Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikah dan Segala Kerumitannya

31 Juli 2020   10:54 Diperbarui: 1 Agustus 2020   10:59 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(tulisan ini pernah dimuat di Suluksurakartan.com tanggal 21 Januari 2019, kemudian diedit sebelum dipublish disini)

Apa yang lebih melegakan dari kebahagiaan. Mungkin cinta itu sendiri. Kita mendapati garis waktu yang terus berputar, lingkar edar planet yang mungkin mirip seperti relasi manusia. Ada masa-masa ketika kita dijauhkan kepada seseorang, ada kalanya ketika kita bertemu pada lingkar edar yang sangat dekat, gaya gravitasinya saling tarik menarik kemudian manusia menemukan kedekatan-kedekatan pada setiap perjumpaan-perjumpaan.

Manusia, jalma otentik dengan berbagai kemungkinan dan kecenderungan psikologis selalu menawarkan banyak hal untuk diamati. Akhir-akhir ini aku banyak menangkap kegelisahan menyoal pernikahan, kedirian, kemandirian dan kehancuran panggung rumah tangga.

Pada setiap peran dan usia yang dilakoni, kehidupan selalu merekam-rekam berbagai kecenderungan sebuah pernikahan. Ada yang menikah hanya karena geliat relasi kekuasaan, materialis, mengumpulkan -trah, atau serendah melancarkan (menglegalkan) nafsu. Meskipun ini  debat-able, akhir-akhir ini kita temui pula kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang sah. Pada kemungkinan lain banyak orang yang menikah karena ingin membuat segala sesuatunya lebih baik, memperbaiki kondisi finansial, memperbaiki potensial fisiologis tubuh anak-anak, dan bagi sedikit orang lainnya adalah penyempurnaan DNA. 

Orang jawa bilang bibit, bebet, bobot. Entah sejak kapan teori Jawa ini mulai berlaku yang jelas pada kenyataannya,  sangat sedikit orang tua, kerabat, atau pihak  yang menjadi wali pernikahan yang menyetujui pernikahan apa adanya. Tidak banyak.

Dalam sudut pandang yang subjektif, bukankah memang begitu tidak ada manusia yang tak punya 'standar minimal'. Soal apapun, seperti memilih makanan yang murah atau baju yang promo jika dilihat dari harga mungkin sangat murah. Tetapi pemilihan harus yang 'murah dan promo' ini kan sikap seorang subjek dalam melatar belakangi gaya hidup yang kemudian dijadikan standar mereka.

Sebuah penilaian akan sebuah keadaan yang berbanding lurus dengan data-data masa lalu sang subjek, hingga keputusan-keputusan masa kini sangat dipengaruhi oleh banyak hal di masa silam. Ulang-alik manusia nampaknya memang tidak akan bisa lepas utuh, karena tarik menarik relasi manusia memang soal masa silam, keputusan masa kini, perhitungan masa depan dan realitas akan beragam kemungkinan ketika harapan-harapan itu ingin dicapai.

Semua punya standar

Jalinan banyak hal yang masuk ke celah pikiran kemudian merasuk ke batin manusia, diolah, dan dipendarkan begitu saja di otak manusia. Semuanya nampak rumit namun kemudian menyimpulkan sesuatu. Sesuatu yang manusia menganggapnya sebagai sebuah standar. Standar ini mungkin berubah seiring terus berputarnya manusia yang seperti semesta.

Zaman, lingkungan, geliat sosial, geopolitik, dogma dari mimbar agama, informasi publik via media sosial, bacaan, rasan-rasan semua mempengaruhi perubahan data manusia. Yang outputnya tentu sudah pasti adalah keinginan atau visi dari sebuah perubahan paradigma, harapan juga tujuan dari sebuah keinginan.

Soal standar di dunia pernikahan seiring waktu berubah, Mainstreamnya manusia modern karena hegemoni jaman menggiringnya kepada arus besar kapitalisme, akhirnya meletakkan kemampuan finansial calon istri/suami berada di level puncak standar. Berbeda dengan beberapa abad sebelumnya yang masih menekankan loyalitas, bahkan perasaan diatas segalanya, terutama ketika era romantiisme melanda Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun