Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Ini Ada Cinta

29 Oktober 2022   13:17 Diperbarui: 29 Oktober 2022   13:24 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan merah jambu/ilustrasi cerpen malam ini ada cinta (Foto: By litemon Via Pixabay)

Katanya, kehidupan penuh tanda tanya. Kita mesti rajin belajar untuk menjawab persoalan-persoalan. Dan mesti paham, kapan saat memilih, dan kapan saatnya mengarang bebas. 

Beni menghabiskan waktunya di meja judi. Dari malam sampai dini hari. Padahal pukul tujuh pagi, ia harus bekerja. Pantang pulang sebelum puas. Menang sesekali, kalah berkali-kali. Ia tak ambil pusing. 

Dan seperti biasa, malam itu Beni kalah. Duit hasil lembur terbuang percuma. Ia menenggak segelas tuak sekali habis. Membanting puntung rokok, memakai jaketnya, dan melangkah lesu. 

"Ah, sial kali aku malam ini. Padahal sudah bagus kartuku tadi," Beni berbicara sendiri, sambil menggosok busi yang ditiup-tiupnya sedari tadi. Hingga mesin tua itu menyala, dan ia beranjak pergi. 

Meluncur di antara deretan kontrakan petak, dan pagar tembok kusam pabrik karet. Menyusuri jalan becek, berbatu. Hingga terhenti di depan kamar kost mungilnya yang dicat merah muda. Ia memarkirkan motor di bawah pohon mangga. Mencabut busi, dan merantai motor itu agar tidak dicuri orang.

Motor tua dicicil setahun penuh. STNK hilang dan BPKB belum ditebus. Pajak pun mati. Namun Beni tak peduli. Toh, si tua itu hanya dipakai ke pabrik, kontrakan dan tempat judi. Kadang menjemput Ratih, gadis Jawa yang dia cintai setengah mati. 

Beni berbaring senyum-senyum sendiri. Melupakan kekalahan judi dan mengalihkan ingatan pada kekasih yang sudah empat tahun bersamanya. "Oh, Ratih sayangku. Hubungan kita terhalang jadwal shift yang tak bertemu."

Mimpi Beni ingin punya kehidupan yang lebih baik. Mobil dan rumah mewah. Popularitas dan kekayaan. Kesenangan dunia dan keluarga sakinah mawadah warahmah. Namun, jalan yang ditempuh jauh dari berkah. 

"Nah kan, tertidur kau kan! Berjudi? Mabuk di Lapo kau kan?" 

"Kurang tidur aku semalam, Kak," Beni mengusap matanya dan bangkit dari sela-sela mesin pabrik yang disekat potongan papan.  

"Halah, ulahmu sendiri itu, contohlah suamiku. Biar kerjanya serabutan, tak pernah dia mabuk-mabukan apalagi berjudi!" Margaretha meletakkan dua kardus ke tempat Beni tertidur barusan. 

"Halah, Kak Margaretha. Kau tak tahu saja, suamimu yang mengajariku berjudi. Bila kau lembur pulang pagi. Dia berjudi juga sampai pagi!" Ucap Beni dalam hati. 

Beni sebenarnya menyimpan iba pada Margaretha. Karyawati teladan itu sudah banyak dibohongi suaminya. Dia sudah capek-capek bekerja, suaminya malah enak-enakan membuang hasil keringat istrinya di meja judi. 

Entah apa yang membuat Margaretha begitu percaya pada Baron suaminya. Padahal pekerjaannya tak jelas. Kadang menjadi calo tanah, kadang tukang parkir, dan kadang, cuma diam saja di rumah mengasuh anaknya. 

Di mata Beni, Margaretha adalah sosok perempuan idaman. Tak seperti karyawati lain yang menghidupi suami di rumah, ia tak pernah pindah ke lain hati. Meski godaan deras menghantam. 

Di pabrik ini, kisah-kisah perselingkuhan sesama karyawan bak cendawan di musim hujan. Orang-orang malas membahas. Bosan, karena telah menjadi kebiasaan. Ini sama halnya dengan pemandangan aneh menjelang sore, para suami menggendong balita di atas motor, menjemput istrinya pulang bekerja. 

Beni punya prinsip, jangan sampai tulang rusuk menjadi tulang punggung. Seorang istri boleh bekerja, tetapi jangan dipaksa. Karena urusan mencari nafkah adalah kewajiban suami. Bukan soal harga diri, tetapi memang begitulah seorang lelaki, mesti tahu diri. 

Lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi, Beni sudah merokok di belakang gudang. Tangannya merogoh kantong celana. Ia mengeluarkan sebuah cincin emas, dan memandangi sambil termenung. 

"Kau kubeli sewaktu aku menang taruhan, pantaslah kau kugadai untuk modal nanti malam! Ah, tapi ini kan untuk modal masa depan. Aduh, bingung aku!" Beni gelisah. 

Dua bulan lalu, cincin emas itu dibeli untuk melamar Ratih. Namun ia selalu merasa belum siap untuk menikah. Tak ada rasa khawatir soal mendua, Ratih terbukti setia. 

Masalahnya, justru pada Beni yang kecanduan judi. Baron, suami Margaretha, sudah meracuninya terlalu lama. Bila tiba terima gaji, tak tahan keinginannya untuk melipatgandakan uang itu. Bukan soal kurang, tetapi alasannya karena belum cukup banyak. 

Hingga rokok habis terhisap, Beni mengintip ke dalam. Tatapnya tertuju pada jam besar yang terpasang di dinding gudang. Ia pun bergegas menuju mesin absen. Ia memang selalu terdepan saat absen pulang. 

"Bang Beni!" 

Panggilan dari Ratih terdengar merdu. Karyawati cantik itu berdiri seraya melambai, memasang senyum menunggu Beni di depan parkiran.  

Beni secepat kilat memacu si tua, menghampiri Ratih untuk mengantarnya pulang, berbasa-basi ia berkata, "Ratih sayang, kenapa tak bilang hari ini ganti shift? Kalau tahu, tak Abang tunda-tunda perbaiki blower di gedungmu tadi!" 

Di bawah senja merah jambu, debu jalanan bak kabut di pagi buta. Konvoi ribuan motor karyawan jam pulang kerja, kedai-kedai makan yang penuh sesak, pasar tumpah yang menjalar ke badan jalan, bak karung sampah koyak dikerubungi koloni semut. 

Namun kemesraan dan tawa dari sepasang kekasih, mengaburkan suasana sumpek di kiri-kanan. Ratih memeluk Beni sepanjang jalan. Motor tua meluncur mulus ke depan. Membelah lautan manusia. Mengabaikan dunia, dan larut dalam kisah cinta berdua. 

Di depan kost, sebelum Beni pergi, Ratih bertanya,"Bang, malam ini kita jadi nonton ke kota?" 

"Aman itu, Ratih sayang. Kalau terlambat kita, kusuruh bioskop itu putar lagi filmnya!" Jawab Beni sembari tertawa, dan memacu si tua. 

"Jangan banyak alasan, kuberi kau modal malam ini! Lekas, tengah malam nanti aku harus menjemput istriku!"  

Mendengar Baron memberi modal, Beni lupa daratan. Ia seperti kerbau dicocok hidung, ikut pergi ke lapak judi. Terlebih, ajakan Baron meyakinkan. Ia bilang punya firasat baik malam ini. "Pasti menang!" Rayuannya. 

Namun kekalahan demi kekalahan terus berlanjut. Baron sudah menghilang dari tempat itu. Beni yang masih menyusun kartu, mulai gelisah. Modal dari Baron sudah sirna. Dan kini hanya tersisa cincin emas di kantong celana. 

"Habis kau, Bandar!" Kartu As ditangan. Beni yakin betul kali ini akan menang. Ia keluarkan cincin emas, bermaksud menambah uang taruhan. Namun belum sempat ia meletakkannya di atas meja, tiba-tiba seorang gadis terdengar memanggil namanya.

"Alamak!" Mata Beni terbelalak saat melihat asal suara. 

"Abang! Kau jahat!" Ratih berteriak pada Beni dan langsung berlari pergi. 

Bak disambar petir, Beni membuang kartu dan memasukkan kembali cincinnya. Ia berlari mengejar Ratih. Kalah langkah, ia pun mengambil motornya. Namun nahas, si tua tak mau menyala. 

Beni panik, berlari meloncati pagar dan kembali mengejar. Bertambah panik saat melihat bentor berhenti tepat di depan kekasihnya. Penyesalan, ketakutan, dan rasa bersalah menikam bertubi-tubi. Beni lunglai saat sudah berada di dekat Ratih.

"Ratih sayang! Abang janji tak akan berjudi lagi!" teriak Beni, berharap Ratih tak pergi. 

Ratih terpaku di depan bentor. Matanya berkaca-kaca. Menarik nafas, menahan tangis. Kekecewaan terlihat jelas di raut wajahnya. Dan bentor tak bisa menunggu lama. Sang sopir terlihat bingung, dan memilih tancap gas.

Ratih mengusap air matanya, dan berbalik menatap Beni, kemudian berkata, "Kenapa kau berhenti berjudi, uangmu sudah habis?" 

Beni menatap Ratih dan berkata, "Ratih, uangku bisa habis dimana pun. Namun aku memilih, untuk kau habiskan saja semua uangku, di rumah tangga kita nanti." 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun