"Lelaki itu baru dua bulan kembali ke kampung. Ia berniat menemui temannya untuk mendapat kerja di kota. Namun sayangnya, teman yang dituju sudah tak bekerja di sana. Lelaki itu, mencari jalan pintas."
"Man, selagi masih hidup. Kamu mesti ingat orangtua. Harta bisa dicari, tapi waktu tak bisa kembali."Â
Berbatang-batang rokok, tanpa kopi seperti laju kereta api di padang pasir. Dan saat cerita terhenti pada sebuah kata-kata bijak, kuputuskan beranjak membeli minum. Pasti Tono butuh tenaga untuk melanjutkan cerita.Â
"Ayo ikut," kutepuk jok motor, dan mengajaknya.
Tono malah menggeleng kepala. "Yo wis, tunggu," pintaku.Â
Dengan sepeda motor kuberkeliling ke kampung sebelah. Tepat jam 11 malam, suasana sudah sepi. Benar kata Tono, warung ibunya sudah tutup. Dari ujung ke ujung, tak ada satupun warung yang buka. Dan akupun terpaksa kembali dengan tangan kosong.Â
Tono sudah tak ada di tempatnya setelah aku kembali. Gardu hansip ini terlihat baru. Meski cahaya lampu sudah redup, tetapi kondisi bangunan masih terawat. "Ke mana anak itu? Masa iya sudah pulang?"Â
Mungkinkah ia ke belakang bangunan, buang hajat atau tidur pulas di dalam. Tadinya akan kutinggalkan oleh-oleh ke dalam gardu. Namun tiba-tiba bulu kudukku berdiri dan suasana terasa mencekam.Â
Teringat cerita Tono tentang pembunuhan sadis di gardu ini, kuputuskan tak beranjak dari motor. Tanpa pikir panjang, kutarik gas dan bergegas pulang.Â
"Tono, kebangetan kamu!" Dia masih saja bisa menakutiku, dengan cerita horor dan gelagatnya. Kupikir, besok saja sekalian berangkat, aku mampir ke rumahnya.Â
Setelah ayam jantan berkokok di atas pagar, kupanaskan mesin motor. Di teras rumah, ibu sudah menyajikan secangkir kopi untukku dan bapak.Â