"Apa aku belum terlihat menyedihkan?" tanya Dudu.Â
"Wajahmu masih bersih, bajumu tak ada robek sama sekali. Itu berpengaruh," jawab Badri.Â
Dudu tiba-tiba menangis dan menitikkan air mata. Ia kembali memegang perutnya. Sebelum bangkit, Iapun berkata, "aku harus pulang, uang sedekah yang sedikit ini cukup memberi makan anak-anak dan kakek tua di rumah."
Melihat Dudu melangkah terhuyung-huyung dan pergi dari hadapan. Badri sungguh tidak tega. Ternyata, ada orang yang lebih pantas dikasihani ketimbang dirinya.Â
"Di dunia ini, banyak orang-orang yang menyedihkan. Namun kenapa baru sekarang, aku merasa kasihan."
Di rumah sederhana di pinggiran kota, terparkir mobil sedan hitam milik Badri. Di teras rumah, malam itu ia terus-menerus memikirkan Dudu. Secangkir teh hangat di meja belum ia sentuh sama sekali.Â
Sang istri yang memperhatikan suaminya termenung sejak pulang kerja, datang menghampiri. Ia duduk di sebelah Badri yang masih menatap kosong ke arah mobilnya.Â
Dalam lamunan, Badri berpikir keras tentang pekerjaan selama ini. Ia merasa, tak ada salahnya menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Meski kondisi keuangannya kini telah berkecukupan. Bahkan orang yang memiliki kekayaan mencengangkan, masih boleh menjual kemiskinan di media sosial.Â
Namun, dimana letak hati nuraniku. Bila niat mulia dari orang-orang yang bersedekah, kuambil begitu saja. Sementara banyak orang-orang seperti Dudu, yang benar-benar hidup susah. Ia dan orang-orang kurang beruntung itu lebih membutuhkan.Â
"Mas, mikirin apa sih?" tanya Sang Istri.Â
"Sepertinya aku harus cari pekerjaan lain, Dek," jawab Badri.Â
"Ya sudah, warung kelontong kita sudah mulai ramai. Kita urus sama-sama, ya?" pinta Sang Istri.Â