Diawali tarikan nafas, dengan sedikit terbata-bata, Marko menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mencoba mengakrabkan diri.
"Saya berusaha menyelesaikan tugas tepat waktu. Dan tidak menolak pekerjaan tambahan. Meski terkadang, tugas datang dari departemen lain, Pak," jelas Melani.Â
Marko menyimpan pertanyaan untuk lain hari. Khususnya pertanyaan pribadi. Ia heran. Karyawati seramah Melani, tidak mempunyai teman di kantor. Terlebih, ia masih ada pertalian keluarga dengan direktur utama.Â
Sejak kunjungan itu, mereka semakin dekat. Marko punya banyak alasan untuk menemui Melani. Berdalih tak cocok dengan menu kantin, ia selalu menemani makan siang di ruangan. Dan hal itu, membuat Melani tak lagi bersikap formil.Â
Namun Marko belum berani membahas hal-hal pribadi. Informasi tentang keseharian Melani di luar kantor, sangat sulit ditelusuri. Bahkan Melani tak memiliki media sosial. Marko semakin penasaran.Â
Kecantikan dan keramahan Melani, memikat hatinya. Benih-benih kasih sayang, tumbuh menjadi rasa ingin memiliki.Â
Siang itu, Marko menuntaskan suapan terakhir. Namun tatapannya, tak lepas dari bibir tipis yang belum berhenti mengunyah. Tatapan naik ke atas. Dan di sana ada sepasang mata bening. Damai. Membuat seluruh jiwanya larut dalam khayalan.Â
Marko merasa, inilah saatnya untuk melangkah lebih jauh. Ia pun mencoba meminta,"Mel, boleh aku telepon kamu nanti malam?"Â
Degup jantung Marko berdebar semakin cepat. Menanti respon apa yang akan diberikan Melani. Ia menahan nafas untuk sebuah jawaban.Â
"Tentu Marko, aku biasa menyelesaikan tugas sebelum tidur."Â
Dan desahan nafas Marko berhembus pelan. Lesu. Kenapa semua pertanyaan, selalu dihubungkan dengan pekerjaan. Ia berkata dalam hati, "Mel, haruskah aku memasang papan nama kantor di rumahmu."Â