Dan saat itu mataku tertuju pada tato bunga krisan di pundakmu. Kupikir aku harus menjadi kumbang, dan hinggap sejenak untuk menawarkan kesenangan malam itu.Â
Tak diduga, kau meraih tanganku ke lantai dansa. Berbicara padaku seperti kawan lama. Mengambil sebatang rokok dari bibirku, dan menghisapnya dalam-dalam. Kita pun larut dalam kebisingan yang menghentak.Â
"Work hard, play hard," dentuman musik trance berganti pekik klakson silih berganti. Hingga umpatan, "Woii maju, bangsat!" membuyarkan lamunan.Â
"Dea, mengenangmu saja, ternyata cukup mengundang bahaya," kuhembuskan nafas dan pelan-pelan menekan gas.Â
Entah kenapa, akhir-akhir ini aku lebih sering mengingat Dea. Padahal banyak kisah cinta lain dalam hidupku. Namun, tidak ada yang lebih liar dan manis dari kenangan kita.Â
"Kau masih mengingat Dea? Kau sudah gila, Dion!" Teriak Ronald.Â
Ia sengaja mengunjungiku di kantor. Dua tahun tak bertemu, dan ia tiba-tiba datang menagih hutang. Bukan soal uang, tapi cerita kandasnya hubunganku dengan Dea.Â
"Dion, dulu kau pernah menangis seperti anak kecil, saat Dea memutuskan pergi!" Celoteh, dan senyum jahat Ronald cukup menghibur. Ia satu-satunya orang yang menemani di saat aku terpuruk dahulu.Â
"Kau pun pernah menangis, Ronald. Ingat, saat kami bercumbu di kamarmu, dan kau kami kunci di kamar mandi," senyumanku tak kalah jahat.Â
Bila diingat, sebagai sepasang kekasih, kami cukup bengal, pemberontak, dan sedikit kriminal. Meski begitu, kami tak pernah saling menyakiti. Â
Dea pernah berkata,"Kau tahu, Dion. Pria sejati tak main tangan pada perempuan."