Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Apa Kabar, Mantan?

21 Oktober 2022   13:03 Diperbarui: 24 Oktober 2022   22:31 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kenangan mantan. (sumber: pixabay.com/Jan13)

Apa kabar, kau yang dahulu berkata tak bisa hidup tanpaku? Masihkah bernafas? Bukankah, kau pun pernah berkata, bahwa akulah nafasmu.

Di kedai biasa kita berjumpa, aku tengah berbicara pada bayanganmu. Dan segelas kopi menemaniku malam ini. Mengulang kata-kata manis yang berhamburan dari masa lalu. Meski pun kini berakhir pahit. 

"Kau tahu, Dea. Kenangan tentangmu lebih lengket dari permen karet."  

Dahulu kita pasangan gombal. Kau yang lebih pandai merayu, meski lewat bahasa tubuh. Terkadang lidahku sampai kelu demi meluluhkan hatimu. Dan kau akan tertawa lepas, bila aku kehabisan kata-kata. "Yes, aku menang!" ucapmu. 

Kudengar kau mengurung diri cukup lama saat kutinggalkan. Mendadak melankolis. Dan sering menangis. Tapi, bukankah kau sendiri yang menghendaki perpisahan? 

Dua belas tahun lalu, kau meminta agar aku menjauh darimu. Melepas hubungan yang terjalin mesra ke dalam nestapa. Dan ajaib, permintaan itupun terkabul. 

Bukan cuma orang sakti yang punya ilmu menghilang. Teman yang meminjam uang, lelaki hidung belang, dan kekasih yang tersakiti pun kadang memakai jurus yang sama. Termasuk aku saat itu, yang berusaha keras untuk seutuhnya lenyap dari kehidupanmu. 

Hingga kedai hampir tutup, memaksaku beranjak. Mengemas kenangan. Melangkah pada kenyataan. Pulang. Dan memendam semua kisah kita dalam kesendirian. 

Pagi yang dingin. Di tengah kemacetan Jakarta yang biasa kujalani. Penyiar radio memutar lagu "wajib" kita dahulu. Dan kau kembali hadir dalam benakku. 

Kucoba membayangkan manisnya senyum, gelak tawa, dan umpatan yang seringkali kau ucapkan. Mengingat-ingat model rambut, wangi parfum, dan warna gaunmu saat kita pertama kali bertemu. 

Dan saat itu mataku tertuju pada tato bunga krisan di pundakmu. Kupikir aku harus menjadi kumbang, dan hinggap sejenak untuk menawarkan kesenangan malam itu. 

Tak diduga, kau meraih tanganku ke lantai dansa. Berbicara padaku seperti kawan lama. Mengambil sebatang rokok dari bibirku, dan menghisapnya dalam-dalam. Kita pun larut dalam kebisingan yang menghentak. 

"Work hard, play hard," dentuman musik trance berganti pekik klakson silih berganti. Hingga umpatan, "Woii maju, bangsat!" membuyarkan lamunan. 

"Dea, mengenangmu saja, ternyata cukup mengundang bahaya," kuhembuskan nafas dan pelan-pelan menekan gas. 

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku lebih sering mengingat Dea. Padahal banyak kisah cinta lain dalam hidupku. Namun, tidak ada yang lebih liar dan manis dari kenangan kita. 

"Kau masih mengingat Dea? Kau sudah gila, Dion!" Teriak Ronald. 

Ia sengaja mengunjungiku di kantor. Dua tahun tak bertemu, dan ia tiba-tiba datang menagih hutang. Bukan soal uang, tapi cerita kandasnya hubunganku dengan Dea. 

"Dion, dulu kau pernah menangis seperti anak kecil, saat Dea memutuskan pergi!" Celoteh, dan senyum jahat Ronald cukup menghibur. Ia satu-satunya orang yang menemani di saat aku terpuruk dahulu. 

"Kau pun pernah menangis, Ronald. Ingat, saat kami bercumbu di kamarmu, dan kau kami kunci di kamar mandi," senyumanku tak kalah jahat. 

Bila diingat, sebagai sepasang kekasih, kami cukup bengal, pemberontak, dan sedikit kriminal. Meski begitu, kami tak pernah saling menyakiti.  

Dea pernah berkata,"Kau tahu, Dion. Pria sejati tak main tangan pada perempuan."

Dan ku jawab,"Lantas, kenapa kau ingin selalu dibelai?" 

"Eh!" Dea mencubit dadaku dengan gemas. Dan saat hendak ku balas, ia beranjak, tertawa, berlari, dan kami pun berkejaran. 

Pernah suatu ketika, kami pergi ke bioskop. Dari raut wajahnya ia malas mengantre. Kami berdiri di samping poster film Avatar yang akan tayang. Memandang barisan penonton yang mengular di loket malam itu. 

"Dion, diam dan jangan bergerak. Biar aku yang beli tiketnya," pinta Dea. 

Dea berjalan melewati antrean, ia tampak berbicara dengan lelaki setengah baya yang berdiri paling depan. Dan tak lama, ia pun kembali dengan membawa dua lembar tiket, coke dan popcorn. 

Di dalam bioskop saat film diputar, lelaki setengah baya itu duduk disebelahku. Mukanya masam. Kuterka, Dea telah merayunya untuk membayar tiket kami. 

Hingga lampu dinyalakan, lelaki itu terlihat menatap sinis pada kami. Dan aku tak dapat menahan tawa. Hingga Dea menggenggam erat tanganku. 

Kami berjalan tergesa-gesa. Dan Ia berbisik sambil cekikikan,"Eh, harusnya kau bilang terima kasih pada Om itu, Dion."

Dan sebelum pulang, kami singgah di departemen store untuk membeli pakaian. Dea dan aku butuh baju baru untuk menghadiri ulang tahun Ronald di Bogor. 

Tak butuh waktu lama, Dea menemukan gaun yang cocok untuknya. Sedangkan aku masih berkutat memilih kemeja. Dea tak mau memilihkan pakaian untukku. Ia bilang,"Kau tak boleh berubah untukku. Bukankah kita bersama karena kita berbeda." 

"Dea, tunggu aku di parkiran. Biar kubayar belanjaan kita," pintaku. 

Dea pun melangkah pergi, sedangkan aku masih memilih-milih kemeja dengan teliti. Kutukar label harga gaun yang dipilih Dea dengan label harga yang lebih murah. Dan melangkah menuju kasir untuk membayar.

Namun nahas, dua orang security begitu sigap membawaku ke ruang pemeriksaan. Mereka mengambil gaun dan kemeja di tanganku. Menatap sinis dan berkata,"Mas, mau bayar di sini atau di kantor polisi?" 

Dengan tenang, ku keluarkan dua buah label harga dari saku. Merogoh dompet, dan membayar sesuai harga yang tertera. Mereka pun membiarkanku pergi dengan damai. 

Dan aku pun bergegas menuju parkiran, sebelum mereka menyadari, bahwa label harga yang kubayar, tak lebih mahal dari yang kutukar. 

Dea menyambutku dengan senyuman, menggeleng, dan menepuk keningnya. Ia sepertinya tahu kelakuan bengal yang kulakukan. "Kau harus membayar saat kau kaya, Dion," ucapnya. 

"Seandainya Dea masih ada, tentu pertemuan ini bakal lebih asyik."

Ilustrasi perempuan dengan bunga krisan di tangan (Gambar: CDD20 via Pixabay)
Ilustrasi perempuan dengan bunga krisan di tangan (Gambar: CDD20 via Pixabay)

Kata-kata Ronald menghempaskan lamunanku. Dan kerinduanku pada Dea sepertinya sudah mencapai klimaks. 

Entah akan terbayar atau tidak. Meski pun ia sudah bahagia dengan yang lain. Paling tidak, aku bisa berbagi cerita dengannya tanpa berharap apa-apa.

"Ronald, kau tahu kabarnya sekarang?" 

Tiba-tiba Ronald terlihat bingung dengan pertanyaanku, Ia memandang seolah aku salah bicara. Matanya memicing. Bibirnya berdecak. Dan menyiratkan rasa tak percaya. 

Ronald meraih telepon genggam di atas meja, membuka media sosial. Menggulir layar cukup lama, lalu menunjukkan sebuah foto lawas padaku. Dan Ia pun berkata,"Dion, dua tahun lalu aku sudah mengabarkan. Dea telah lama tiada."

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun