Dan ku jawab,"Lantas, kenapa kau ingin selalu dibelai?"Â
"Eh!" Dea mencubit dadaku dengan gemas. Dan saat hendak ku balas, ia beranjak, tertawa, berlari, dan kami pun berkejaran.Â
Pernah suatu ketika, kami pergi ke bioskop. Dari raut wajahnya ia malas mengantre. Kami berdiri di samping poster film Avatar yang akan tayang. Memandang barisan penonton yang mengular di loket malam itu.Â
"Dion, diam dan jangan bergerak. Biar aku yang beli tiketnya," pinta Dea.Â
Dea berjalan melewati antrean, ia tampak berbicara dengan lelaki setengah baya yang berdiri paling depan. Dan tak lama, ia pun kembali dengan membawa dua lembar tiket, coke dan popcorn.Â
Di dalam bioskop saat film diputar, lelaki setengah baya itu duduk disebelahku. Mukanya masam. Kuterka, Dea telah merayunya untuk membayar tiket kami.Â
Hingga lampu dinyalakan, lelaki itu terlihat menatap sinis pada kami. Dan aku tak dapat menahan tawa. Hingga Dea menggenggam erat tanganku.Â
Kami berjalan tergesa-gesa. Dan Ia berbisik sambil cekikikan,"Eh, harusnya kau bilang terima kasih pada Om itu, Dion."
Dan sebelum pulang, kami singgah di departemen store untuk membeli pakaian. Dea dan aku butuh baju baru untuk menghadiri ulang tahun Ronald di Bogor.Â
Tak butuh waktu lama, Dea menemukan gaun yang cocok untuknya. Sedangkan aku masih berkutat memilih kemeja. Dea tak mau memilihkan pakaian untukku. Ia bilang,"Kau tak boleh berubah untukku. Bukankah kita bersama karena kita berbeda."Â
"Dea, tunggu aku di parkiran. Biar kubayar belanjaan kita," pintaku.Â