Dea pun melangkah pergi, sedangkan aku masih memilih-milih kemeja dengan teliti. Kutukar label harga gaun yang dipilih Dea dengan label harga yang lebih murah. Dan melangkah menuju kasir untuk membayar.
Namun nahas, dua orang security begitu sigap membawaku ke ruang pemeriksaan. Mereka mengambil gaun dan kemeja di tanganku. Menatap sinis dan berkata,"Mas, mau bayar di sini atau di kantor polisi?"Â
Dengan tenang, ku keluarkan dua buah label harga dari saku. Merogoh dompet, dan membayar sesuai harga yang tertera. Mereka pun membiarkanku pergi dengan damai.Â
Dan aku pun bergegas menuju parkiran, sebelum mereka menyadari, bahwa label harga yang kubayar, tak lebih mahal dari yang kutukar.Â
Dea menyambutku dengan senyuman, menggeleng, dan menepuk keningnya. Ia sepertinya tahu kelakuan bengal yang kulakukan. "Kau harus membayar saat kau kaya, Dion," ucapnya.Â
"Seandainya Dea masih ada, tentu pertemuan ini bakal lebih asyik."
Kata-kata Ronald menghempaskan lamunanku. Dan kerinduanku pada Dea sepertinya sudah mencapai klimaks.Â
Entah akan terbayar atau tidak. Meski pun ia sudah bahagia dengan yang lain. Paling tidak, aku bisa berbagi cerita dengannya tanpa berharap apa-apa.
"Ronald, kau tahu kabarnya sekarang?"Â
Tiba-tiba Ronald terlihat bingung dengan pertanyaanku, Ia memandang seolah aku salah bicara. Matanya memicing. Bibirnya berdecak. Dan menyiratkan rasa tak percaya.Â