Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

3 Alasan Menulis Dongeng di Kompasiana

21 Februari 2021   13:21 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:18 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 3 Alasan Menulis Dongeng di Kompasiana /dok. Kompasiana.com (Edit pribadi)

"Life itself is the most wonderful fairy tale."

_Hans Christian Andersen.

Beragam alasan untuk menulis, baik sebagai hobi, katarsis, hiburan, profesi, protes atau iseng belaka. Begitupun menulis dongeng.

Gairah apa yang tertanam dalam benak, saat ketagihan menulis dongeng di rubrik Fiksiana Kompasiana. 

Kompasiana adalah blog keroyokan dengan tingkat pembaca tinggi. Berada pada 1000 top website global dan 50 besar top website Indonesia (pernah tembus Ranking 22 loh) versi Alexa. Kompetitor dengan kategori fiksi amat sangat minim. 

Tentu, minat menulis fiksi semakin besar. Ditambah, penulis-penulis hebat di Kompasiana rela memberikan masukan dan apresiasi pada pemula seperti saya. Hingga, betah dan nyaman mengasah pengetahuan. 

Page view 100-200, bagi saya sudah cukup baik. Di atas itu, pastilah rekan-rekan sesama Kompasianers yang memberikan dukungan. Mengingat, penulis lain dengan jam terbang tinggi pasti mempunyai pembaca fanatik. 

Keseruan tersendiri, berinteraksi dengan pembaca pada kolom komentar, maupun jaringan pribadi. Kritik dan saran sama nilainya, bermuara pada penulisan cerita yang lebih baik. 

Pengalaman dihubungi pada jalur pribadi oleh teman lama dan orang yang tidak kita kenal sebelumnya, merupakan semangat tersendiri. 

Bertanya soal cerita dalam cerpen dan dongeng, kadang dengan permintaan sekuel, alur dan tokoh dengan namanya. 

Hal itu, bisa saja membuat hidung saya terbang. Namun aktivitas menulis fiksi, bukanlah profesi atau untuk tujuan komersil bagi saya. 

Berikut tiga alasan saya, menulis cerpen dan dongeng di Kompasiana.

1. Catatan pribadi untuk anak cucu

Mendidik anak-anak, bukan hanya tanggung jawab Ibu. Bukan sekedar mempercayakan pada Guru. Namun, tanggung jawab Ayah sebagai teladan dan kepala rumah tangga.

Kebiasaan bercerita sebelum tidur, adalah metode pendidikan yang efektif. Pesan moral dari aktivitas anak seharian, dengan mudah dicerna oleh memori mereka. 

Dongeng, atau cerita fiksi yang edukatif. Baiknya, disisipkan melalui pola interaksi dua arah. Bahkan, anak-anak bisa membuat dongeng sendiri sesuai imajinasi dan pengetahuan yang dipelajari. 

Berbekal kebiasaan mendongeng untuk anak sendiri. Kisah-kisah fiksi, meronta-ronta ingin dituangkan dalam catatan. Kadang, dipicu oleh pertanyaan-pertanyaan anak. Kisah fiksi, akhirnya dibuatkan artikel. 

Mulailah membuat satu dua dongeng, semakin bertambah dan berpikir untuk disusun menjadi sebuah buku nantinya. 

2. Referensi dongeng anak yang monoton

Fabel si kancil, cerita rakyat dan dongeng populer luar negeri. Kisah Nabi dan cerita humor Abu Nawas. Semua itu, bermanfaat untuk membentuk pola pikir dan pola sikap anak-anak. 

Kisah Nabi dan kisah dalam kitab suci tidak termasuk dalam kategori dongeng atau fiksi. Diperlukan usaha ekstra untuk memberikan pemahaman pada anak. Memilah antara fiksi dan kisah nyata. Metode dan waktu harus sesuai. 

Di zaman sekarang, anak-anak lebih kritis dalam menerima pesan. "Kenapa fabel tidak sesuai pelajaran biologi?" dan "kenapa harus ada raja-raja, apa aku bisa jadi raja?" atau "ayah, negara itu dipimpin presiden!" serta "ayah, orang yang dapat berbicara dengan hewan hanya Nabi Sulaiman."

Daftar pertanyaan-pertanyaan tersebut, dapat membuat orang tua tersenyum kecut dan mengerutkan dahi. Ditambah, referensi dongeng kekinian yang minim. 

Dan, rata-rata hanya menyadur atau memuat ulang dongeng populer. Tema dan plot dari dongeng terkesan normatif, seolah-olah realita kehidupan, serba datar dan tanpa masalah. Kemudian, dongeng menjadi angin lalu. Makna hilang seiring bertambah usia dan dilupakan.

Tak payah protes, lebih baik menambah wawasan pada makna cerita rakyat, hikayat atau dongeng dari sumber terpercaya. Lebih bermanfaat, membuat dongeng sendiri sesuai pesan moral sederhana. Namun relevan dan mengena, minimal pada anak-anak sendiri.

3. Media untuk menyampaikan protes

Huru hara politik, kerusakan alam dan perilaku tanpa akhlak, kerap muncul di media. Nilai-nilai moral bergeser jauh dan argumentasi kebajikan, ditelan zaman. 

Tokoh publik, politik, agama dan pengabdi negara. Minim faedah untuk dijadikan panutan anak-anak. Hanya hitungan jari mungkin jumlahnya. 

Kritik, opini dan keluhan menjadi samar dengan hasutan, fitnah dan tudingan. Dengan atau tanpa fakta, jerat UU ITE kian buta. Bertambah buta dengan nada kebencian yang mengakar dan tumbuh di tengah sebagian masyarakat. 

Karya sastra berupa cerpen dan dongeng pendobrak kian langka. Bahkan, tak sedikit orang skeptis pada sastra berupa cerpen dan dongeng. Mungkin, minim referensi bacaan atau khilaf.

Karya fiksi William Shakespeare punya pengaruh pada Renaissance. Kejayaan peradaban Islam maju, karena perpustakaan diisi oleh karya sastra Rumi, Ibnu Sina, Omar Khayyam dan tokoh Islam lainnya. Dan, bagaimana revolusi Perancis dimulai oleh karya sastra Voltaire. 

Ah, terlalu melangit catatan di atas. Toh, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" diambil dari kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. 

Menulis sastra berupa cerpen dan dongeng sebagai media protes, lebih baik daripada mengumpat di media sosial. Terkesan naif, ya memang begitu adanya. 

**

Indra Rahadian

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun