Melani berkutat di depan laptop. Pukul dua belas tiga puluh, lewat tengah malam. Mata sayu melirik secangkir teh yang sudah dingin. Namun jemari lentiknya tak berhenti mengetik. Tekun, seolah seluruh hidupnya dihabiskan untuk bekerja.Â
Hingga desir angin menyapa dari celah jendela. Bunyi halilintar menyambut hujan yang tertahan sejak sore berawan. Melani menutup tugas. Dan mereguk secangkir teh, sekali habis.Â
Piyama merah jambu. Boneka beruang Teddy. Bantal guling gemuk. Gemericik hujan, adalah musik pengantar tidur. Melani pun merebahkan tubuh di kasur empuk. Dan membenamkan diri di balik selimut tebal.
Tak ada mimpi malam ini. Pekat. Tenang. Terkadang, Melani berharap tak pernah terbangun dari tidur panjang. Ia merasa hampa, tanpa ambisi atau rencana masa depan. Dan tanpa asa, kehidupan seperti apa yang diharapkan?Â
"Selamat Pagi!"
Gadis manis itu menyapa ruangan kosong. Melani selalu datang lebih awal. Di kantor ini, ia satu-satunya karyawan dengan rekor best employee satu tahun berturut-turut.Â
Bagi Melani penghargaan itu bukanlah prestasi menyenangkan. Bohong, jika tak merasa bahagia saat mendapat apresiasi. Namun hal itu, justru membuat interaksi dengan rekan kerja lain semakin minim.Â
Meski pun ia tak ambil pusing, toh julukan "karyawan robot" kadung melekat sejak lama.Â
Hingga manajemen menghilangkan namanya dari daftar kandidat. Kriteria direvisi. Dan hubungan antar karyawan, menjadi poin utama.Â
Desas-desus berhembus, direktur utama, yang juga paman Melani, memang sengaja melakukan itu. Tujuannya tak lain dan tak bukan, semata meredam kesenjangan di kalangan karyawan.Â