Melani tetaplah Melani. Belum ada sentuhan cinta yang mampu menembus relung hatinya. Ia merasa, perhatian Marko didasari hubungan kerja. Tak lebih, dan tak kurang.
Namun, layaknya sebongkah batu yang berlubang karena tetesan air. Hati Melani akhirnya merasakan sesuatu yang lain. Kasih sayang dan cinta. Dua hal yang ditakutkan. "Bukankah, film romantis selalu berakhir tragis."
Dan untuk pertama kalinya, sejak mama papanya berpisah. Melani kembali menitikkan air mata. Di depan cermin ia berkata, "Bolehkah, saat ini aku memiliki kebahagiaan?"
Trauma masa kecil seharusnya sudah sirna. Rudapaksa. Pelecehan. Ancaman. Melani bahkan tak mengingat peristiwa jahanam itu. Seluruh ingatan buruk itu dihapus paksa.Â
Namun ia tak pernah lupa, bagaimana perlakuan buruk keluarga dan lingkungan. Dipandang sebagai aib. Diremehkan dan dijauhi seolah terkutuk.Â
Malam itu, Melani menanti telepon dari Marko. Namun handphonenya tak kunjung berdering. Dan sebelum terlelap, ia memandang handphone sekali lagi. Dan berbisik lirih, "Selamat malam, Marko."
Hari berlalu, makan siang bersama terasa berbeda. Bila biasanya Melani pasif, dan hanya berbagi kendala pekerjaan. Hari itu ia mulai bercerita tentang keinginannya memiliki hewan peliharaan.Â
Marko merasakan usahanya tak sia-sia. Ia mengambil kesempatan untuk berbicara hal-hal pribadi. Namun buntu. Melani menutup rapat-rapat cerita hidupnya.Â
Pertaruhan terakhir Marko disandarkan pada sebuah pertanyaan, "Mel, malam ini, boleh kuajak kamu ngedate?"
Melani menghentikan makan. Tertunduk dengan sesimpul senyum. Tersipu. Melirik diam-diam ke arah Marko dari sudut matanya. Ia melanjutkan makan, sembari berkata, "Boleh, jemput aku jam delapan malam."Â
Di sepanjangan lorong kantor, senyum Marko terkembang. Langkahnya terasa ringan. Benaknya menyusun rencana terbaik untuk nanti malam. Andrenalin mengalir deras. Dan tingkahnya serupa remaja puber.