Rentang usia, waktu, jaman, dan rutinitas harian ini juga memunculkan beragam masalah dan harapan dikemudian hari. Membuat setiap manusia berbeda dalam menentukan sikap atas berbagai masalah. Rentang ini pula yang membuat standar pernikahan begitu rupa, standar  kemudian menjadi tolak ukur, apakah akan menyatukan atau memisahkan mereka yang ingin bersama dalam pernikahan. Tapi realitas ini akan kabur dengan munculnya momentum.
Selanjutnya adalah kedewasaan berfikir, dalam usia yang samapun, saya tidak yakin manusia punya pertimbangan yang sama dalam menjawab segala manifestasi konflik. Jika jarak berfikirnya semakin jauh apalagi rentang tahunnya jua jauh terkadang menimbulkan pertengkaran yang tidak perlu. Cek-cok yang wasting time hanya karena beda pemahaman dan tak mau mengolah kesalahpahaman dalam duduk bersama mengolah nalar.
Di sini alangkah lebih baik jika manusia bertatap-tatap tidak hanya menjalani rutinitas yang "menyenangkan" lawan jenis, tapi juga lebih diisi oleh diskusi berbagai tema dalam menjawab masalah yang mungkin muncul setelah menikah, dan lebih baik memang jika diributkan di awal, daripada begitu nikah malah menghancurkan banyak sendi keluarga.
Silahkan dirapatkan rentang jarak yang justru akan membuncah dikemudian hari, jika rentang terlalu jauh jangan dipaksakan nanti malah membingungkan dikemudian hari. Karena aktualisasi dirimu akhirnya terhenti hanya karena 'mengiyakan' kekasih, kompromi-kompromi tidak menjadikan pribadi yang lebih hebat namun malah merendahkan kualitas dari hidup ya apa gunanya kalian ber-fusion dalam jalinan Pernikahan.
Singleness
Penting untuk terus berposisi single. Gampangnya single itu sendiri baik-baik saja dan berdua lebih baik. Kebanyakan dari pasangan selalu menempatkan posisi psikologis sebagai diri yang kesepian (alone), Â lalu memposisikan pasangan/orang lain sebagai objek yang harus mengerti dia dalam segala keadaan, naifnya lebih misterius lagi adalah wanita yang berposisi seperti ini kadang tidak pernah membicarakannya pada pasangan, menelan diam didalam hati tapi terus berposisi untuk dimengerti.
Lalu drama, atau tarik-menarik sengit terjadi karena hal-hal yang sepenuhnya tidak perlu. Ada pula yang mencoba mendominasi karena kekeringannya, menjadi patriakh-matriakh, gas-lighter, play victim dll yang justru memperumit sebuah hubungan.
Penting sih untuk tau siapa diri, potensi, kelebihan, kelemahan dan hal-hal yang ingin dicari oleh diri supaya ketika bertemu pasangan bisa saling berbicara apa keinginan dan saling support, tidak untuk saling menjatuhkan. Â Indikator ini yang harus dipenuhi untuk menjadi single jika tidak tau siapa diri lalu arah langkah juga akan bias. Tentang hal-hal yang inti saja, yang fundamental dari dalam diri, soal detail-detail pastinya akan berubah seiring bertambahnya data otak manusia.
Demikian pula semakin single akan berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan, kematangan bersikap dan berfikir subjek. Jika sudah siap, berarti kalian memang sudah siap membagi air, dan membasuh orang lain, membasuh pasangan dan keluargamu.
Momentum
Mau bagaimanapun Ajal, takdir, atau momentumlah yang akan memenangkan kehidupan termasuk pernikahan.
Sebuah pernikahan pasti akan terjadi pada momentum-momentum yang banyak orang  tunggu. Gampangnya seperti kita menunggu waktu misalnya, ada masa-masa dimana sudah dijudge oleh sosial dan tidak kuat. Akhirnya terpaksa menikah karena alasan klasik sudah diburu keluarga, kerabat atau malas nanggepi cap di masyarakat.  Meskipun secara kedewaasaan, finansial, kenyamanan, intelegensia belum memenuhi standar minimal.