Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikah dan Segala Kerumitannya

31 Juli 2020   10:54 Diperbarui: 1 Agustus 2020   10:59 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saking kuatnya arus materialisme-kapitalisme ini membuat standar lain seperti kemampuan intelegensia, wawasan, sopan santun, kenyamanan, atau cinta itu sendiri kadang diabaikan. Jawabannya sangat mudah, di jaman ini rasionalitas kemudian jadi penentu, perhitungan logis dan hanya melibatkan akal menjadi juara, banyak orang yang gelisah karena pemenuhan kebutuhan, tentang hari-hari yang terus dipenuhi oleh tagihan. Atau bermuara dari hati yang telah luka, karena kemelaratan orang tuanya misalnya orang bisa menjadi sangat ambisius untuk kaya secara materi dan menstandarkan materi sebagai syarat kekasihnya. Hegemoni ini sangat kuat merasuk ke relung-relung kehidupan manusia.

Standar lainnya, beberapa orang kemudian bersimpuh pada standar immateri. Ada orang tua yang mau calon mantunya harus pinter agama, punya ilmu agama, berdarah keturunan kyai, ulama. Ukuran-ukuran lain yang tidak berwujud materi seperti punya sense of humor, music, art, politic dan banyak lainnya yang juga masuk sebagai pertimbangan.

Lantas bagaimana yang layak menjadi standar pernikahan, semua orang tentu bebas menyimpulkannya sesuai dengan kondisi diri masing -- masing. Tetapi yang harus digaris bawahi bahwa standar akan sangat mempengaruhi relasi antar pasangan, juga menimbulkan efek samping tertentu sesuai dengan standar, beragam resiko akan muncul sama seperti ketika manusia sudah memilih sebuah keputusan.

Aku  pribadi lebih setuju kepada Intimasi dari sebuah hubungan, karena sudah melihat banyak perceraian, cek-cok hebat serta dibarengi dengan keruntuhan keluarga hanya karena mereka tidak pada pondasi yang sama soal pernikahan, keseimbangan nya goyah. Banyak yang bilang pernikahan adalah kompromi, setidaknya saya tidak begitu setuju dengan pendapat itu, karena kompromi akhirnya berujung pada dominasi pada posisi siapa yang menang akan menang, sisi lainnya bertahan. Pada mereka yang seimbang secara psikologis bisa jadi bertahannya ini akan jadi sekam dalam rumah tangga yang sewaktu-waktu meledak, lalu meluluhlantakkan seluruh isi rumah. Harga yang dibayar sangat mahal kemudian kita menyusun keping demi keping rumah yang rusak.

Memang intimasi tidak datang begitu saja, bahkan kadang sangat moody tak semua pertemuan menghasilkan intimasi. Kunci yang terlihat tentu di komunikasi, kita mengobrol dengan banyak orang tidak semuanya cocok, dengan banyak lawan jenispun juga begitu tidak semuanya menenangkan, kadang malah risih dan sebagainya.

Dan mengejar hal-hal yang berumur lebih panjang nampaknya lebih menyenangkan, karena menikah bukan hanya soal seks dan punya uang saja bukan?

Luka

Orang tua kadang-kadang terlalu praktis, berfikir bahwa anak  hanyalah investasi masa depan, kadang mereka juga tak ikut andil banyak namun mengklaim investasi, menuntut harus "sukses" (mean menghasilkan banyak uang), tapi sebenarnya hanyalah luka dari masa lalu mereka. Mereka menstandarkan anak-anak pada ruang yang mereka telah kalah, tapi mereka gagal dalam berdamai dengan diri mereka sendiri, lalu luka-luka ini timbul begitu saja. 

Banyak orang yang kalah dengan hidup, masih keras kepala dengan menimpakan standar kegagalanya kepada keturunannya.

Luka pada akhirnya juga mempengaruhi standar "Calon menantu". Harapan-harapan seperti ditumpukkan begitu saja kepada calon mantu yang menurut mereka cocok, yang padahal belum tentu kriteria itu masuk pada sang subjek. Segala cara seperti ditempuh untuk melegakan haus mereka. Apapun macam bentuknya.

Bagi orang tua yang tak bergitu berambisi, biasanya mereka cukup dewasa memperhitungkan faktor psikologis anak-anaknya agar  lebih nyaman dalam pernikahan, tidak dituntut ini itu. Anak-anak yang saling mencintai tidak lagi terbebani luka-luka orang tua mereka. Mereka ini yang kemudian minimal bisa menyusun rumah tangga tanpa campur tangan hebat oleh mertua dan orang tua.

GAP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun