Saya tidak tahu. Yang saya tahu, 88% etnis Minang memilih pasangan Anies - Sandi, berdasarkan data exit poll. Etnis yang terbanyak "mengalangkan leher" kepada pasangan ini.Â
Etnis yang paling egaliter, lalu -- ajaib -- tiba-tiba solid dalam aroma Pilgub DKI Jakarta. Etnis-etnis lain yang menghuni kampung Jakarta, tidak sesolid etnis Minang. Etnis yang juga langsung setia berbaris, termasuk dengan hanya menyisakan 9% pemilih untuk Jokowi-Ma'ruf di Sumatera Barat.Â
Ketika mendukung Anies - Sandi, saya bagai Pangeran Pariaman yang punya bejibun pasukan, baik di Jakarta, ataupun di belahan dunia lain. Berkebalikan, ketika mendukung Jokowi - Ma'ruf, saya seperti kue panggang: dibakar di atas kepala, dialiri api di bawah pantat.
Jokowi kini sedang menggerakkan kemandirian dan pemerataan ekonomi. Ibukotapun dipindahkan demi tujuan itu. Anies? Terlihat kesulitan menata pedagang kaki lima di Tanah Abang. Pedagang yang ia kenali dengan baik sebagai pemilih ideologis. Birokrasi bisa dikendalikan Anies.Â
Infrastruktur bisa dikerjakan pihak swasta. Tapi, bagaimana berdialog dan berhadapan dengan saudagar-saudagar, pedagang-pedagang, serta kelompok intelegensia Jakarta, dalam rumpun lingua franca yang dikenali ibu mereka?
Kenapa intelegensia? Karena begitu banyak kampus swasta yang didirikan oleh saudagar-saudagar Minang di Jakarta. Pressure group dan critical group apapun, selalu saja secara genetik berinduk ke Minang. Belum lagi generasi millenial yang begitu riuh. Gustika, cucu Bung Hatta, adalah satu di antaranya.
CSIS, tempat saya bekerja selama sembilan tahun, juga salah satu "Pusat Studi Bahasa Minang" dari jajaran pendiri, pengelola, hingga penelitinya.Â
Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi berasal dari heritage berkelas UNISCO, kota tambang Sawahlunto. Kota yang mempersembahkan Muhammad Yamin, Adinegoro, hingga Soedjatmoko kepada khazanah literasi bangsa Indonesia.
Arnes, menurut saya, bisa menjadi penyambung lidah pendidikan Anies ke tutur model saudagar dan pedagang kaki lima Minang di pasar-pasar ekonomi Jakarta yang satu pelita lagi bukan daerah khusus ibukota.Â
Arnes bisa bacaruik, sebagaimana juga Azis Syamsuddin dan HR Agung Laksono yang menempuh pendidikan menengah di Padang.Â
Aksara yang dipakai Rizal Ramli, Emil Salim, Hasyim Djalal, Arbi Sanit, hingga Generasi X seperti Muhammad Luthfi, Andrinof Chaniago, Muhammad Chatib Basri, dan Dino Patti Djalal, ketika kesal.
Tentu, bukan Minang dalam artian kelompok homogen lagi. Minang yang sudah mengalami akulturasi, kosmopolitanisasi, hingga diaspora, seperti Alcandra Tahar Piliang. Minang yang beripar-besan, berurang-sumando, dengan banyak etnis lain. Minang, mungkin hanya pintu masuk saja. Sementara di dunia bisnis yang paling riil, begitu juga perkembangan baru ke depan, terdapat China dan India sebagai kekuatan kolaboratif.