Hingga rokok habis terhisap, Beni mengintip ke dalam. Tatapnya tertuju pada jam besar yang terpasang di dinding gudang. Ia pun bergegas menuju mesin absen. Ia memang selalu terdepan saat absen pulang.Â
"Bang Beni!"Â
Panggilan dari Ratih terdengar merdu. Karyawati cantik itu berdiri seraya melambai, memasang senyum menunggu Beni di depan parkiran. Â
Beni secepat kilat memacu si tua, menghampiri Ratih untuk mengantarnya pulang, berbasa-basi ia berkata, "Ratih sayang, kenapa tak bilang hari ini ganti shift? Kalau tahu, tak Abang tunda-tunda perbaiki blower di gedungmu tadi!"Â
Di bawah senja merah jambu, debu jalanan bak kabut di pagi buta. Konvoi ribuan motor karyawan jam pulang kerja, kedai-kedai makan yang penuh sesak, pasar tumpah yang menjalar ke badan jalan, bak karung sampah koyak dikerubungi koloni semut.Â
Namun kemesraan dan tawa dari sepasang kekasih, mengaburkan suasana sumpek di kiri-kanan. Ratih memeluk Beni sepanjang jalan. Motor tua meluncur mulus ke depan. Membelah lautan manusia. Mengabaikan dunia, dan larut dalam kisah cinta berdua.Â
Di depan kost, sebelum Beni pergi, Ratih bertanya,"Bang, malam ini kita jadi nonton ke kota?"Â
"Aman itu, Ratih sayang. Kalau terlambat kita, kusuruh bioskop itu putar lagi filmnya!" Jawab Beni sembari tertawa, dan memacu si tua.Â
"Jangan banyak alasan, kuberi kau modal malam ini! Lekas, tengah malam nanti aku harus menjemput istriku!" Â
Mendengar Baron memberi modal, Beni lupa daratan. Ia seperti kerbau dicocok hidung, ikut pergi ke lapak judi. Terlebih, ajakan Baron meyakinkan. Ia bilang punya firasat baik malam ini. "Pasti menang!" Rayuannya.Â
Namun kekalahan demi kekalahan terus berlanjut. Baron sudah menghilang dari tempat itu. Beni yang masih menyusun kartu, mulai gelisah. Modal dari Baron sudah sirna. Dan kini hanya tersisa cincin emas di kantong celana.Â