Menua itu keniscayaan. Namun berjiwa muda adalah pilihan. Dan umur panjang, dimulai dengan mengerjakan sesuatu. Karena menjalani hari, bukan sekadar menanti panggilan pulang.Â
Niko bolak-balik membaca. Mengurai peruntungan monyet air di tahun macan air. Buku Cap Ji Shio yang baru dibeli, terlihat lecek. Ia berharap mengakhiri nasib buruk di tahun ini. Tak boleh meleset, karena usianya semakin mepet.Â
Di umur tiga puluh, ia belum beranjak dari rumah orangtuanya. Hidupnya sulit. Meski sempat mengecap kemakmuran sewaktu kecil. Namun Niko tak mengingat pasti, bagaimana rasanya hidup enak.Â
Meski begitu, ia tak pernah mengeluhkan nasib. Dikala bisnis keluarganya bangkrut. Dan bisnisnya selalu kandas. Niko selalu berusaha tenang. Ia pun memegang teguh kata-kata mendiang Kong A Bun,"Hoki itu datang melalui kerja keras."
Kong A Bun, kakek Niko, generasi terakhir di keluarganya yang kaya raya. Namun sayang, di tangan papanya semua lenyap. Kios baju, peternakan babi, dan tambak udang, habis di meja judi. Dan sisanya, dibawa lari istri muda.Â
Niko tak mau menyalahkan siapapun. Berbekal sugesti, bahwa papa adalah generasi ke delapan. Maka dirinya yang harus berusaha, agar kembali kaya raya tujuh turunan.Â
"Bo Kek, jual saja motor itu!" Dari arah dapur, Mama berteriak meminta Niko menjual sepeda motor yang berkarat di samping rumah.Â
Dengan wajah lusuh, Niko menuntun sepeda motor ke depan rumah. Berkali-kali ia engkol, motor tak kunjung menyala. Ia meniup busi, dan akhirnya membongkar mesin.Â
Kendaraan roda dua berumur tua, satu-satunya warisan yang tersisa dari sang kakek. Berat hati Niko untuk melepasnya. Niatnya, menjual motor ini setelah masuk kategori barang antik. Namun kondisi keuangan kian mencekik.Â
"Tauke!" Sambil lalu, lelaki tinggi kurus menyapa Niko di depan rumah. Niko menatap punggung lelaki yang tergesa mengayuh sepeda. Ia mengenali si lelaki sebagai Acim Si Jagal Ayam.Â