Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Balada Monyet, Ayam dan Macan Air

30 Januari 2022   14:20 Diperbarui: 30 Januari 2022   14:33 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang memasang lampion di malam Imlek (Foto: PublicDomainPictures Via Pixabay)

Menua itu keniscayaan. Namun berjiwa muda adalah pilihan. Dan umur panjang, dimulai dengan mengerjakan sesuatu. Karena menjalani hari, bukan sekadar menanti panggilan pulang. 

Niko bolak-balik membaca. Mengurai peruntungan monyet air di tahun macan air. Buku Cap Ji Shio yang baru dibeli, terlihat lecek. Ia berharap mengakhiri nasib buruk di tahun ini. Tak boleh meleset, karena usianya semakin mepet. 

Di umur tiga puluh, ia belum beranjak dari rumah orangtuanya. Hidupnya sulit. Meski sempat mengecap kemakmuran sewaktu kecil. Namun Niko tak mengingat pasti, bagaimana rasanya hidup enak. 

Meski begitu, ia tak pernah mengeluhkan nasib. Dikala bisnis keluarganya bangkrut. Dan bisnisnya selalu kandas. Niko selalu berusaha tenang. Ia pun memegang teguh kata-kata mendiang Kong A Bun,"Hoki itu datang melalui kerja keras."

Kong A Bun, kakek Niko, generasi terakhir di keluarganya yang kaya raya. Namun sayang, di tangan papanya semua lenyap. Kios baju, peternakan babi, dan tambak udang, habis di meja judi. Dan sisanya, dibawa lari istri muda. 

Niko tak mau menyalahkan siapapun. Berbekal sugesti, bahwa papa adalah generasi ke delapan. Maka dirinya yang harus berusaha, agar kembali kaya raya tujuh turunan. 

"Bo Kek, jual saja motor itu!" Dari arah dapur, Mama berteriak meminta Niko menjual sepeda motor yang berkarat di samping rumah. 

Dengan wajah lusuh, Niko menuntun sepeda motor ke depan rumah. Berkali-kali ia engkol, motor tak kunjung menyala. Ia meniup busi, dan akhirnya membongkar mesin. 

Kendaraan roda dua berumur tua, satu-satunya warisan yang tersisa dari sang kakek. Berat hati Niko untuk melepasnya. Niatnya, menjual motor ini setelah masuk kategori barang antik. Namun kondisi keuangan kian mencekik. 

"Tauke!" Sambil lalu, lelaki tinggi kurus menyapa Niko di depan rumah. Niko menatap punggung lelaki yang tergesa mengayuh sepeda. Ia mengenali si lelaki sebagai Acim Si Jagal Ayam. 

Trauma bisnis ayam kembali hinggap. Acim mantan anak buahnya yang bikin susah. Di awal usaha, Niko merintis peternakan ayam. Dan Acim ditugaskan menjaga kandang. Bisnis lancar, untung besar. Namun hanya bertahan satu tahun. 

Keuntungan pertama, dipakai Niko pelesir ke Thailand. Penasaran dengan kehidupan malam di Pattaya, ia sampai menunda waktu pulang. Tak ada Acim dalam ingatan. Ia bahkan tak membawakannya oleh-oleh. 

Puas hati berganti tragedi. Dua ratus ekor ayam mati di dalam kandang, sisanya dimakan musang. Dua minggu, ayam-ayam tak diberi makan. 

Niko ingin marah. Namun apa daya, Acim sudah terbaring lemas di rumah sakit. Ia terserang TBC. Niko pula yang harus membayar biaya pengobatan. 

"Kata orang, usaha pertama memang tak selalu mulus," Niko berusaha menguatkan hati. 

Bisnis ayam potong, bangkrut. Niko tak sanggup membayar sewa peternakan. Namun dengan uang yang tersisa, ia membuka kios kecil di pinggir jalan. Dan mulai berjualan ayam goreng. 

Belum genap setahun, usahanya laris manis. Buka jam lima sore, tutup jam sembilan malam. Kata pembeli, ayam goreng buatan Niko rasanya unik. Niko mulai berpikir membuka cabang. 

Melihat Acim yang termenung menunggu pancing di tepi sungai, Niko merasa iba. Ia meminta Acim menjalankan cabang usaha ayam goreng. Dan bisnis pun semakin cuan. Namun hanya sementara. 

Keputusan Niko mengikuti saran Acim untuk mengganti pemasok ayam mentah, menjadi petaka. Harapan untung besar. Namun modal malah tak berputar. Mandeg. Pembeli ogah datang. 

Pemasok ayam mentah digerebeg dinas kesehatan dan polisi. Niko sempat terseret kasus ayam tiren. Beruntung, ia ditetapkan sebagai korban. Namun buntung, karena uang pembayaran tak pernah kembali. 

"Dari perhitungan saya, shio monyet tak cocok pegang ayam," kata-kata Suhu Rudy di televisi, terngiang-ngiang di telinga.

Niko akhirnya memutuskan pergi ke kota. Meminta pekerjaan pada saudaranya. Dan mulai saat itu, ia bekerja di tempat hiburan malam. Menikmati gaji bulanan, dan bersenang-senang. 

"Kokoh nakal!" Niko usil mencubit genit salah seorang pemandu lagu. Perempuan berbaju minim, bermake-up tebal, dan cantik, berbaris di depannya. Tugas Niko memang mengurus para pemandu lagu untuk melayani tamu. 

Meski kerap dipandang sebagai mucikari, Niko tak ambil pusing. Dan hinaan orang yang menyebut anak buahnya sebagai "Ayam Sepatu" tak pernah ia pedulikan. 

Hingga suatu ketika, Niko melihat Acim di salah satu room karaoke. Darah mendidih. Mata melotot. Kata-kata umpatan menanti diledakkan. Niat hati ingin mengusir Si Jagal Ayam. Namun hal itu urung dilakukan. 

Niko kalah cepat dengan kedatangan petugas berwenang. Tempat hiburan malam disegel. Beberapa tamu ditangkap. Dan ia harus kembali terseret kasus hukum. Kali ini soal temuan narkotika, dan dugaan praktik prostitusi. 

Nasib baik Niko dapat kembali lolos, kali ini statusnya sebagai saksi. Meski pun harus merelakan gaji bulan itu hangus. Namun ia bersyukur tak sampai menginap di dalam sel. 

Deru mesin terdengar lirih. Niko berhasil memperbaiki motor tua. Harapannya, laku terjual dengan harga tinggi. Minimal tidak dibayar seharga besi loak. 

"Nah, aku bisa perbaiki motor bebek!" Niko mengemas lamunan, dan berpikir untuk kembali merintis usaha. Dan bengkel motor, sepertinya ide cemerlang. 

"Bo Kek! Lekas pergi jual!" 

"Iya, Ma!" Belum sempat membersihkan wajah dan tubuhnya dari cipratan oli, Mamanya kembali berteriak.

"Bo Kek, jangan lupa beli ayam loh! Besok Imlek, banyak saudara mau datang!"

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun