Meski nyali kami ciut dan terpaksa begadang. Namun anehnya, kami selalu ketagihan mendengarkan cerita Tono. Â
Belakangan kutahu ia adalah anak sulung Mak Ijah. Karena sejak ronda malam jarang dilakukan, warung semakin sepi. Dan cerita Tono menahan kami pulang, sekedar untuk memastikan beberapa gelas kopi dan kacang laris dibeli.Â
Bila mengingat hal itu, kadang membuatku senyum-senyum sendiri. Kupacu sepeda motorku dan meluncur ke ujung kampung. Tak lupa sebungkus oleh-oleh kota kubawa untuk mereka.
Hembusan angin terasa lebih dingin. Musim paceklik akan berganti musim hujan. Laron beterbangan, berjatuhan dari lampu-lampu jalan yang belum lama dipasang.Â
"Tono?" Di batas kampung, samar-samar kulihat Tono duduk di balai bambu di depan gardu hansip. Dia melambaikan tangan dan menatap tajam.Â
Kuputar balik sepeda motorku, dan berhenti tepat di depannya. Dia masih sama seperti dahulu. Bertahun-tahun tak bertemu, ia terlihat semakin kurus dan sayu.Â
"Kamu mau ke mana?" Setelah kumatikan mesin motor, Tono bertanya padaku dengan nada datar. Dari gelagatnya, ia tidak mengenaliku. Payah betul ingatan kawan satu ini, pikirku.Â
"Tono! Ini aku Usman!"Â
Tono hanya tersenyum. Ia menggeser posisi duduknya, seakan memintaku duduk di sampingnya. Aku menjabat tangannya. Dan terasa dingin. Wajar saja, di malam buta, ia bertelanjang dada dan hanya memakai sarung.Â
"Kamu lagi ronda? Ayo pindah ke warung ibumu!" Kutebak ia tengah jaga malam.Â
"Warung sudah lama tutup," jawabnya.Â