka di koran-koran, dalam bahasa sederhana. Dengan teknologi dan manajemen pencitraan dan konsultan yang bertumbuhan dewasa ini, printed nationalism sudah berubah menjadi printed Leviathan Thomas Hobbes dalam wujud penyelenggaraan negara.
Negara telah berubah menjadi ajang pencitraan raksasa yang memakan otentisitas, idealitas dan sportivitas warga negara.
Saya tahu, Bapak diserang tiap hari dengan koran, majalah, media online, social media, radio dan televisi yang dimiliki oleh lawan-lawan politik Bapak, sebagaimana juga Bapak dibela dengan metode yang sama.
Tetapi, Bapak akan gagal menangkap jiwa generasi yang saya sebut tadi, apabila Bapak mengandalkan pemberitaan untuk mencari nama mereka, apalagi dengan hanya mengandalkan kurir pengantar surat lamaran menjadi menteri.
Mereka bukanlah bagian dari orang-orang yang mau menaruh nama di kancah pencitraan, apalagi demi ambisi politik atau dendam pribadi. Mereka menulis puluhan surat lamaran setelah lulus, tetapi jarang yang berbalas akibat multi-krisis yang dihadapi Indonesia di akhir abad 20.
Tetapi, sebagai generasi berusia 40-an tahun, mereka ada di mana-mana secara mandiri dan otodidak dalam posisi yang tidak memerlukan uluran tangan orang lain lagi, hanya demi menghidupi keluarga masing-masing.
Mereka ada dalam struktur dan kultur masyarakat itu sendiri dalam pelbagai ragam profesi yang mulai mapan.
Terus terang, banyak nama lama yang terus muncul dan dimunculkan untuk ada di sekitar Bapak, bahkan ketika yang melahirkan konsep Trisakti mereka tumbangkan dengan propaganda gerakan Angkatan 1966.
Mereka ingin terus ada di lapisan atas, membentuk kader-kader biologis dan ideologis, agar terus ada dan berkuasa. Nama-nama yang dulu kami hadapi dalam gerakan 1990-an, terus muncul lagi dengan berbagai dandanan, titel ataupun gelar akademis.
Bagaimana bisa energi murni pembaharuan dan perubahan bisa tumbuh subur, apabila fisik yang menggerakkannya sama dan saling bertolak-belakang?
Pak Joko Widodo (Widodo) yang menjadi penerima mandat rakyat
Kami sudah melihat bagaimana tantangan yang ada di depan Bapak dan kelompok mana saja yang menggerakkan. Baik koalisi ataupun aliansi itu, dengan mudah bisa dibaca lewat perjalanan bangsa ini sejak patahan sejarah Mei 1998, atau malah akar umbi Rezim Orde Baru.Â
Konsolidasi yang mereka lakukan sudah sedemikian rupa, sehingga roda sejarah bisa dibalikkan kembali.
Dalam teori transisi menuju konsolidasi demokrasi, tidak sedikit negara yang jatuh lagi ke tangan sekelompok orang yang justru menjadi penikmat rezim otoritarian sebelumnya. Sebutan zaman ini adalah Sengkuni dalam kisah yang lebih lama lagi dalam kitab berabad lampau.
Mari baca kembali buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict yang ditulis Jack Snyder. Dari buku itu kita tahu, bahasa-bahasa nasionalisme adalah opium yang digerakkan dengan mesin propaganda moderen untuk meraih simpati massa oleh para penikmat rezim masa lalu itu.
Siapa mereka?
Pak JOKOWI bisa baca ciri-ciri mereka dalam buku Jack Snyder itu. Sudah ada edisi berbahasa Indonesianya, Pak!
Kalau orang yang tidak pernah atau jarang membaca buku, tentu bisa dengan mudah diselewengkan opininya. Sayangnya, saya sudah banyak membaca buku-buku sejenis ketika delapan tahun menjadi peneliti bidang politik dan perubahan sosial, dengan latar belakang sebagai sejarawan. Karena ada di lapangan dalam pergerakan mahasiswa 1990-an, tentu juga sudah sedikit mengerti pelbagai tali-temali hubungan yang sempat memencar, berdiaspora, lalu kembali hidup di kolam yang sama dengan warna teratai yang lebih indah seakan merekalah simbol nasionalisme negeri ini.
Apa urusan kami dengan itu semua, Pak?
Lautan massa aksi sejak akhir 1980-an, 1990-an sampai Mei 1998 tidak sedang bertarung demi kekuatan-kekuatan elite politik.
Generasi kami adalah generasi yang -- sekali lagi -- hanya ingin membaca buku-buku lebih tebal, menikmati kebebasan berpikir dan berpendapat, tidak takut bertemu dengan tentara di lapangan, bermimpi tentang era Tinggal Landas -- bukan tinggal di landasan -- sebagai salah satu negara pemimpin baru di kawasan Asia.
Generasi yang sedang menikmati revolusi Tripple T: Technology, Telecommunication and Transportation.
Generasi yang sedang diharu biru oleh globalisasi dan buku-buku karangan futurolog seperti Alvin Toffler, John Naisbitt dan bahkan Ziauddin Sardar dan penulis-penulis lain dari lintas agama.
Generasi yang tak peduli dengan benturan peradaban dan berdebat tentang pikiran-pikiran Samuel P Huntington, karena tahu Indonesia adalah negara yang cinta damai dengan agama-agama besar dunia yang hidup bertetangga sejak kecil.
Saya tidak bisa mengakses Bapak, karena saya tahu kesibukan Bapak.
Dan bisa Bapak bayangkan, orang yang dianggap sebagai bagian dari tim Bapak saja bisa seperti saya, apalagi dengan generasi berusia 40-an tahun yang saya sebut tadi yang tentu lebih sulit lagi?
Mereka yang juga menganggap saya sebagai orang politik, orangnya si A, orangnya si B, jago bicara, pintar bohong, tetapi tidak melakukan apa-apa di tengah kondisi bangsa yang kian terpuruk.
Bapak tahu, dari generasi apatis dan apolitis 1990an itulah saya dilahirkan dan menjadi orang asing ketika benar-benar terjun ke politik praktis.
Apabila Bapak mampu mengambil simpul-simpul dari generasi itu, bisa memintalnya, Bapak tinggal menyeret satu arus generasi yang sudah siap pakai. Mereka tentu tahu berapa jumlahnya di masing-masing tempat dan profesi.
Bapak tinggal bertanya:
"Berapa jumlah kalian di kepolisian?"Â
"Berapa jumlah kalian di perbankan?"Â
"Berapa jumlah kalian di media massa?"Â
"Berapa jumlah kalian di luar negeri?"Â
"Berapa?"
Mereka akan tunjukkan teman-teman mereka, mereka akan membuka selubung baru Indonesia, lalu mereka juga yang bisa memberi satu tapisan buat Bapak: mana yang dedak, mana yang butiran padi.
Â
Bapak Joko Widodo (Jokowi) yang saya banggakan
Surat ini harus saya akhiri, karena sebentar lagi pagi datang. Semalam saya sudah melakukan ibadah personal, setelah terbangun oleh anak saya yang tiba-tiba sakit amandel.
Saya ternyata tidak bisa tidur lagi dan memutuskan menulis surat terbuka ini. Tapi bukan berarti surat ini tiba-tiba. Ia lahir dari perjalanan saya selama beberapa pekan ini, bertemu dengan kawan segenerasi yang berada di lingkungan mereka masing-masing.
Surat ini juga dipicu oleh kematian mendadak kawan saya, Syamsul Hadi PhD. Dia lulusan terbaik Hosei University, Jepang. Dia pergi ke Jepang tanpa bisa berbahasa Jepang, lalu mencari kampus tanpa ada seorangpun yang mau memberinya rekomendasi, bahkan dari kampusnya sendiri, Universitas Indonesia. Orang yang dikecewakan oleh sistem di dalam negeri, tetapi bisa meraih sukses secara mandiri di negara bekas penjajah. Dia menemui saya usai kembali dari Jepang dan bercerita tentang banyak hal, baik riwayat hidupnya, ataupun pikiran-pikirannya tentang bangsa dan negara ini.
Tepat setelah pemilihan pimpinan DPR RI, dia meninggal dunia, mendadak, di kediamannya di Kukusan, Depok. Dia dimakamkan di kampungnya, Tasikmalaya. Di Kukusan itu juga dia kost sejak mahasiswa.
Padahal, dia sehat-sehat saja ketika muncul sebagai saksi ahli dalam sengketa Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan di Mahkamah Konstitusi belum seminggu. Saya merasa ada yang hendak ia sampaikan, berdasarkan apa yang kami diskusikan sejak mahasiswa. Dan saya tahu, ia memberikan warning yang mungkin bisa dikenali dari pesan-pesan terakhirnya kepada orang-orang terdekatnya.
Kenapa saya sebut nama Syamsul Hadi PhD, Pak?
Karena dia satu dari generasi 1990an itu. Ia memilih jalan sunyi, kembali ke dunia kampus, sebagaimana juga banyak dari jenderal-jenderal lapangan aktivis 98 lainnya.Â
Generasi yang merasa sudah menuntaskan kewajiban politiknya, hanya dengan bergerak di lapangan dalam waktu singkat, lalu kembali ke kehidupan biasa yang apatis dan apolitis, sekalipun mereka adalah dosen, peneliti, bankir, pekerja sosial, bahkan mungkin penulis naskah iklan di perusahaan-perusahaan multinasional.
Saya juga perlu sebut satu nama sahabat lagi, seorang aktivis mahasiswa Semanggi I dan Semanggi II. Dia pemikir ekonomi yang hebat di era mahasiswa.
Namanya Mohammad Nasir yang kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Saya bertemu tidak sengaja ketika ia turun dari angkot, sedangkan saya sudah menaiki mobil. Ia terlihat kusam dan kusut. Ternyata Ia bekerja menjadi seorang buruh, tetapi tetap dengan mata menyala.
Apa yang terjadi dengannya?
Jari-jari tangannya ternyata sudah hilang. Jari-jari yang bisa membangun bangsa ini terguyur siraman bensin dan dimakan api, dari bom molotov yang dipegangnya dalam Tragedi Semanggi itu.
Nasir tidak hanya gagal masuk kawasan Segitiga Emas (Kuningan, Thamrin dan Sudirman), sebagaimana cita-cita alumni FEUI lainnya. Nasir yang cacat tangan itu jatuh ke dalam kelompok yang dibelanya dalam setiap diskusi: kaum miskin perkotaan dan kelompok masyarakat marginal.
Dua nama sahabat di dalam tumpukan catatan harian saya sudah cukup menjadi wakil generasi berusia 40-an tahun atau lebih muda. Mereka yang hilang digerus roda perubahan yang sekarang kian sulit dimengerti. Dua orang yang memiliki cita-cita besar akan ketangguhan negeri, kini digantikan oleh parade unjuk kuasa kalangan yang itu-itu saja di atas belantara kebodohan dan kemiskinan. Parade yang tak mengenal santun dan bahkan miskin akan ilmu pengetahuan.
Sekali lagi, warnai kabinet Bapak dengan generasi ini, bukan nama-nama yang Bapak anggap ada lewat printed leaders yang sudah tertinggal jauh di abad lampau itu. Generasi yang usianya tidak terlalu jauh dengan Bapak, masih bisa berkomunikasi dengan gaya guyon.
Saya ingat, Pak, salah satu keberhasilan Gerald Schroeder di Jerman dalam mengubah negaranya adalah dengan memanfaatkan tenaga dan pikiran Flower Power Generation 1969 di negaranya. Mereka bisa duduk semeja, lalu berkata:
"Baik, kita tidak perlu banyak diskusi lagi. Mimpi kita sama. Pengalaman kita sama. Mari kita ubah negara ini. Kita masing-masing tahu, apa yang kita akan kerjakan. Kalau ada yang sulit untuk diputuskan, baru kita rapat lagi sambil mendengarkan musik ketika kita di jalanan dulu."
Ataukah kami akan kembali ke jalanan lagi dengan nyanyian Gugur Bunga, Pak, sebagai the lost generation?
Banyak maaf, Pak Jokowi.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 09 Oktober 2014, bertepatan dengan habisnya masa bakti Kepengurusan DPP Partai Golkar yang sesuai Anggaran Dasar hasil Munas Riau 04-08 Oktober 2009.
Salam hormat,
Indra Jaya Piliang, Ketua Badan Pendiri Sang Gerilya Institute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H