Peran momentum ini kadang juga tercipta karena terjadinya kehamilan di luar nikah, atau diciptakan lewat dijodohkan orang tua, ditunjuk oleh sesepuh, kyai atau pendeta yang diamini oleh orang tua, atau Aji mumpung mumpung dekat dengan cewek yang kira-kira bisa menambal kehancuran keluarga mereka dan ke alasan klasik materialistis. Akhirnya pernikahan harus terjadi begitu saja.
Momentum selanjutnya adalah ya sama-sama single, sudah cocok trus kemana lagi kalo gk nikah, kayaknya lebih baik nikah, dan melahirkan bayi-bayi yang tak kalah ampuhnya dengan orang tua mereka lalu terjadilah. Ubermensch kalo istilahnya Nietzsche
Logika Dan Komitmen
Selain beberapa faktor diatas secara subjektif saya selalu percaya bahwa menikah itu urusan logika, urusan nalar. Dimana hampir semua perhitungannya adalah yang masuk nalar manusia, termasuk dogma-dogma yang lintas ke urusan non logik. Tapi tetap saja semua dimasukkan dalam kaidah bernama logika. Menghitung banyak hal, sampai akhirnya keputusan finalnya ditabrak oleh momentum, sebuah keharusan  yang kadang membingungkan bagi mereka yang tidak siap.
Membingungkan merka yang sudah bertahun-tahun membangun, atau membingungkan mereka yang baru kenal tapi harus dijodohkan orang tua. Lalu logika + momentum akan menghasilkan kejadian kejadian yang menarik, entah baik atau semakin ambyar, disini daya dukung analisis seseorang untuk memastikan pasangan itu cocok tidak akan diuji, kemungkinan-kemungkinannya.
Selanjutnya kata ini, kata yang bagi banyak orang dijadikan alasan mendasar untuk melaju ke pernikahan. Meskipun disadari atau tidak disadari Cinta itu sangat tidak logis, cair, datang semau-maunya seperti edar planet tadi.
Cinta itu entitas yang mengkoneksikan semua mahkluk. Dalam kadar yang berbeda-beda, tapi cinta memang demikian adanya menemani manusia dalam ragam misteriNya. Cinta dalam makna luas seperti Matahari kepada rerumputan, tanah kepada kaki-kaki yang melangkah, atau  udara kepada manusia demikianlah sebenarnya cinta bermula pada sesuatu yang abadi, dan membersamai tanpa pretensi.
Jika disusun dari sini berarti Cinta hanya membutuhkan momentum, hulu ledak karena tidak bisa diukur dengan logika, sebenarnya intimasi muaranya dari sini. Dan semoga ketika kalian menikah menemukan yang sesuai dengan logika sekaligus dia yang mencintaimu. Karena dua term ini berbeda tempat, berbeda dimensi.
Sujiwo Tejo yang merepresentasikan Cinta dan Menikah sebagai dua terminologi yang berbeda.
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa."
Dan tak jarang mendengarkan cerita seorang yang menjelang pernikahannya justru ditabrak urusan soal memilih cinta atau menikah. Menikah karena mempertahankan sejarah tetapi bosan, atau memilih cinta yang membuat hidupnya lebih berwarna. Dan berbahagialah mereka yang menemukan cinta dan menikah dalam satu jasad pasangan kalian. Karena tak banyak yang demikian, kebanyakan hanya "bertahan" mempertahankan sejarah, anak, atau dominasi etis yang tabu ketika bercerai, mencoreng nama keluarga dan sebagainya.